26.1 C
Jakarta

Pancasila dalam Ancaman Komunis atau Khilafah?

Artikel Trending

Milenial IslamPancasila dalam Ancaman Komunis atau Khilafah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam tulisan sebelumnya penulis mengulas “Majelis Mujahidin Indonesia; Pembela Pancasila atau Promosi Negara Islam?”. Singkatnya, analisis tersebut mendeskripsikan soal bagaimana konspirasi bela Pancasila yang diaktori oleh kelompok Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), dan eks Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Khusus kali ini, penulis mengemas judulnya dalam bentuk pertanyaan pula. “Pancasila dalam Ancaman Komunis atau Khilafah?.” Hal ini merespons aksi jihad mereka yang terjadi di era new normal layaknya mereka memelintir kata-kata lewat manuver politik identitas, dan propaganda.

Tampaknya, kelompok-kelompok tersebut bosan menjadi pengangguran. Sehingga, selalu mencari legitimasi persepsi. Dan membangun prasangka buruk, bahwa di balik agenda Revisi Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) ada penyusupan paham komunis/PKI.

Keberadaan bibit komunisme di negara Pancasila memang tak dapat dipungkiri, tetapi, kita tidak boleh lupa akan ide khilafah yang sama-sama menjadi ancaman serius dalam tatanan bernegara. Buktinya meski organisasi radikal tersebut bubar, militan dan simpatisan khilafah tak kunjung absen.

Muncul sebuah pertanyaan, benarkah paham komunis semarak dan sebahaya paham khilafah? Tentu, jawabannya harus objektif. Ideologi transnasional tersebut sama-sama berbahaya bagi kehidupan umat beragama dan sistem bernegara. Sejauh ini, fakta yang ditemukan di lapangan dan di dunia maya pengusung khilafah sangat eksis. Nyaris tiap hari menggelar kajian yang sifatnya cenderung kudeta, dan pemberontakan kepada pemerintahan yang sah di berbagai negara Islam di kawasan Timur Tengah.

Ketika muncul penolakan ideologi PKI, tindakan mereka wajar dan menjadi keniscayaan bagi umat beragama. Terutama, bagi segelintir umat Islam yang masih tidak menerima Pancasila dengan penuh lapang dada (aktivis khilafah). Juga merupakan keharusan menolak ide khilafah. Siapakah organisasi yang ikut memperjuangkannya? Ialah FPI, dan eks HTI.

Bahaya laten komunis dan khilafah sungguh ibarat monster berbisa. Sebab itu, membuat psikologi umat Islam takut seperti takutnya kepada teroris. Padahal, aksi mereka cukup provokatif hingga radikal yang secara literal maupun substantif tidak dibenarkan dalam koridor agama itu sendiri. Dan ironisnya sampai meminjam baju agama tertentu, seperti Islam.

Secara definitif, selama isu komunis dan khilafah menimbulkan rasa takut, maka tindakan mereka tidak jauh beda dengan teroris yang menebar ketakutan di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, modus baru kelompok Islam radikal tersebut tidak memiliki siasat lain. Kecuali dengan cara mereka memanfaatkan isu PKI demi menyiasati tegaknya paham khilafah.

Pelemahan Pancasila Lewat Khilafah

Dua hari lalu, Forum Dialog Ilmiah Harga Mati menggelar kajian online dengan tema “Pancasila Mengharamkan Komunisme – TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966”. Dalam kesempatan tersebut, narasumber yang hadir Prof. Dr. Anis Malik Thoha, M.A., Ph.D (Dosen Fakultas Ushuluddin), KH. Muhammad Khudori (Pimpinan Ponpes Putri at-Taqwa), dan Dr. Tony Rasyid (Pemerhati Bangsa). Hostnya adalah Dr. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H telah tayang di kanal Youtube Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia (MIUMI).[04/06/2020]

Abdul Chair Ramadhan, berkata bagaimana yang bersangkutan mendirikan khilafahisme ini seolah-olah sebagai suatu bentuk kejahatan atau paham yang terlarang. Padahal, tidak pernah ada dalam hukum positif maupun fatwa yang menyatakan bahwa khilafahisme bertentangan dengan syariat Islam. Dan itu sebagai pelarangan dalam hukum positif?

Diakui atau tidak, pertanyaan demikian adalah statement dasar yang menggaris bawahi bahwa ia salah satu pengusung khilafah yang tidak meyakini Pancasila. Meskipun mereka relatif hebat menyusun siasat. Tetapi, detik ini, strategi liciknya terbongkar semua. Mulai dari aksi jihad menolak RUU HIP, acting pandai menipu seluruh aspirasi umat Islam, dan eksistensi di garda terdepan membela Pancasila dari bahaya paham komunis.

BACA JUGA  Menangani Radikal-Terorisme: Spirit Nasionalisme yang Tak Banyak Diminati

Mereka mulai membela Pancasila dengan menggembar-gembor PKI/Komunis adalah bahaya besar dan ancaman. Sebaliknya, aksi tersebut merupakan agenda setting mereka yang ideologi Pancasila dipandang sebelah mata. Karena itu, perjuangan sia-sia inilah secara pelan-pelan memperlemah sistem.

Tafsir limitatif menjadi alat efektif bagi kaum ekstremis-radikalis untuk menjustifkasi pemerintah dan nasionalis Islam takut akan penerapan syariat Islam. Konstruksi pemikiran seperti ini harus dihindari oleh umat Islam itu sendiri, dan menghindari yang namanya paham komunis ataupun khilafah.

Abdul Aziz, dkk mengutip pandangan Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Iqtishad fi al-I’tiqad, bab al-Imamah, pada paragraf pertama menegaskan bahwa persoalan imamah masuk pada wilayah fikih. Dengan demikian, sebagaimana watak fikih yang cendrung elastis, fleksibel dan dinamis, maka keberadaan imamah sebagai instrumen itupun dapat berubah bentuknya seiring dengan tuntutan perkembangan kemajuan zaman dan tempat.

Pendapat tersebut dapat disimpulkan, bahwa jihad dan amar ma’ruf nahi mungkar dalam menegakkan khilafah bukan hal yang wajib mengikuti pemerintahan Islam. Oleh karenanya, sudah ada demokrasi sebagai alat untuk memilih pemimpin berdasarkan aspirasi umat, sedangkan Pancasila adalah hukum tertinggi dalam sistem kehidupan bernegara.

Modal Penguatan

Wacana perubahan RUU HIP menjadi Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU PIP) merupakan pilihan politik yang tepat dalam rangka menjaga ideologi negara, dan memperkuat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) melalui legislasi di DPR – RI. Sehingga, yang sebelumnya hanya setingkat keputusan presiden dalam bentuk PERPRES Nomor 7 Tahun 2018 tentang BPIP, maka kini menjadi kekuatan anti–body baik dalam konteks legal formal maupun legal standing.

Di sisi lain, RUU PIP dapat mendorong pemberantasan kelompok-kelompok yang bersentuhan dengan komunisme, leninisme, dan marxime. Ditambah lagi, larangan kepada kelompok yang memiliki ideologi transnasional sejenis ekstremisme kekerasan, radikalisme, terorisme, dan khilafahisme.

Modal legislasi tersebut adalah harapan yang ditunggu oleh seluruh umat beragama. Agar doktrin yang bersifat simbolik ini tidak lagi dipolitisasi, dalam hal ini, depolitisasi agama harus menjadi konsen baru dalam RUU PIP. Paling tidak, keberadaannya menciptakan negara bangsa yang damai, dan utuh.

Agenda legislatif demikian perlu dukungan moral dari semua partai politik (DPR–MPR-RI), pemerintah (Presiden, BPIP, Kemenag, Kemenkopolhukam), dan civil society. Tentu, peran mereka sangat esensial ke depan guna menghindar dari ancaman paham komunisme/PKI, dan khilafahisme.

Respon dan kritik bijak yang konstruktif butuh dari umat beragama. Utamanya, kelompok nasionalis Islam/agamis dalam rangka meredam konflik yang sifatnya horizontal maupun vertikal di masa mendatang. Dengan demikian, tidak ada lagi aksi-aksi provokatif seperti pekan lalu.

Jika kita sadar, dan merasa menjadi umat Islam yang sopan dan santun, maka Pancasila harus tetap dijaga, dan disepakati, serta diyakini sebagai pedoman seluruh umat dari semua agama. Jadi, teologi Pancasila ibarat syariat yang tidak harus dilanggar, dilawan, bahkan dibenturkan dengan Islam.

Karena itu, hidup dalam negara multikultural harus bermodalkan Pancasila dalam mendorong keberagaman dan persatuan umat Islam, sedangkan khilafah dan komunis hanyalah ideologi ekstrem yang harus dilawan melalui agenda RUU PIP. Inilah solusi yang menawarkan spirit toleransi.

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru