31 C
Jakarta
Array

Pancasila Sakti, Radikalisme Mati

Artikel Trending

Pancasila Sakti, Radikalisme Mati
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Bangsa ini pernah dirundung masa kelam sekaligus menjadikan trauma, ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) secara keji melakukan segala cara untuk menguasai Indonesia pada kisaran tahun 1965. Mereka bahkan juga ingin menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi Komunis. Namun akhirnya, berkat perjuangan bangsa Indonesia dalam menumpas PKI dalam Gerakan 30 September (G30S/PKI), PKI hancur lebur beserta tujuan buruknya. Dan Pancasila hingga saat ini tetap kokoh dan selalu menjadi ideologi bangsa Indonesia sampai kapan pun, karena pondasi dan bangunannya tidak akan lekang oleh zaman. 

Di era milenium ini, sejarah buruk keinginan mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain kembali mengemuka. Kali ini tidak oleh PKI, melainkan kalangan radikalisme atau aliran garis keras. Pemandangan buruk itu tidak bisa kita nafikan, dan mudah kita temukan di berbagai ruang baik faktual maupun virtual. Mereka berpemahaman bahwa ideologi Pancasila tidak cocok diterapkan di Indonesia, dan sebaliknya ingin mendirikan negara khilafah.

Jika menarik benang panjang, hal ini disebabkan tidak lain oleh kran kebebasan berpendapat sejak era reformasi digulirkan. Diketahui bahwa era reformasi memberikan ruang kepada setiap insan untuk berekspresi secara bebas. Akan tetapi, sayangnya kebebasan tersebut tidak digunakan sebagaimana mestinya oleh oknum-oknum tertentu, salah satunya kelompok yang ingin mendirikan negara khilafah itu. Kebebasan yang diberikan itu justru disalahartikan sehingga menerabas nilai moral, etika, dan karakter bangsa Indonesia sebagai bangsa yang multikultural dan majemuk.

Memang, sebagai negara yang menjunjung demokrasi, kebebasan individu merupakan hak setiap bangsa dan warga negara. Tetapi yang sangat disayangkan adalah kebebasan yang justru disalahartikan sewenang-wenang tanpa memandang norma dan nilai-nilai budaya dan agama. Kebebasan yang tidak jelas arahnya, tidak hanya akan membahayakan bagi setiap elemen bangsa, bahkan bisa meluluhlantakkan dan menghancuran tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Agar Pancasila Sakti

Melihat pemandangan yang demikian, sebagai bangsa yang cinta akan perdamaian, mutlak untuk menjadi katalisator perdamaian. Dan sarana yang paling tepat digunakan sebagai katalisator adalah Pancasila. Pancasila bukan merupakan nilai-nilai mati yang sekarang hanya berada di lembaran sejarah bangsa. Pancasila juga bukan merupakan patung yang dipahat oleh para founding fathers and mothers kita pra-kemerdekaan Indonesia tahun 1945 silam, tetapi ia hidup dalam sanubari setiap bangsa. 

Pancasila, di dalamnya mengatur segala perbuatan dan sikap yang harus ditempuh bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk. Sebab Pancasila lahir berdasarkan kemajemukan bangsa Indonesia yang tiada tandingannya. Para founding fathers merumuskan Pancasila, tidak lain adalah sebagai katalisator dan jalan tengah untuk menaungi keberagaman yang ada. Pancasila tidak memihak atau berpatron kepada salah satu suku, budaya, ras, dan antargolongan yang ada di Indonesia, melainkan kepada kebenaran yang mutlak dan abadi di tengah keragaman.

Seharusnya seluruh elemen bangsa memahami itu, sehingga kran kebebasan yang disajikan di era reformasi tidak berimbas negatif kepada seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita semua yakin, jika kebebasan yang diberikan itu digunakan dengan baik, dengan tidak memotong jalur-jalur norma dan nilai yang mengendap di tubuh Pancasila, maka perdamaian yang hakiki akan didapatkan seluruh bangsa. Serta kebebasan tersebut tidak akan memecah belah kemajemukan bangsa.

Abdul Kadir Karding (2016) menilai bahwa pelaksanaan dan penanaman nilai-nilai Pancasila telah luntur. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu terjadi, salah satunya disebabkan oleh minimnya sikap ‘nguri-nguri’ pesan baik yang ada dalam tubuh Pancasila. Di samping itu, juga disebabkan oleh masuknya nilai-nilai baru melalu dunia virtual, sehingga Pancasila menjadi kehilangan nilai-nilai luhurnya. Nilai-nilai baru tersebut sebagaimana penulis jelaskan di awal, yakni pemahaman garis keras atau radikalisme yang memang di era milenium ini semakin menguat sehingga dapat mengancam banyak pihak.

Melihat hal ini, tentu diperlukan upaya serius terhadap munculnya nilai baru seperti radikalisme, yaitu dengan mensaktikan Pancasila. Dan agar Pancasila semakin sakti, kurikulum Pancasila harus dimasukkan ke dalam segala lini pendidikan, dengan membawa marwah yang kontekstual dan sesuai zamannya. Selain itu, diperlukan upaya penguatan karakter Pancasila di seluruh lembaga masyarakat dan negara, terutama aktor-aktor yang ada di dalamnya, dengan cara selalu berpikir sesuai Pancasila.

Dengan memegang teguh prinsip Pancasila, sebagai bangsa Indonesia akan mengerti bahwa di tengah-tengah negeri yang ultramulti ini; multikultur, multietnik, dan multireligi sejatinya memiliki karakter yang toleran terhadap perbedaan sesama bangsa. Jika hal itu dinomorsatukan, dalam pelaksanaannya kebebasan ekspresi tidak akan melanggar nilai-nilai dan norma yang hidup di tengah kehidupan masyarakat. Semua tentu harus bersikap secara bijaksana dalam menjalankan kebebasannya, sehingga kebebasan itu tidak terciderai perilaku dan pemikiran yang menyimpang, termasuk paham radikalisme. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Oleh: Muhammad Ali Fuadi, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Walisongo Semarang

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru