28.9 C
Jakarta
Array

Pancasila, Anak, dan Keluarga

Artikel Trending

Pancasila, Anak, dan Keluarga
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kesaktian Pancasila sebagai dasar negara Indonesia adalah kemampuannya mencakup pelbagai gagasan dalam satu wadah yang bisa diterima banyak kalangan. Pancasila mampu mewadahi pelbagai ideologi yang ada, untuk kemudian ditransformasikan menjadi satu dasar negara yang bisa memberikan rasa keadilan bagi semua kelompok di Indonesia. Dari sana, Pancasila kemudian menjadi rumah besar yang mengayomi semua kalangan dan menjadi pedoman menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selama puluhan tahun Pancasila telah terbukti mampu menyatukan kita dalam ikatan sebuah bangsa dan negara, di tengah segala kemajemukan yang ada. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila memang tak lepas dari karakter bangsa Indonesia sendiri yang sudah tertanam sejak lama dan digali para pendiri bangsa (founding fathers). Mula-mula, nilai-nilai tersebut digali oleh Sukarno, kemudian melewati pelbagai tahap dialog dengan pelbagai tokoh bangsa dari pelbagai golongan dan kelompok, sampai menjadi Pancasila sebagaimana kita kenal sekarang.

Sukarno melakukan permenungan mendalam dan panjang dalam proses penggalian Pancasia. “Di Pulau Flores yang sepi, di mana aku tidak memiliki kawan, aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di bawah pohon di halaman rumahku, merenungkan ilham yang diturunkan oleh Tuhan, yang kemudian dikenal sebagai Pancasila. Aku tidak mengatakan aku yang menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami tradisi-tradisi kami sendiri dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah,” kata Sukarno, sebagaimana termaktub dalam buku Penyambung Lidah Rakyat.

Karena digali dari nilai-nilai yang hidup di dalam jiwa masyarakat Indonesia sendiri, Pancasila merefleksikan semangat asli Indonesia yang mampu menghubungkan pelbagai macam golongan atau kelompok masyarakat yang tersebar di Nusantara. Satu semangat yang menjadi jiwa Pancasila adalah semangat kebersamaan atau gotong royong. Pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945 di Jakarta, Sukarno menyampaikan lima dasar sebagai bangunan Indonesia merdeka; kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan—yang kemudian melewati pelbagai perdebatan hingga disepakati menjadi lima sila dengan susuhan kalimat dan urutan sebagaimana kita kenal sekarang.

Setelah menyampaikan lima dasar tersebut, pada pidato selanjutnya, mengutip keterangan Agustinus W. Dewantara dalam buku Alangkah Hebatya Negara Gotong Royong (2017), Sukarno sempat memberi alternatif untuk memeras lagi lima dasar tersebut menjadi Trisila, yakni: socio-nationalism, socio-democratie, dan Ketuhanan. Tak berhenti, Sukarno masih memeras lagi Trisila tersebut dalam Ekasila atau satu sila tunggal, yakni “gotong royong”. Meski kemudian yang disepakati adalah Pancasila, namun keterangan tersebut menggambarkan betapa pentingnya semangat kebersamaan atau gotong royong bagi bangsa ini. Sebab Bung Karno menganggap gotong royong merupakan suatu perkataan Indonesia yang benar-benar tulen, yang berakar dari nilai-nilai yang ada pada masyarakat kita sendiri sejak lama.

Semangat gotong-royong inilah yang bisa dikatakan merupakan pengikat kemajemukan bangsa Indonesia selama ini, sehingga bangsa ini tetap utuh hingga detik ini. Semangat gotong-royong ini merupakan suatu nilai yang bisa berwujud dalam pelbagai bentuk, seperti rasa persatuan, persaudaraan, kebersamaan, tolong-menolong dan bahu-membahu, serta saling menghargai dan menghormati. Nilai-nilai inilah yang selama ini menjadi tali pengikat dari kemajemukan yang ada dalam tubuh bangsa ini, sehingga setiap kelompok atau golongan bisa hidup damai, bergandengan tangan, dan bahu-membahu di tengah segala perbedaan yang ada.

  Tantangan

Meski telah terbukti mampu menyatukan semua kelompok, gagasan, dan kepentingan yang ada di Indonesia selama puluhan tahun, Pancasila akan selalu mendapatkan cobaan. Hal ini bisa disebabkan pelbagai hal. Bisa karena kekecewaan atau ketidaksukaan sebagian kelompok yang merasa tak puas dengan jalannya pemerintahan, atau karena arus ideologi transnasional seperti radikalisme agama yang masuk ke Tanah Air, atau gabungan dari keduanya yang kemudian membentuk gerakan-gerakan ekstremisme dan aksi-aksi intoleran yang menciptakan kerasahan di masyarakat dan mengancam tegaknya bangunan besar Negar Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang selama ini diikat oleh Pancasila.

Terkait gerakan radikalisme misalnya, kelompok radikal yang membawa-bawa nama agama terus mempropagandakan gerakan untuk mengganti Pancasila dengan dasar yang sesuai syariat agama. Pancasila dianggap tak mampu mengatasi problem bangsa, dari mulai ketidakadilan sampai ketimpangan sosial. Padahal, sudah jelas bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk yang terdiri dari beragam suku, agama, ras dan golongan. Kelahiran bangsa ini juga tidak hanya diperjuangkan satu kelompok, namun hasil perjuangan pelbagai kelompok.

Di samping itu, tantangan bangsa ini (baca; Pancasila) belakangan adalah menguatnya sikap intoleran, maraknya ujaran-ujaran kebencian, dan mudahnya orang saling bertikai hanya karena perbedaan. Bahkan ini mudah kita saksikan sehari-hari di media sosial. Kita melihat bagaimana mudahnya orang menghina satu sama lain, mengeluarkan kata-kata kebencian (hate speech) hanya karena suatu kabar yang belum jelas kebenarannya, bahkan tak jarang merupakan kabar palsu (hoax). Nilai-nilai persaudaraan dan saling menghargai perbedaan seakan semakin terkikis. Dengan kata lain nilai-nillai kebersamaan atau gotong-royong yang—bagi Bung Karno—merupakan nilai asli Indonesia dan merupakan saripati dari Pancasila, mulai melemah dan mengikis. Di titik inilah, diperlukan adanya perjuangan (jihad) untuk kembali menguatkan nilai-nilai Pancasila agar bangsa ini kembali pada jati dirinya yang semula, yakni bangsa yang masyarakatnya bisa hidup damai dan berdampingan meski dalam perbedaan.

 Menanamkan

Menanamkan dan menguatkan kembali nilai-nilai Pancasila perlu upaya sistematis dan melibatkan seluruh elemen bangsa. Dengan kata lain, diperlukan gerakan bersama dan kekompakan dari semua elemen bangsa. Proses edukasi dan penguatan nilai-nilai Pancasila ini harus berjalan komprehensif, dari tingkatan pengenalan, penanaman, pemahaman, sampai terejawantah menjadi sikap dan tindakan. Terkait hal ini, Faturrahman Ghufron (2016) mengungkapkan ada tiga aspek yang bisa digunakan sebagai sarana penguatan Pancasila secara radikal, termasuk sebagai wacana tanding terhadap segala arus radikalisme-terorisme.

 Pertama, radical in mind yang berkaitan dengan penguatan gagasan dan ide merevitalisasi Pancasila sebagai “semangat pencerahan”. Artinya bagaimna setiap sila dalam Pancasila tak sekadar disadari sebagai “asas negara” namun lebih jauh bisa sampai pada “asas agama maupun budaya” yang dapat diakui sebagai landasan spiritualitas oleh semua kelompok keyakinan teologis dan etnis di Indonesia. Sebab, nilai-nilai dalam Pancasila pada dasarnya memang selaras dengan ajaran agama, termasuk agama Islam. Dengan demikian, orang tak akan lagi mempermasalahkan dan menghadap-hadapkan Pancasila dengan keyakinan agamanya, sebab nilai-nilai keduanya berjaan selaras dan bisa saling menguatkan.

Kedua, radical in attitude berkaitan dengan sikap dan perilaku setiap orang untuk menyadarkan bahwa; sila berketuhanan sebagai cara untuk melindungi pelbagai agama dan kepercayaan, sila kemanusiaan untuk mewujudkan keadaban dan perlindungan terhadap HAM, sila persatuan sebagai komitmen sosial yang meniscayakan kerukunan, sila kerakyatan sebagai basis musyawarah dan mufakat, dan sila keadilan yang meniscayakan adanya pola hubungan rerata sekaligus perlu digunakan sebagai sarana untk melestarikan sikap simbiosis mutualis yang beradab.

 Ketiga, radical in action, berkaitan dengan tindakan individu maupun kelompok dalam merumuskan kebijakan aksional bernapas Pancasila yang diperuntukkan bagi kepentingan orang banyak. Di level aksiologis ini, jelas Ghufron, semua komponen masyarakat menyadari bahwa Pancasila menjadi serapan banyak acuan pengetahuan, baik yang berbasis agama, budaya, politik, dan sebagainya. Segala bentuk gagasan, ide, kebijakan, prosedur, yang dirumuskan oleh masyarakat di berbagai level, akan bersumbu pada nilai-nilai Pancasila.

Dari keluarga

Ketiga aspek tersebut menggambarkan bagaimana menguatkan nilai-nilai Pancasila melalui pelbagai aspek di ranah gagasan atau ide. Dalam implementasinya, jihad menguatkan kembali nilai-nilai Pancasila pada dasarnya bisa dilakukan oleh siapa pun, dengan berpegang gagasan tersebut. Setiap orang, lewat peran masing-masing, perlu turut serta mengamalkan dan menguatkan nilai-nilai Pancasila dalam kesehariannya. Contohnya, di lingkungan keluarga misalnya, orang tua bisa menanamkan nilai-nilai Pancasila pada anaknya melalui pelbagai aturan, pola asuh, dan pelbagai aktivitas keseharian di dalam keluarga.

Guna menanamkan nilai-nilai sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa misalnya, orang tua harus memastikan memberikan pendidikan agama yang benar pada anaknya agar anak taat kepada ajaran agama masing-masing, serta mampu menghargai keyakinan orang lain. Orang tua juga bisa membiasakan budaya dialog dan diskusi di lingkungan keluarga sebelum menentukan suatu hal, dengan mengajak anak aktif berpendapat, mendengarkan pendapat orang lain, serta menghormati keputusan bersama. Ini akan mengajari anak tentang nilai-nilai musyawarah dan bagaimana menghargai perbedaan pandangan, sebagaimana diamanahkan di sila keempat.

Orang tua juga harus menegakkan prinsip adil dalam mendidik dan mengasuh anaknya, selalu memupuk nilai-nilai kemanusiaan seperti rasa saling menyayangi, empati, dan menghormati, serta terus menciptakan kerukunan, kebersamaan dan persaudaraan di lingkungan keluarga, sebagaimana tergambar dalam sila kedua, ketiga, dan kelima. Jika seorang anak dibesarkan dalam atmosfer keluarga yang demikian, besar kemungkinan ia akan tumbuh dan berkembang menjadi sosok pribadi yang berkarakter Pancasilais. Anak akan menjadi sosok manusia Indonesia yang memiliki keyakinan agama yang mendalam namun bisa menghargai keyakinan umat lain, punya rasa kemanusiaan tinggi, kecintaan pada Tanah Air, serta mampu hidup berdampingan di tengah kemajemukan. Ketika terjun di masyarakat, ia akan menjadi sosok teladan di lingkungannya masing-masing yang selalu memegang teguh prinsip kebersamaan, mampu mengayomi semua kalangan, dan selalu menjadi pendamai ketika terjadi pertikaian. Jika setiap anak Indonesia mendapatkan didikan nilai-nilai Pancasila sejak dini dari orang tuanya secara baik, maka jalan menuju masyarakat Indonesia yang aman, sejahtera, dan damai akan semakin terwujud.  Wallahu A’lam.

*AL-MAHFUD, dari Pati Jateng. Aktif menulis artikel, esai, dan ulasan berbagai genre buku di media massa, baik lokal maupun nasional.  

Juara II Lomba Opini HMI Korkom Walisongo Semarang. 
Kerjasama Publikasi dengan Harakatuna.com.
Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru