Harakatuna.com – Suatu hari, seorang teman tiba-tiba mengirim pesan WhatsApp. Ia mengirimkan tangkapan layar story sebuah akun Instagram seseorang yang tidak saya kenal. “Apa dan siapa dia?” tanyaku kemudian, “Itu adik kelasku dulu, sedang melakukan demo di depan Balai Kota Semarang ke Simpang Lima”. Segera saya mencari nama akun tersebut untuk mengetahui lebih dalam.
Saya telusuri sorotan akunnya satu persatu, benar saja postingannya seputar isu-isu Palestina. Apa yang salah dengan isu Palestina? Ini bukan soal salah dan benar. Ini soal bagaimana isu tersebut dijadikan sebagai kepentingan politik semata, sebagai daya tarik anak muda bahkan perempuan agar terlibat dan ikut serta mengusung ideologi mereka. Bukan hal baru bagi saya menemukan akun-akun yang secara terang-terangan mempromosikan penegakan negara khilafah.
Lihat saja demo di Semarang. Mereka menggembor-gembor narasi agar pemerintah mengirimkan TNI untuk menghadapi zionis Israel dengan dalih jihad. Bendera-bendera kalimat tauhid dikibarkan, suara takbir menyeru, khas sekali seperti organisasi gerakan Islam transnasional yang sudah dilarang keberadaannya di Indonesia.
Cara lama ini mereka gunakan hanya untuk menarik perhatian publik. Menariknya lagi, di kolom komentar postingan demo tersebut, saya menemukan komentar netizen agar mereka yang berdemo saja yang dikirim ke Gaza untuk berjihad.
Meskipun masih banyak masyarakat yang tidak terpengaruh dengan aksi demo tersebut, tiga ribu orang yang mengikuti demo bukanlah jumlah yang sedikit dan tentunya butuh konsolidasi. Fakta tersebut dapat kita temukan melalui perkumpulan dan forum dalam unit-unit komunitas yang lebih kecil.
Seperti halnya di akun adik kelas teman saya ini, ia terlihat aktif terlibat dalam organisasi yang bisa dikatakan sebagai wadah untuk mentoring atau mengaji ala mereka. Selain itu, ia juga memposting slogan It Is Time To Be One Ummah dalam acara Metamorfoshow di TMII pada Februari lalu. Itu artinya, gerakan mereka masih dibilang mudah dikoordinir oleh pemimpinnya.
Persatuan Umat vs Persatuan dan Kesatuan
Apa yang dimaksud persatuan umat? Berbedakah dengan persatuan dan kesatuan dalam butir-butir Pancasila? Tentu saja berbeda. Persatuan umat selama ini dipakai oleh kelompok khilafah untuk memframing ideologi mereka. Hal ini sejalan dengan cita-cita mereka dalam menegakkan negara Islam.
Pada intinya, persatuan umat (one ummah) adalah sebuah konsep narasi yang mereka gunakan untuk menegakkan negara Islam. Ajakan yang diserukan untuk membangun komunitas tunggal yaitu Daulah Islamiyah di muka bumi, sehingga urusan pemerintah dapat dijalankan kembali sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah Swt.
Berbagai upaya yang dilakukannya yaitu dengan memelihara urusan umat sekaligus membebaskan umat Islam dari dominasi paham, pemikiran, sistem hukum, yang kemudian menggantinya dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah. Narasi-narasi yang dibangun untuk membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang sangat parah, membebaskan umat Islam dari ide-ide, sistem perundang-undangan, dan hukum-hukum kufur, serta membebaskan mereka dari pengaruh dunia Barat. Sehingga semakin jelaslah mengapa mereka selalu menggunakan narasi genosida di Palestina untuk memframing konsep persatuan umat.
Persatuan umat atau konsep one ummah ini tentu saja bertentangan dan tidak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945. Perlu digarisbawahi bahwa persatuan dan kesatuan adalah konsep ikatan batin dan semangat kebersamaan yang diwujudkan dalam kolaborasi, kerja sama, dan solidaritas antar warga negara. Konsep ini menekankan pentingnya menghargai perbedaan suku, agama, budaya, ras, dan latar belakang sosial-ekonomi.
Persatuan umat yang diusung oleh kelompok khilafah adalah mutlak dan bersifat final. Barangsiapa yang tidak setuju dengan one ummah, mereka adalah musuh Islam. Sedangkan persatuan dan kesatuan adalah menggabungkan keragaman menjadi satu kesatuan, mempersatukan bangsa dengan berbagai agama yang ada di Indonesia.
Jika persatuan umat diterapkan di Indonesia, yang terjadi adalah penolakan bahkan ancaman perpecahan, sebab menjadikan negara ini dengan sistem khilafah adalah kemustahilan, yang ada hanya akan mencederai perjuangan dan perjanjian luhur para pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Dengan demikian, saya cukup senang dengan komentar netizen di awal tadi untuk mengirimkan saja para demonstran ke Gaza, sebab itu yang menjadi permintaan mereka. Hal ini juga membuktikan bahwa masih banyak masyarakat yang tetap teguh berkhidmat kepada Pancasila dan NKRI.
Namun, di sisi lain saya juga masih cukup khawatir karena banyak anak muda dan perempuan yang termakan propaganda negara khilafah, terutama melalui media sosial. Sudah menjadi tugas kita bersama untuk terus mengonter narasi tersebut.
Sikap Kita
Lantas, apa yang bisa kita lakukan merespons geliat para pegiat khilafah di sekitar kita? Menanggapi semakin berkembangnya propaganda khilafah di kalangan anak muda, saya pikir kita perlu mengambil langkah strategis dan bijak. Pertama, edukasi tentu saja menjadi kunci penting. Kita harus memperkuat pemahaman generasi muda mengenai nilai-nilai Pancasila, sejarah perjuangan bangsa, serta konsep persatuan dan kesatuan yang telah diwariskan para pendiri bangsa.
Pemahaman ini bisa dilakukan melalui pendidikan formal di sekolah dan kampus, tetapi juga bisa kita kuatkan melalui media sosial yang mereka akses setiap hari. Materi edukatif yang dikemas dengan bahasa ringan dan gaya yang menarik, seperti video pendek, infografis, atau thread di media sosial, dapat menjadi langkah efektif untuk menyebarkan nilai kebangsaan kepada mereka.
Kedua, kolaborasi antarmasyarakat dan pemerintah sangat diperlukan untuk mencegah radikalisasi atau khilafahisasi masuk lebih jauh ke dalam tatanan sosial kita. Pemerintah dan lembaga terkait harus lebih aktif bekerja sama dengan ormas Islam moderat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat untuk membangun narasi yang mengedepankan Islam rahmatan lil alamin, Islam yang cinta damai dan menghargai pluralitas. Dalam konteks itu, pemimpin-pemimpin agama harus turut berperan dengan memberikan ceramah atau pesan-pesan yang menekankan pentingnya toleransi, perdamaian, dan kebersamaan.
Ketiga, literasi digital harus ditingkatkan, terutama di kalangan anak muda. Sebagai pengguna aktif media sosial, mereka perlu diajarkan cara mengenali propaganda yang disebarkan khilafahers di sekitar. Melalui literasi tersebut, mereka dapat lebih kritis dalam memilah informasi yang benar dan yang sekadar bermuatan ideologi tertentu. Peningkatan literasi digital bisa dilakukan melalui workshop, seminar, dan diskusi yang berkolaborasi dengan sekolah, kampus, dan organisasi pemuda.
Keempat, pendekatan persuasif-humanis juga perlu dilakukan. Anak muda yang sudah terpapar ideologi khilafah sering kali merasa mendapatkan makna dan tujuan hidup melalui gerakan tersebut. Pendekatan yang terlalu keras justru bisa memperkuat rasa keterasingan mereka dari masyarakat. Sebaliknya, dengan membuka ruang dialog dan mendengarkan alasan mereka secara tulus, kita bisa membantu mereka menemukan perspektif baru yang lebih inklusif dan menghargai keberagaman.
Kelima, kontrol dan kebijakan dari pemerintah terkait penyebaran konten di media sosial harus lebih diperketat. Platform digital memiliki peran besar dalam menyaring konten-konten yang berpotensi mengandung paham radikal atau propaganda politik keagamaan. Dengan kerja sama yang lebih intensif antara pemerintah, platform medsos, dan masyarakat, kita bisa mencegah narasi yang berpotensi memecah-belah bangsa menyebar dengan mudah.
Respons kita terhadap para pegiat khilafah harus dibarengi dengan upaya penguatan identitas bangsa, nilai kebangsaan, dan kebhinekaan. Melalui semua itu, kita tidak hanya bisa menjaga keteguhan bangsa dalam bingkai Pancasila, tetapi juga menghindarkan generasi muda dari pengaruh ideologi-ideologi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh Indonesia.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…