33.2 C
Jakarta
Array

Pancasila Sebagai Ruh Bernegara

Artikel Trending

Pancasila Sebagai Ruh Bernegara
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Di tengah menuanya Pancasila menuju kerentaannya, kegagapan-kegagapan sebagian besar masyarakat Indonesia menjadi salah satu penghambat dalam mengarungi tatanan kehidupan yang dicita-citakan. Sebab Pancasila yang idealnya adalah ruh bernegara, justru dewasa ini telah kehilangan makna. Pedoman makna yang seharusnya dijadikan panutan, tuntutan, dan bahkan tuntunan dalam mengarungi besarnya arus kehidupan tanpa disadari mulai ditinggalkan. Jamak masyarakat berbondong-bondong menuju zona baru, mencari ideologi-ideologi pembaharuan, yang tak sepadan dengan tatanan kebudayaan dan khitoh kehidupan di Indonesia.

Meski secara umum silanya masih menggema di langit-langit peraduan tatkala upacara bendera dikumandangkan. Namun, itu hanya refleksi untuk menghafal sila-silanya agar tak cepat rapuh, kemudian menghilang. Meski secara umum masyarakat masih hafal betul kelima sila yang tertuang dalam bait-baitnya. Namun itu hanya petuah yang tak pernah direfleksikan dalam kehidupan nyata. Dan meski secara umum kelima silanya terpampang digorong-gorong ruangan, sepanjang jalan, dan tembok-tembok sunyi yang dikalungkan di leher burung garuda. Namun itu hanya sekadar simbol yang tak memiliki arti dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari situ, benar apa yang dikatakan oleh Kuntowijoyo (2001), bahwa kita mesti mengambil sikap dalam  membangun “Radikalisasi Pancasila”.

Dalam konteks ini, A. Muhaimin Iskandar (2017) pernah menyatakan bahwa radikalisasi Pancasila ialah pendalaman secara utuh tentang pemaknaan pancasila hingga ke akar-akarnya agar mampu menumbuhkan “pohon rahmat” yang berguna untuk bangsa dan negara. Kenyataan ini penting untuk disematkan sebab kesaktian Pancasila belum pernah diejawantahkan dalam kehidupan nyata. Karena itulah, Kuntowijoyo menyebutnya sebagai pusaka yang hanya diselipkan di pinggang saja, namun belum pernah digunakan untuk membabat keganasan, kepicikan, keserakahan, dan ketamakan angkara murka yang kian menggejala. Lewat itu, beragam tindakan penganiayaan pada diri sendiri, kelompok, masyarakat, dan negara menjadi perihal ironis yang perlu diselamatkan secara bersama.

Hilangnya Pancasila

Merenungi bait-bait yang tertuang dalam Pancasila untuk diambil maknanya memang menjadi perihal wajib yang sesungguhnya harus dilaksanakan oleh bangsa Indonesia. Sebab sebagaimana telah disebut di muka, bahwa Pancasila adalah ruh negara yang melingkupi dasar, filsafat, ideologi, dan perilaku yang mencerminkan tindak tanduk masyarakat secara kebanyakan. Namun perlu disadari, bahwa itu dulu. Dulu sekali, tatkala Presiden Soekarno dan tokoh-tokoh penting BPUPKI menyusun bait-bait Pancasila. Kini, sudah banyak reduksi yang terjadi, dan secara tidak sadar juga telah diamini oleh banyak kalangan. Melalui kenyataan inilah, kehidupan masyarakat yang sesungguhnya mulai melangkah menuju kedaulatan tanpa batas seolah memberikan ruang-ruang baru untuk melakukan beragam tindakan yang “memunggungi” Pancasila.

Tengoklah sila pertama yang mengerucut pada “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jamak kita temui masyarakat yang multi dimensi beragama di Indonesia. Dari mulai Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Kongguchu mewarnai keberagamaan di Indonesia. Banyak masyarakat yang patuh untuk senantiasa mengagungkan agama sebagai keyakinannya, namun tak terhitung pula jumlah masyarakat yang mengkhianatinya. Maka apabila ditarik benang merah tentang Pancasila sebagai Religious Nations State sebagaimana yang disematkan oleh Prof. Mahfudz Md. Maka, nilai-nilai agama yang idealnya digunakan sebagai pembentukan karakter untuk menyusun kesalehan ritual dan sosial masih jauh panggang dari pada api. Dari situ, benar apa yang dikatakan oleh Prof. Salim Said (2017), bahwa tertatihnya negara dalam mewujudkan kemajuan nasional disebabkan karena kebanyakan masyarakat tidak takut kepada Tuhan.

“Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Darmodiharjo (1996) dalam memaknai sila kedua menyebutkan bahwa hakikat manusia sesungguhnya ditempatkan pada posisi makhluk berbudi yang memiliki potensi pikir dengan berkiblat pada rasa, karsa, dan cipta (human dignity). Lewat itu, manusia ditasbihkan untuk senantiasa beradab dan berlaku adil kepada dirinya sendiri, lingkungan, masyarakat, negara, dan Tuhannya. Namun, apabila kita tengok realitas sebenarnya, maka sifat kemanusiaan-kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi, justru mulai hilang dari peredaran. Bahkan survey yang telah dilakukan Ipsos MORI menyebutkan, bahwa masyarakat Indonesia mengalami daya optimisme rendah tatkala disandingkan dengan isu kriminalitas.

Sila Ketiga, “Persatuan Indonesia.” Dalam konteks ini, sisi persatuan memang masih menjadi sikap yang terombang ambing keberadaannya. Sebab meski secara nasional gejala pertengkaran dan perpecahan mulai bisa diredamkan. Akan tetapi, beragam upaya untuk membangun jembatan perpecahan sering kali menguras tenaga dan pikiran. Apalagi dalam romantisme pilpres seperti saat ini, tak terhitung berapa cacian, makian, pertengkaran yang terjadi baik secara visual maupun krusial. Melalui itu, dapat dilihat secara seksama tentang hakikat persatuan yang kerap kali terkoyak lewat tangan-tangan jahil yang tak bermuara. Padahal, sesungguhnya bila kita renungkan tentang kekuatan besar yang pernah dieksplorasikan untuk membangun beragam hal. Maka, kekuatan persatuan menjadi salah satu skeptis yang perlu dipupuk untuk membangun kedaulatan ke depan.

”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dan permusyawaratan.” Sesungguhnya sila keempat inilah yang kerap kali menjadi korban dalam memaknai kebijaksanaan untuk mengambil keputusan. Kebijaksanaan yang seharusnya dititipkann untuk senantiasa bertumpu pada tangan rakyat sering kali gagal untuk dijelmakan. Upaya permusyawarahan yang idealnya digunakan untuk—arti Syawara (memeras madu)—memeras madu dalam mengambil hikmat dan kebijaksanan juga acap kali kalah oleh beragam kepentingan pribadi, kelompok, dan korporasi. Dari situ, rakyat kerap kali menjadi korban yang senantiasa hanya bisa menelan udah kembali ketimbang merasakan nikmatnya arus kebijakan yang memadai.

Begitupun sila kelima, tentang hakikat “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Maka nilainya belum begitu dirasakan oleh khalayak banyak. Kesenjangan yang semakin berjarak dari sisi ekonomi, hukum, kekuasaan, dan lain sebagainya menjadi permasalahan serius yang perlu diselesaikan dengan seksama. Meski dalam berbagai hal terdapat wacana tentang penurunan kemiskinan di ranah pedesaan, dan beragam kenikmatan-kenikmatan lain yang senafas dengan itu, tapi nyatanya kesenjangan masih memiliki jarak. Baik antara kaum elit dan alit, masih banyak hierarki yang perlu disadurkan untuk membangun jembatan keadilan sosial untuk seluruh masyarakat. Beranjak dari kenyataan-kenyataan yang terlampir di atas, sesungguhnya generasi kita adalah generasi yang mulai gagap dengan idealitas-idealitas Pancasila. Karena itulah, diperlukan beragam tatacara baru guna menyematkan pendidikan ke-Pancasilaan dalam memahami hakikat, dasar, filosofi, dan beragam hal lain yang menjadi identitas-identitas bernegara. Wallahu a’lam bi al-shawaab.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru