26.8 C
Jakarta

Pantaskah Khalid Basalamah Jadi Panutan Muslim Indonesia?

Artikel Trending

Milenial IslamPantaskah Khalid Basalamah Jadi Panutan Muslim Indonesia?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Ceramah-ceramah Khalid Basalamah sering bermasalah. Salah satunya mulai dari ceramah yang merendahkan perempuan, mengatakan kampus UIN Sunan Kalijaga sumber bencana, larangan menyanyikan lagu Indonesia Raya, hingga terkini mengatakan bahwa wayang haram dan harus dimusnahkan.

Soal perempuan, Khalid menganggap bahwa perempuan dilahirkan khusus mengurusi persoalan dapur. Sedangkan laki-laki tidak. Ia beranggapan urusan perempuan berada di wilayah urusan rumah tangga saja, dan dengan demikian, perempuan tidak boleh menjadi kepala rumah tangga.

Ada yang lebih ngeri dari ceramahnya soal perempuan, yaitu ketika Khalid mengatakan perempuan cuma boleh bekerja di wilayah seperti menjadi guru dan perawat saja. Perempuan tidak boleh bekerja di wilayah di luar pekerjaan tersebut. Sedangkan laki-laki boleh di mana saja dan tidak perlu dibebankan pada urusan rumah tangga dan wilayah istri.

Khalid menambahkan bahwa ibadahnya perempuan tergantung izin laki-laki (suami). Penekanan ceramah Khalid, perempuan boleh melakukan sesuatu sesuai aturan suami. Artinya, lelaki mempunyai kehormatan tinggi sedang perempuan harus mengikuti siapa yang memberi hormat: laki-laki. Bahasa Khalid sama seperti perkataan Thomas Aquinas, perempuan dianggap hanyalah bayangan laki-laki.

Khalid Bermasalah?

Bisa dibayangkan, betapa menderitanya perempuan jika mengikuti fatwa dan prinsip-prinsip hidup yang diciptakan Khalid Basalamah. Betapa tercabik-cabik harga diri dan diskriminatifnya kehidupan perempuan jika ceramahnya Khalid dijadikan pandu dalam kehidupan rumah tangga kita.

Padahal, yang ditekankan Tuhan di antara umat manusia, hanyalah bagaimana takwanya manusia: laki-laki dan perempuan. Bukan berdasarkan jenis kelamin di antara manusia itu sendiri. Dalam arti lain, Tuhan menghendaki hidup manusia adalah kehidupan yang setara. Bukan kehidupan yang diskriminatif sesama manusia.

Di dalam kesempatan lain, Khalid tidak membolehkan anak-anak untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya. Meski Khalid tahu bahwa itu adalah ciptaan para Pahlawan yang harus dijaga karena hal tersebut bisa memberi motivasi terhadap anak bangsa, tatapi menurutnya itu tidak boleh, karena menyanyikan Indoinesia Raya tidak pernah diajarkan di dalam nash-nash Islam.

BACA JUGA  Menyelamatkan Demokrasi: Menentang Politik Dinasti dan Khilafahisasi NKRI

Sebagaimana pengharaman wayang kemarin, tradisi dan kehidupan “baru” manusia bagi Khalid semuanya harus dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Hadis. Dan kalau tidak ada dalam traktat di keduanya, maka tidak boleh dan harus dibumihanguskan, meski tradisi itu sudah tertanam kuat sebelum Islam. Ini seturut dengan ajaran Wahabisme di seluruh dunia.

Cara Berpikir Wahabi

Wahabi menginginkan tradisi lokal harus dihancurkan. Tradisi lokal wajib diganti dengan tradisi-tradisi ala wahabi, yang mengharuskan bersumber dan meniru penafsiran Islam ala wahabi. Sedangkan penafsiran di luar wahabi dilarang dan dianggap bukanlah ajaran Islam. Masih ingat makam-makam yang dihancurkan di Mekkah, dan terjadinya Perang Padri di Indonesia? Itu hanyalah gambaran kecil bagaimana ajaran wahabi dijadikan pandu hidup dalam kehidupan beragama dan bersosial. Padahal, kalau kita lebih santai dikit melihat ajaran agama, maka tidak mungkin ada praktik-praktik yang dilakukan Nabi untuk memperjuangkan Islam.

Bahkan Nabi, selalu mengadopsi tradisi-tradisi yang mengakar kuat di dalam peradaban masyarakat. Tradisi masyarakat tidak dibuang, melainkan dimodivikasi berlandaskan nilai-nilai keislaman di dalamnya. Kemudian, tradisi tersebut dijadikan medium untuk berdakwah alias menyebarkan Islam di seluruh dunia. Dan masyarakat sangat menerimanya.

Hal itu yang diterapakn Nabi. Dan karena itu pula, dakwah-dakwah Nabi lebih diterima oleh masyarakat pada masanya, ketimbang para pendakwah lainnya. Bahkan di masa selanjutnya, seperti Sahabat dan era Walisongo, juga menerapkan apa yang dilakukan Nabi. Hasilnya sama, yaitu masyarakat lebih percaya kepada agama yang mengadvokasi tradisi, bukan yang menghancurkan tradisi.

Sebenarnya, Islam datang bukan untuk menghancurkan tradisi yang ada. Islam datang bahkan untuk menguatkan tradisi agar menempa pada tradisi yang baik dan bisa bersandingan dengan kehidupan manusia sekitarnya.

Di Indonesia, Islam berkembang pesat karena beriringan dengan tradisi, bukan dengan ajaran wahabi. Islam mendamaikan manusia karena ramah pada tradisi, bukan jahat dan menghancurkan tradisi. Lihatlah di negara tetangga, di mana Islam lucut dan tidak ramah pada tradisi, apa yang terjadi, kehancuran, peperangan, dan kering kebahagian?

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru