32.9 C
Jakarta
Array

Pancasila: Ideologi Penangkal Radikalisme [Tanggapan Atas Sikap PTKIN-PTKIS]

Artikel Trending

Pancasila: Ideologi Penangkal Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pancasila: Ideologi Penangkal Radikalisme [Tanggapan Atas Sikap PTKIN-PTKIS]

Oleh: Imam Muhlis*

“Jiwa, Ide, Ideologi, Semangat, tak dapat dibunuh”. Kata Bung Karno, dalam ”Heldy, Cinta Terakhir Bung Karno”, (2011, h. 201).

Ungkapan satire Sang Proklamator ini sangat tepat untuk menggambarkan sikap pimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) dan pimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) yang secara tegas menolak paham dan ideologi anti Pancasila dan anti NKRI yang masuk ke kampus yang mereka pimpin. (www.www.www.harakatuna.com/harakatuna/ptkin-dan-ptkis-ramai-ramai-larang-paham-anti-nkri-masuk-kampus.html).

Sikap dan pandangan Perguruan Tinggi Negeri Islam dan Swasta itu menarik untuk diperbicangkan lebih lanjut, mengingat sampai hari ini tema radikalisme yang muaranya anti Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika masih terus hangat diperdebatkan dan menjadi masalah serius bagi banyak kalangan.

Jika kita merunut ke belakang sejak reformasi 1998, gelombang radikalisme dengan mudah sekali berkembang dengan banyak varian di Republik tercinta ini, seperti HTI, MMI, FPI, IM, JI, dan pelbagai kelompok Islam radikal lainnya. Artinya, kemunculan gerakan radikal ini tidak hanya hadir dalam bentuk satu nama dan kelompok saja, mereka hadir dengan pola gerakan yang berbeda-beda. Kelompok ini juga acap kali melahirkan aksi kekerasan dan teror, yang secara tidak langsung telah mencoreng keindahan dan kebajikan Islam di pentas peradaban umat manusia. Dalam konteks Indonesia, bukan saja umat Islam yang dirugikan, tetapi juga keutuhan negara-bangsa dalam bentuk NKRI menjadi terancam.

Sungguh menyedihkan, bangsa yang dikenal paling majemuk di dunia dengan tradisi budayanya yang penuh toleran, ramah, religius, dan menjunjung tinggi nila-nilai kesopanan, tiba-tiba berubah menjadi bangsa yang beringas, bahkan tidak segan-segan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti aksi terorisme dan berbagai bentuk tindakan kekerasan lainnya. Nilai-nilai yang dahulu kita anggap agung, luhur, dan mulia, di zaman sekarang ibarat binatang langka yang hampir musnah ”mati suri” makin tidak berdaya.

Di tengah masifnya gerakan anti Pancasila dan NKRI tersebut, membuat sejumlah Perguruan Tinggi Negeri Islam dan Swasta terpanggil untuk ikut andil dalam rangka membendung gerakan radikalisme yang kian tak terkendali ini. Hemat saya, pandangan dan sikap antar pimpinan perguruan tinggi ini memang patut diapresiasi, tetapi itu belum cukup. Karena gerakan ini dilatari oleh sebuah keyakinan, keimanan dan ideologi yang hidup di dalam pikiran dan alam bawah sadar mereka,—yang kata Bung Karno tak dapat dibunuh. Membunuh teroris itu berbeda dengan membunuh terorisme, dan kelompok ini doyan sekali mengkafirkan pemerintah, bukan berarti buta al-Quran; menjadi calon pengantin bidadari dengan bom bunuh diri, bukan orang yang benci Islam, dan mereka melakukan aksi-aksi kekerasan dan teror itu juga atas nama perintah al-Quran dan hadits.

Karena itu, mencegah dan membunuh “ideologi maut” itu tidak cukup hanya sekadar “himbauan” dan “larangan” begitu saja, tetapi perlu ada aksi nyata dengan menggunakan kekuatan ideologi yang berlawanan. Artinya, melarang ideologi radikal itu akan sia-sia belaka jika tidak disertai asupan ideologi alternatif, karena kelompok ini menempatkan Islam sebagai ideologi yang “berlawanan” dengan ideologi negara. Jadi, ideologi Pancasila ini sedang menghadapi “musuh” ideologis, yaitu Islam radikalis-ekstremis, yang sedari awal mempertentangkan agama dan Pancasila. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana agar ideologi Pancasila ini dapat benar-benar berfungsi untuk menangkal ideologi radikal tersebut?.

Melembagakan Ideologi Pancasila

Pandangan dan sikap antar pimpinan perguruan tinggi Islam untuk menyelamatkan ideologi negara dan NKRI perlu didorong agar menjadi aksi bersama untuk segera melembagakan Pancasila sebagai upaya perlawanan terhadap ideologi radikal. Prof. Sudjito—Kepala Pusat Studi Pancasila UGM, bahkan dengan tegas merekomendasikan perlunya lembaga khusus yang mengawal Pancasila sebagaimana di era Orde Baru yang dikenal dengan sebutan BP-7. (Kongres Pancasila VI, 2014).

Dorongan dan wacana pelembagaan ideologi negara tersebut menjadi penanda bahwa Pancasila bukanlah yang pantas ikut disalahkan tetapi lumrah untuk terus dibicarakan. Dengan pemaknaan ini, Yudi Latif (2011), berpandangan bahwa Pancasila harus menjadi petunjuk bagaimana Negara ini ditata-kelola dengan benar agar lebih bersifat fungsional. Lalu siapa yang mengoperasionalisasikan nilai-nilai Pancasila itu? Tidak lain adalah manusia Indonesia itu sendiri yang secara sadar dan sungguh-sungguh menginternalisasikan dan membumikan nilai-nilai Pancasila yang masih abstrak ke dalam bentuk realitas kehidupan sehari-hari.

Di era Orde Lama, misalnya, politik hukum Pancasila berhasil terkristalisasi dalam bentuk ideologi negara yang dapat dicerna, diinternalisasi, dan dipratekkan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara di era Orde Baru, pelembagaan ideologi Pancasila lewat Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 yang kemudian ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan membentuk suatu Lembaga Pemerintah Non Departemen yang disebut “Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau BP-7.

Pada era reformasi ini, pemerintah tampaknya kehilangan legitimasi. Orde Reformasi mencabut warisan Orde Baru berupa Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1978 dengan ditetapkannya Ketetapan MPR RI Nomor XVIII/MPR/1998 tentang pencabutan P4, yang secara otomatis berdampak pula pada pembubaran institusi BP-7. (Moh. Mahfud MD, 1998, h. 200-201).

Sejak BP-7 dibubarkan, maka praktis tidak ada lagi lembaga yang secara fungsional dan kompeten melakukan sosialisasi dan pemasyarakatan terhadap nilai-nilai luhur Pancasila, dan dalam implementasinya nilai-nilai luhur ideologi negara itu menjadi semakin kurang dipahami, apalagi diamalkan sebagai landasan ideal dalam pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hemat saya, era reformasi yang kita jalani saat ini perlu dikritisi dan dikoreksi bersama. Terlepas dari kekurangan Orde Baru, kita juga perlu sedikit meniru model pembudayaan ideologi Pancasila dengan pendekatan political intervention secara penuh oleh negara. Pancasila yang lahir dari rahim kebudayaan dan nilai-nilai kearifan lokal yang ada di Indonesia, akan mampu menjadi “peluru” penangkal, peredam dan bahkan dapat mematikan mata rantai ideologi radikal di bumi Nusantara ini.

Dalam konteks pencegahan ideologi radikal, pemerintah perlu segara melakukan beberapa langkah; pertama, membentuk lembaga khusus pengawal ideologi Pancasila. Kedua, memasukkan kembali Pendidikan Pancasila ke dalam kurikulum pendidikan Sekolah Dasar (SD/MI), SMP/M.Ts, SMA/SMK/MA, hingga Perguruan Tinggi agar para generasi muda memiliki wawasan kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi, sehingga bisa fokus membangun bangsa dan tidak mudah terjerat oleh ideologi impor.

Karena disinyalir kurikulum pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi mengalami disorientasi terhadap ajaran-ajaran toleransi yang sudah termaktub di dalam Pancasila,—yang berkembang justru ajaran-ajaran fundamentalisme yang mengerikan.

Ketiga, pemerintah harus segera mengontrol organisasi massa radikal yang berpotensi melakukan makar terhadap ideologi negara, termasuk yang tidak sejalan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945. Keempat, ormas Islam moderat harus ikut andil dengan menolak segala macam bentuk radikalisme. Hal itu bisa dilakukan dengan berperan aktif membantu pemerintah di bidang pendidikan, kesehatan, sosial-budaya, dan lain sebagainya, demi merawat kebhinekaan kita dalam lanskap kesatuan dan persatuan bangsa dalam wujud kesejateraan yang ber-Ketuhanan. Semoga! Wallahu A’lam bi al-Shawab.

*Penulis buku “Politik Hukum Pancasila dalam Menanggulangi Gerakan Radikalisme di Indonesia”. Penelitian ini didukung Beasiswa Master ISB (In Search of Balance) kerjasama UGM dan Universitas Agder Norwegia

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru