31.4 C
Jakarta

Eks Napiter, Haris Amir Falah Sebut Paham Radikalisme Mengancam Pancasila

Artikel Trending

AkhbarDaerahEks Napiter, Haris Amir Falah Sebut Paham Radikalisme Mengancam Pancasila
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Solo – Munculnya paham radikalisme ekstrem yang tersebar di wilayah Indonesia mengancam Pancasila dan kedaulatan NKRI. Hal ini perlu diantisipasi, mengingat mereka telah secara terang-terangan membentuk kelompok-kelompok radikal di tengah masyarakat.

“Munculnya radikalisme dalam bentuk pemikiran dan tindakan sebenarnya sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. NII (Negara Islam Indonesia-red) adalah cikal bakal gerakan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Namun, semakin tahun kelompok radikalisme menggeser gerakannya ke tengah (semakin terbuka-red). Mereka melakukan dakwah dalam wadah JAD, JAT, MMI dan kelompok lainnya. Lalu, berkembang menjadi bentuk strategi seperti pelatihan militer hingga provokasi,” terang eks Narapidana Teroris (Napiter), Haris Amir Falah dalam Seminar Nasional bertema “Negara dalam Bayang-Bayang Radikalisme” yang digelar di Red Chilies Hotel Solo, akhir pekan lalu.

Radikalisme agama, kata Haris, semata-mata lebih pada penyimpangan ajaran agama. Bahkan kontestasi otoritas keagamaan konvensional, dengan otoritas mayoritas ekstrem bersahutan dalam politik identitas dan politik Islam. Selain itu, juga diranah kehidupan umat. Penyimpangan-penyimpangan ini tentu mengancam Pancasila dan kedaulatan NKRI.

“Di sanalah terjadi kekerasan wacana bahkan fisik. Hingga menimbulkan, teror-teror yang makin menjadi. Itu dampak dari radikalisme secara ekstrem,” tegas pria yang pernah divonis hukuman 4,5 tahun tersebut.

Fenomena ini, lanjutnya, bisa dilihat dari dekralasi, ajaran dan tindakan kejam ISIS yang mampu memecahkan kelompok mayoritas keagamaan di dunia dan berefek di Indonesia. Haris mencontohkan, seperti kelompok JAD dengan ajaran pokoknya yakni negara harus berhukum dengan Allah. Jika tidak, kelompok tersebut akan melabeli pemerintah dengan sebutan taghut dan kufur.

BACA JUGA  Media Sosial Jadi Platform Paling Berpengaruh Sebar Intoleransi di Kalangan Gen Z

“Menurut mereka (JAD-red), tinggal di negara tersebut (yang tidak mematuhi hukum Allah-red) adalah haram atau sudah dicap kafir. Sehingga, mereka harus pindah atau hijrah ke negara Islam yang menerapkan secara konsisten hukum Allah,” jelasnya.

Kegiatan yang diinisiasi oleh Universitas Slamet Riyadi (Unisri) ini juga menghadirkan pengamat pergerakan Islam, Dr Amir Mahmud. Dia mengatakan, bahwa Indonesia memang bukan negara Islam. Namun, ajaran dan prinsip Islam menjiwai terhadap semua produk hukum yang dikeluarkan oleh negara. Karenanya, tidak benar Indonesia dikufurkan.

“Pancasila sebagai dasar hidup negara harus dipahami secara komprehensif oleh para generasi muda dan tua di tengah gencarnya pertarungan ideologi transnasional. Pancasila sesungguhnya sangat sempurna dan tidak dimiliki oleh negara lain. Ideologi Pancasila ini sudah final dan mengikat ini tidak bisa digantikan dengan ideologi lain. Karena, ideologi ini yang paling dan sangat cocok dengan pluralisme dan kebhinekaan Indonesia,” tegas Amir.

Melalui seminar ini, pihaknya berharap, semua komponen bangsa perlu mengisi kekosongan di negeri Indonesia. Cinta tanah air tidak cukup dengan mengisi KTP, tapi harus bisa mengisi semua aspek kehidupan dengan nilai-nilai yang tercantum dalam Pancasila.

“Wawasan kebangsaan tanpa dibarengi dengan praktik yang berlandasan wawasan sinergi keumatan dan keislaman akan membentuk pribadi yang angkuh, sombong dan intoleran. Maka itu, perpaduan antara ide, pemahaman, wawasan dan praktik ini menjadi penting dilakukan,” katanya.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru