26.1 C
Jakarta

Pakai Jilbab untuk Menghindari Virus Corona

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanPakai Jilbab untuk Menghindari Virus Corona
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pada Podcast YouTube Deddy Corbuzier, Ibu Sinta Nuriyah sebagai narasumber menyebutkan, bahwa memakai jilbab tidak wajib. Pernyataan kontroversi ini berdalih atas pengalaman semasa hidupnya bersama suami tercinta Abdurrahman Wahid (atau lebih akrab disapa Gus Dur) yang tidak mengharuskan wanita muslimah memakai jilbab. Inayah, putri Bu Sinta, yang kebetulan mendampinginya pada momen itu menegaskan: “Dari dulu enggak pernah Gus Dur menyuruh menggunakan jilbab.”

Keberanian Bu Sinta dan putrinya keluar dari kemapanan dan paham fanatik ternyata masih belum bisa diterima oleh masyarakat Indonesia. Karena itu, kritik sampai cercaan datang silih berganti. Tentu, tuduhan sesat dilayangkan, tanpa melihat status Bu Sinta yang secara keilmuan tidak dapat diragukan lagi. Saya berprasangka baik, Bu Sinta menyampaikan pernyataan itu untuk meluruskan pesan-pesan agama yang mulai dipolitisasi oleh kelompok tertentu.

Berbicara tentang jilbab, tidak cukup hanya membaca teks Al-Qur’an secara literal, melainkan melihat motivasi di balik teks tersebut. Selain itu, penting pula ditelaah secara serius beberapa pertanyaan sebelum tergesa-gesa meneriakkan Memakai jilbab itu wajib. Al-Qur’an memang menyebutkan tentang uraian perintah jilbab, lalu apa itu jilbab? Apakah jilbab itu kerudung yang dipersepsikan oleh masyarakat Indonesia? Benarkah perintah memakai jilbab itu adalah perintah wajib? Bahkan, bukankah perintah memakai jilbab hanyalah kebutuhan situasional, bukan syariat Islam? Satu lagi, masihkah jilbab itu dijadikan standar kemusliman wanita dalam Islam?

Beberapa pertanyaan ini, menarik diuraikan dengan terlebih dahulu mengutip ayat Al-Qur’an yang populer dan satu-satunya berbicara tentang jilbab: Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Ahzab [33]: 59).

Ayat tersebut secara sepintas memang menyebutkan perintah memakai jilbab, tapi belum dipastikan perintah itu bersifat wajib. Sebelum melangkah lebih jauh, penting disepakati status jilbab. Ulama berselisih pendapat tentang status jilbab. Al-Baghawi menyebutkan dalam karya tafsirnya Ma’alim at-Tanzil, jilbab adalah pakaian yang menutupi tubuh wanita dan dipakai di atas khimar (pakaian penutup kepala) dan dir’u (pakaian yang terbuat dari besi yang berfungsi menjaga dari serangan senjanta). Sedangkan, Hamzah al-Kirmani dan al-Khalil mengatakan, jilbab adalah pakaian yang menutupi tubuh wanita, seperti ditsar (pakaian yang dipakai di atas syi’ar), syi’ar (pakaian yang menutupi tubuh wanita selain tsiyab, yaitu pakaian yang menutup sebagian atau keseluruhan tubuh), dan kisa’ (pakaian yang menutupi tubuh).

Perselisihan pendapat di sini secara tidak langsung mengindikasikan, bahwa pakaian dalam istilah bahasa Arab bermacam-macam, salah satunya jilbab. Memang, pada perbedaan pendapat ini disadari bahwa Hamzah dan al-Khalil cenderung lebih ketat dibandingkan al-Baghawi. Al-Biqa’i dalam tafsirnya Nadhmu ad-Durar menegaskan dari perbedaan ini, bahwa jilbab yang dipahami sebagai penutup kepala (salah satunya yang dipahami oleh al-Baghawi) diharuskan dapat menutup wajah dan leher wanita. Pandangan jilbab semacam ini hampir sama dengan cara pandang masyarakat di Indonesia yang menyebutkan bahwa jilbab itu kerudung dan cadar. Sedangkan, pandangan jilbab yang dipahami dengan gamis (mungkin salah satunya Hamzah dan al-Khalil) tentunya dapat menutupi keseluruhan tubuh wanita, termasuk kedua tangan dan kedua kaki.

BACA JUGA  Mengapa Konsep Perubahan Penting Ditegakkan di Negeri Ini?

Kemudian, saya coba telusuri beberapa literatur tafsir terkait dengan perkembangan jilbab setelah ayat itu turun. Apakah jilbab itu diperintahkan untuk menutup aurat wanita atau sekedar kebutuhan situasional. Syaikh Mufassirin ath-Thabari menyebutkan dalam tafsirnya bahwa jilbab itu diperintahkan kepada istri-istri Nabi Muhammad Saw., putri-putri beliau, dan seluruh perempuan mukmin bukan untuk menutup aurat, namun hanya sebatas pembeda dengan perempuan budak (ima’) bila keluar rumah untuk menunaikan kebutuhannya. Sehingga, dengannya wanita merdeka tersebut terhindar dari gangguan seperti kata-kata kotor yang diucapkan oleh orang fasik. Pada sisi lain, Fakhruddin ar-Razi menulis dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib: “Pada zaman Jahiliyyah wanita merdeka (al-hurrah) dan wanita budak (al-amah) keluar rumah dalam keadaan terbuka (sebagian tubuhnya), sehingga menarik perhatian para lelaki pezina, maka Allah memerintahkan wanita merdeka untuk memakai jilbab.”

Sampai di sini saya belum menemukan redaksi pada ayat tersebut, bahkan pada tafsir-tafsir yang ditulis mufasir terdahulu yang menghubungkan perintah memakai jilbab untuk memenuhi kewajiban menutup aurat. Lebih dari itu, menutup aurat memang keharusan, tetapi batasan aurat masih debatable, diperdebatkan. Karena, tidak ada batasan yang jelas dalam Al-Qur’an. Dengan teori limit (Nazhariyat al-Hudud) Muhammad Syahrur—sejauh ingatan saya—membatasi aurat wanita menjadi dua macam: Pertama, batas maksimal (hadd al-a’la) dan batas minimal (hadd al-adna) yang hanya menutupi bagian atas (payudara) dan bagian bawah (alat kelamin). Jadi, selain dua batas minimal ini, aurat wanita disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat.

Melalui uraian tersebut, pesan penting yang disampaikan di balik perintah memakai jilbab—sebagaimana telah dipahami beberapa pakar tafsir—hanya memenuhi kebutuhan situasional. Bila tidak dibutuhkan, memakai jilbab tidak wajib. Saya pikir memakai jilbab merupakan cara wanita menjaga tubuhnya dari pandangan lelaki dan kotoran yang mudah hinggap di tubuh. Sehingga, manfaat jilbab bisa jadi persis sama dengan masker yang akhir-akhir ini diinstruksikan oleh dokter untuk menghindari Virus Corona—seperti yang disebutkan dalam detik.com—yang kini semakin menyebar hingga ke 13 negara di dunia. Negara tersebut adalah China, Jepang, Prancis, Australia, Amerika Serikat, Kanada, Nepal, Singapura, Malaysia, Korea Selatan, Thailand, Taiwan, dan Vietnam. Semoga kita, baik yang pakai jilbab atau yang tidak, sehat dan selamat dari segala penyakit! [] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru