Harakatuna.com- Pejuang khilafah, sampai hari ini masih berapi-api memperjuangkan penegakan sistem pemerintahan Islam Indonesia. Sebenarnya, mereka memiliki banyak kontradiksi atas narasi yang sudah diperjuangkan mati-matian. Organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang beberapa waktu tahun lalu sudah dibubarkan, nyatanya masih menjadi momok yang menakutkan dengan gerakan dan value yang membahayakan.
Para aktivis khilafah merupakan sekelompok gerakan yang menolak kehadiran Pancasila, demokrasi karena tidak sesuai dengan anjuran Islam sebagaimana narasi propaganda yang sudah disebarkan. Mereka bersikeras memanfaatkan kekacauan dan masalah negeri ini untuk dijadikan alasan mengapa khilafah perlu tegak di Indonesia. Namun, salah satu hal cukup unik untuk menggambarkan para aktivis khilafah adalah pandangannya terkait Pancasila.
Pandangan HTI terhadap Pancasila bisa dilihat dari berbagai aspek. Di satu sisi, Pancasila ditentang keras oleh para aktivis khilafah karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ia disebut ideologi kufur yang, apabila diterima dan dijalankan, membuat Indonesia semakin terpuruk dalam kemiskinan, ketidakadilan, dll. Namun di sisi lain, Pancasila oleh HTI diterima sebagai seperangkat falsafah (set of philoshophy). Falsafah yang dimaksud adalah gagasan yang cukup baik dalam menjawab kebutuhan dasar bangsa Indonesia sebagai negara yang majemuk.
Perbedaan pandangan ini bisa dilihat dari argumen yang disampaikan oleh para aktivis khilafah. Pancasila disebut ideologi kufur karena, di satu sisi Pancasila pada sila pertama mengakomodir pluralitas yang dimiliki oleh Indonesia. Di sisi lain, Pancasila bertentangan dengan ideologi khiafah karena tidak berlandasan asas tunggal kepada Allah Swt. Ruang yang mempersatukan kemajemukan itu seharusnya berlandaskan Islam, bukan Pancasila.
Tidak hanya itu, Pancasila hanyalah rumusan pemikiran dari founding fathers. Oleh karena itu, kebenarannya tidak mutlak sehingga ia memiliki sifat dinamis. Artinya, ia bisa saja ditambah, dikurangi, dikokohkan atau bahkan ditiadakan. Dari sini terlihat bahwa HTI telah merelativisir Pancasila hanya menjadi rangkaian gagasan filosofis yang bisa dibongkar-pasang setiap saat. Pandangan ini dipilih HTI demi desakralisasi Pancasila. Karena Pancasila bukan agama; ia bisa diganti, jika pergantian itu dibutuhkan. Baik pergantian dalam batang tubuh Pancasila itu sendiri. Maupun pergantian Pancasila dengan dasar negara yang lain, yakni Islam.
Di balik penolakan ideologi yang dianggap kufur tersebut, sebenarnya ada beberapa alasan lain dari para aktivis khilafah, yakni karena Pancasila sebagai falsafah yang baik, namun tidak ada sistem turunan untuk diterapkan di Indonesia. Perwujudan Pancasila dilakukan dengan berbagai seni. Seperti halnya pada era Soekarno, perwujudkan dari ideologi Pancasila adalah sosialisme. Pada era Soeharto, diterapkan neo-liberalisme. Fakta inilah yang ditentang oleh HTI.
Artinya, para aktivis HTI tidak mempermasalahkan keberadaan Pancasila, akan tetapi lebih mempersoalkan ideologi yang dibawa dalam merealisasikan Pancasila seperti sosialisme, kapitalisme dan neoliberalisme yang jelas-jelas berasal dari Barat. Kenyataan ini menjadi landasan para aktivis khilafah yang terus keukeuh memperjuangkan khilafah. Salah satu alasannya adalah, apabila sistem politik diterapkan dengan ideologi sosialisme, liberalisme, kapitalisme ataupun yang lain, mengapa sistem khilafah yang benar-benar perintah Allah dengan landasan Islam tidak bisa diperjuangkan?
Penggunaan syariah dalam menafsirkan Pancasila melalui ajaran Islam, tidak perlu dimatikan, sebab dalam era yang lain, diwujudkan dalam bentuk sosialisme saja diperbolehkan. Pandangan ini juga memperkuat gerakan HTI untuk terus mewujudkan Pancasila sebagai gagasan yang baik dan diwujudkan dengan penerapan syariat Islam.
Realitas politik di Indonesia tidak selalu berdasar kepada Pancasila sehingga keberadaannya tidak benar-benar menjadi landasan. Artinya, menurut pandahan HTI, Pancasila hanya ditempatkan sebagai “kedok politik”. Posisi ini memperkuat narasi para HTI untuk terus mengacaukan keadaan, melakukan propaganda atas kekacauan politik di Indonesia mulai dari sistem politik, sosial, hingga kenegaraan. Selanjutnya, narasi bahwa Pancasila sebagai falsafah (set of philoshophy) bisa diterima dengan baik karena memuat gagasan filosofis berupa ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Artinya, muatan tersebut sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia.
Argumen yang bertentangan antara menerima dan menolak ini sebenarnya membuktikan bahwa, gerakan para aktivis khilafah tidak lebih dari gerakan politik yang sebenarnya ingin merebut kekuasaan atas dasar Islam. Apabila gerakan ini terus dibiarkan dan semakin menguat, maka yang terjadi adalah kekacauan NKRI karena tidak mengakomodir kemajukan yang ada di Indonesia. Wallahu A’lam.