29.1 C
Jakarta
Array

Pancasila Menurut NU-Muhammadiyah

Artikel Trending

Pancasila Menurut NU-Muhammadiyah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pandangan menarik dalam buku Abdul Moqsith Ghazali, dkk (Narasi Islam Damai: 2016), menegaskan “praktik keberagamaan di lingkungan Nadhlatul Ulama dan Muhammadiyah, umat Islam dapat menerima Pancasila sebagai falsafah negara tanpa harus mendirikan negara Islam. Umat Islam percaya bahwa sistem demokrasi sejauh ini merupakan sistem terbaik yang bisa dipilih. Menjadi Islam tidak harus menjadi Arab.

Sikap politik kedua forum besar keagamaan ini merupakan suatu kesepakatan final yang menunjukkan respon positif terhadap Pancasila. Yang dijadikan dasar, dan ideologi negara. Meskipun, hal demikian ada sebagian Ormas Islam yang tidak menerima Pancasila sebagai bentuk keniscayaan dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara.

Tentu dengan perjuangan NU-Muhammadiyah tidak akan luntur, walaupun dari sebagian Ormas lainnya kerapkali mempersoalkan status penerimaan ideologi ini. Namun, hal ihwal tersebut merupakan sesuatu yang sangat lumrah dalam kemajemukan bangsa, penuh perbedaan, dan kebebasan dalam berdemokrasi.

Kenyataannya banyak konflik-konflik sosial yang berbau agama karena tidak merespon Pancasila sebagai referensi yang final. Karena itu, di dalamnya ada perbedaan. Yaitu, Islam dan negara, dimana Islam itu adalah terkait urusan manusia dengan Tuhan. Sedangkan, negara adalah urusan politik yang dapat menciptakan aturan.

Pancasila saja mampu menjadi jalan satu-satunya bagi perpaduan dua dimensi dalam kehidupan bangsa, dan negara. Antara lain, dimensi keislaman,  dan keindonesiaan yang menyatu dalam sumber keberagamaan kerapkali dijadikan satu pilihan sikap politik yang esensinya diperjuangan oleh NU-Muhammadiyah agar dapat merubah kehidupan sosial masyarakat.

Produk Negara Pancasila

Nasionalisme (Pancasila) akan menjadi lemah tanpa agama (Islam), karena titik temu keduanya berhubungan erat dengan kemunculan sejarah NU-Muhammadiyah, dimana kiai Hasyim Asy’ari merumuskan jargon “hubbul wathan minal iman”. Artinya, cinta tanah air adalah sebagian dari iman, sebagai tokoh NU tentu transformasi Islam Nusantara tampak responsif dengan kehadiran Pancasila.

Sedangkan trasnformasi Islam berkemajuan warga Muhammadiyah dalam kontribusi sejarah pembentukan negara Pancasila, Ormas ini secara eksplisit menerima hasil konsensus nasional (dar al-‘ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dar al-syahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dar al-salam). Pandangan demikian, tertuang jelas dalam sebuah buku (Negara Pancasila Sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah: 2015).

Melalui sikap politik keduanya, kehidupan umat beragama didasarkan pada Pancasila. Yang visi-misinya adalah untuk menjadikan negara yang “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”. Yaitu, suatu negeri yang baik dan berada dalam ampunan Tuhan. Alhasil, negara ini dapat hidup tentram, aman, damai, adil, dan sejahtera.

Sudah sekian lamanya negeri yang penuh keanekaragaman ini dirundung konflik yang tidak berkesudahan. Di sisi lain, toleransi agama yang tampak krisis, munculnya Ormas yang menganut paham radikalisme dengan mengatasnamakan agama. Dalam hal ini, semata-mata agama menjadi instrumen penindas negara. Pandangan ekstrem tersebut perlu kita luruskan.

Entah itu, pula tuduhan negatif terkait Pancasila yang dinggap bertentangan Islam, terutama dari aspek demokrasi tersendiri, dimana Islam sendiri mengajarkan tentang demokrasi (wasya wirhum bil amri). Dan dalam sila-sila yang terdapat, masih sangat selaras dengan Islam itu sendiri. Kenapa kemudian harus dipertentangkan?

Menjawab Masalah Kebangsaan

Tantangan kebangsaan NU-Muhammadiyah ini, setidaknya dinilai lumrah yang mau tidak mau kita perlu memperjuangkan untuk menjawab klaim terkait Pancasila yang dianggap bertentangan dengan Islam. Persepsi yang tidak ada relevansinya tentu tak memahami sejarah kontribusi NU-Muhammadiyah terhadap bangunan negara Pancasila.

Penulis meminjam pandangan kiai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, ia pun menempatkan Islam dalam konteks modern, terutama berkaitan dengan konsep negara Pancasila di Indonesia, dimana Islam dan kebangsaan merupakan titik temu antara nasionalisme dan agama sebagai hasil titisan final yang lahir dari rahim Pancasila.

Melalui pemikiran yang brillian ini, Pancasila telah mampu menyatukan kehidupan masyarakat, agama, bangsa, dan negara dalam bingkai persatuan, serta kebersamaan. Yang tak kalah pentingnya lagi, umat Islam sendiri tidak bersih tegang untuk mendirikan negara Islam. Sehingga, pandangan demikian menjadi sesuatu yang sangat responsif.

Hadirnya NU-Muhammadiyah tidak hanya berkontribusi dalam sejarah pembentukan Pancasila yang menjadi ideologi negara. Akan tetapi, semangat kebangsaan kedua forum keagamaan tersebut mampu meneguhkan persatuan, dan persaudaraan dalam membangun bangsa kita kedepan. Karena itu, Pancasila menjadikan simbol kebersamaan, serta kemajemukan suatu bangsa.

Penulis pun menanggapi peran NU-Muhammadiyah dalam merespon Pancasila tentu tidak hanya sebagai bentuk keniscayaan. Melainkan menawarkan spirit perlawanan, dan kebangkitan dalam memerangi Ormas yang menganggap Pancasila berseberangan dengan Islam. Hal ini penting untuk kita waspadai karena dapat memicu terbelahnya bangsa, dan negara.

Alhasil, dalam praktik ini NU-Muhammadiyah telah mampu mengambil langkah-langkah strategis dalam menata bangunan negara Pancasila. Terutama tujuan keduanya tidak lain adalah untuk menciptakan negara yang damai (dar al-salam), pandangan cemerlang ini setidaknya dapat menyadarkan masyarakat, dan Ormas yang masih mempersoalkan.

Oleh: Hasin Abdullah, Peneliti Muda Bidang Hukum UIN Jakarta, sekaligus Alumni SMA-Tahfidz Darul Ulum Pondok Pesantren Banyuanyar, Pamekasan.

[zombify_post]

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru