30.9 C
Jakarta

Khilafahisme, PA 212, dan Islamisasi Politik

Artikel Trending

Milenial IslamKhilafahisme, PA 212, dan Islamisasi Politik
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam tulisan sebelumnya, Menyanggah Sesepuh HTI: Kata Siapa Khilafah Bukanlah ‘Isme’?, saya sudah mengulas bahwa komunisme dan khilafahisme tidak sebertolak-belakang sebagaimana anggapan para aktivis khilafah. Ketika mereka menganggap syariat sesuatu yang genuine politik, maka secara bersamaan, ia tengah melakukan Islamisasi politik.

Meski begitu, adalah pasti, bahwa mereka tidak akan terima dikata begitu dan, berinisiatif untuk cuci tangan. Pada Sabtu (18/7) lalu, atas nama Pusat Kajian dan Analisis Data, melalui aplikasi Zoom, digelarlah kajian bertajuk “Khilafahisme vs Komunisme, Ada Apa?” dengan menghadirkan beberapa pemateri andalannya yang tidak lagi asing: KH Muhyidin Junaidi, Prof Suteki, Ismail Yusanto, dkk.

Di waktu bersamaan, Munas II PA 212 digelar dengan lancar di kompleks Ponpes Adz-Dzikra, Sentul, Bogor, Jawa Barat. Dalam keterangan pers yang dikonfirmasi Ketua Umum PA 212 Slamet Maarif, yang terpilih kembali di Munas II tersebut, ada tiga amanat kebangsaan yang dihasilkan: upaya pemulangan Habib Rizieq, tolak UU Corona, membubarkan BPIP, dan sempurnakan dasar organisasi.

PA 212 sendiri sebenarnya juga gerakan politik genuine, sama sekali tidak mengandung unsur keagamaan, kecuali karena dipakai kendaraan oleh orang-orang yang mengklaim representasi Islam. Sangatlah tidak logis menuntut pemulangan Habib Rizieq sebagai amanat kebangsaan. Sangat tidak logis lagi ketika ingin menyempurnakan dasar organisasi. Itu artinya, dasar mereka masih tidak jelas.

Dua sampel di atas, khilafahisme dan PA 212, kalau diperas lagi, maka terdapat benang merah di dalamnya: Islamisasi politik. Spiritnya sama, ingin merombak tata kelola kebangsaan menjadi seperti yang mereka agendakan. Yang terakhir ini tersembunyi, dan yang mencuat ke permukaan adalah bahwa mereka tengah berupaya mencapai kejayaan Islam masa lalu yang sejujurnya nina-boboan belaka.

Dibendung, muncul, dan melawan. Seperti itu pola golongan-golongan seperti mereka. Alih-alih ingin membuat Islam berjaya, mereka malah menjadi benalu bangsa, membuat onar kepada masyarakat. Yang seperti mereka juga tidaklah sedikit.  Dan, untuk diketahui, mereka cerdas sekali perihal mengais dukungan massa, misalnya dengan menjadi ustaz urban.

Peran Ustaz Urban

Islamisasi politik merupakan fenomena lama, yang kini agenda finalnya adalah mendirikan khilafah. Tetapi, tidak langsung ceplok demikian. Untuk sampai ke taraf agenda terselubung tersebut, pertama yang dilakukan ialah pengarusutamaan Islam. Mereka megklaim tidak berafiliasi ormas apalagi partai politik tersentu. Mereka merepresentasikan diri sebagai Islam yang ideal, murni.

Dalam hal ini, ustaz urban mengambil peran. Ustaz urban tidaklah identik dengan pemahaman keagamaan yang mumpuni, sebab yang terpenting adalah menarik bagi jemaah perkotaan. Islam arus utama yang diklaimnya mengajarkan kemurnian Islam, dan salah satu rupa kemurnian tersebut ialah berdirinya khilafah. Khilafahisme pun sukses menebarkan pahamnya.

BACA JUGA  Mengakhiri Propaganda Ajaran Radikal di Medsos

PA 212 senantiasa mengukuhkan eksistensinya dengan berlagak kritis, agar masyarakat tidak menganggapnya gerakan yang vakum. Unjuk gigi mereka seringkali  yang bahkan tidak rasional. Habis menghajar polemik RUU HIP, kini mereka berpindah menghajar BPIP. Entah amanat kebangsaan apa yang berusaha bergerak frontal itu, apalagi tidak berbasis data yang akurat.

Bisa dikatakan, PA 212 termasuk aktor khilafahisme, meski bila dirunut rekam jejaknya, ia berafiliasi dengan bukan Hizbut Tahrir, melainkan FPI. Sebagaimana maklum bersama, khilafahisme hari ini tidak menyatu dalam satu organisasi setelah Hizbut Tahrir dibubarkan. Karenanya, kehati-hatian akan nalar khilafahisme dan amanat-amanat PA 212 mesti dikawal—diwaspadai.

Mengetahui bahwa PA 212 murni adalah kepentingan politik tertentu merupakan suatu kewajiban, sewajib mewanti-wanti masyarakat agar tidak terprovokasi propaganda khilafahisme. Bila ada ustaz gaul, tampil ala orang kota, bergaya urban, apalagi didukung oleh para aris hijrah dalam kanal YouTube mereka, menelisiknya menjadi keharusan. Tidak semua ustaz harus diikuti begitu saja.

Boleh jadi, kita tidak menspekulasi kemungkinan terburuk, namun kewaspadaan menjadi modal yang utama. Para aktivis khilafah memiliki ribuan cara untuk mengelabui umat, bahkan dengan siasat paling buruk sekalipun. Benteng kita satu-satunya adalah tidak mudah terpengaruh dengan pergerakan yang mengatasnamakan agama, tetapi di dalamnya sarat kepentingan politik tertentu.

Siasat Khilafahisme

Jika beberapa agenda para aktivis khilafah, PA 212, dkk dirangkum, maka beberapa poin yang harus dicatat ialah sebagai berikut:

  1. Membentengi eksistensi diri dengan terus-terusan menyerang wacana komunisme yang sebenarnya tidak ada
  2. Pura-pura membela bangsa sekalipun sejujurnya ingin Habib Rizieq pulang, karena kepulangannya akan menjadi lompatan besar pergerakan mereka ke depan
  3. Ingin menegakkan khilafah tetapi tidak berani terang-terangan, lalu cara yang ditempuh ialah melakukan indoktrinasi umat—mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya.

Tidak ada yang baru dari pergerakan mereka, kecuali bahwa mereka semakin hari mengalami eskalasi jumlah pengikut. Khilafahisme akhirnya melebur, bukan lagi gerakan berbahaya, melainkan dianggap sebagai upaya pemurnian Islam. Segala bentuk Islamisasi politik dilakukan, yang tak jarang justru mencederai agama Islam itu sendiri.

Islamisasi politik merupakan klimaks eksploitasi agama. Hari ini, tidak sulit mencari ustaz, mencari tokoh agama. Sayangnya, yang berserakan di berbagai platform media-internet adalah mereka yang sama sekali tidak memiliki kapasitas mumpuni untuk ditokohkan. Yang ada adalah klaim subjektif sebagai orang yang berpengetahuan, yang ternyata berafiliasi dengan organisasi terlarang.

Komunisme menjadi musuh negeri ini, maka cara yang adil adalah juga memusuhi khilafahisme. Khilafah tidak sama dengan khalifah, dan isme-isme tersebut berpotensi merusak persatuan. Alih-alih PA 212 peduli terhadap kejayaan Islam sebagaimana yang disuarakannya, mereka semua sekadar memperalat agama demi nafsu politisnya. Islamisasi politik, istilah pendeknya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru