31 C
Jakarta

PA 212, G30S PKI, dan Gerakan Hasutan Nasional

Artikel Trending

Milenial IslamPA 212, G30S PKI, dan Gerakan Hasutan Nasional
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kita berada di hari ketiga bulan September. Sebagaimana tahun lalu, semarak perlawanan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) kembali bergema di bulan ini. Gerakan 30 September 1965 merupakan fakta darah sejarah yang mampu mengobarkan semangat melindungi Negara dari komunisme, agar hal semacam itu tidak lagi terjadi. Memori kolektif berusaha diingatkan kembali tentang betapa berbahayanya paham komunis. Tetapi, benarkan renaca pemutaran seperti yang dilakukan PA 212 masih seideal itu?

Dilansir Detik,Persaudaraan Alumni 212 (PA 212) dkk yang tergabung dalam Aliansi Nasional Anti Komunis (ANAK) akan menyelenggarakan nonton bareng film G30S/PKI secara nasional, pada Rabu 30 September nanti. Nobar tersebut juga diawali dengan agenda-agenda keagamaan, dan dengan mengikuti protokol kesehatan. Selain dilakukan secara serentak di wilayah masing-masing, PA 212 berencana tempat nobar G30S PKI dilaksanakan di musala, masjid, dan majelis taklim.

“Kami pada tanggal 30 September akan mengadakan sebuah hajatan besar, yaitu menjalankan khataman al-Qur’an dan berdoa munajat kepada Allah Swt, serta doa taubat untuk para umat Islam, baik yang berjuang bersama-sama kami, maupun yang berjuang bersama-sama pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat,” kata Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama, Yusuf Muhammad Martak dalam jumpa pers di Hotel Sofyan Cut Meutia, Jakarta Pusat, Minggu (30/8) lalu.

Slamet Maarif selaku Ketua PA 212 menambahkan, pihaknya akan melaksanakan kegiatan ini bukanlah kegiatan yang berpusat di satu titik. “Nobar itu akan kita laksanakan secara nasional di masjid, di musala, di majelis taklim di tempat-tempat lainnya di tiap-tiap daerah. Jadi tidak terfokus pada satu daerah dan tetap harus menjaga protokol COVID-19 itu tetap menjadi acuan kita ya,” ujar Slamet. Bahkan, pagi harinya, tanggal 1 Oktober, ungkap Slamet, PA 212 juga akan menggelar apel kesaktian Pancasila.

Agenda-agenda seperti yang PA 212 lakukan, kalau mau jujur, merupakan program yang tidak terlalu krusial dilakukan. Memang, komunisme berbahaya, dan umat Islam punya luka lama tentangnya. Tetapi jika sampai ditonton di masjid-masjid itu terkesan berlebihan, bukan tempatnya. Faktanya, di Indonesia, yang berbahaya bukan hanya ideologi komunis, melainkan juga ideologi radikal pengusung khilafah. Tetapi apakah itu dilakukan?

Tidak, justru film Jejak Khilafah dibuat. Dalam konteks komunisme, umat dicekoki akan kebahayannya hingga ke masjid-masjid. Giliran tentang khilafah, malah umat semakin diprovokasi dengan membuat film dokumenter palsu? Sangat disayangkan.

Provokasi PA 212

Kalau kita amati, organisasi seperti PA 212 dkk itu punya ciri khas: menggelar acara-acara yang sekiranya mendapat penolakan dari pemerintah atau bahkan dari masyarakat, lalu misalkan penolakan tersebut benar-benar terjadi, tuduhan anti-Islam, tuduhan antek-antek komunis, disematkan kepada si penolak tersebut, sampai orang benar-benar yakin bahwa mereka yang menolak memang anti-Islam. Stigmatisasi ini lumrah, misalnya, ketika menstigmatisasi Jokowi sebagai keturunan komunis.

Lalu kita bertanya ke masyarakat. Pasti mereka pernah mendengar rumor, benarkan presiden kita komunis? Benarkah rezim sekarang tengah dikuasai komunis? Benarkah komunisme hari ini sudah bangkit? Semua pertanyaan tersebut merupakan hasil terburuk dari stigmatisasi tadi. Komunisme dihantukan, padahal sudah jelas ia tidak akan bangkit lagi. Kesuksesan terbesar sang provokator ialah membuat masyarakat yakin bahwa pemerintahan Jokowi adalah rezim oligarki-komunis.

BACA JUGA  Melawan Otoritarianisme-Radikalisme dengan Tradisi Kritisisme

Kita pun masuk lebih dalam: apa nalar yang tepat bahwa film G30S PKI harus sampai diputar di masjid-masjid? Mengapa hanya narasi komunisme saja, tidak narasi khilafah juga yang jelas-jelas lebih aktual? Menjadi sesuatu yang mencurigakan, karena kesan dari agenda nobar oleh PA 212 ialah agenda penghasutan nasional. Kita tanya siapa komunis yang mereka khawatirkan? Pasti jawabannya ialah Jokowi dan pemerintahannya. Begitulah. Sejatinya, agenda tersebut kentara kepentingan politik.

Mengingat bahwa PA 212 membasiskan diri sebagai pergerakan politik, yang dinakhodai oleh politisi berpenampilan Islami, yang kemunculannya dilatari persoalan politik, mengatakan bahwa acara nobar tersebut sama sekali tidak memiliki agenda terselubung merupakan sesuatu yang sulit. Kita pasti akan mudah berkomentar, misalnya, “Paling juga nobar tersebut ingin memojokkan Jokowi dan rezim yang dituduhnya komunis,” dan sejenisnya.

Sebagai bagian politis yang posisinya kini menggantikan eksistensi FPI, PA 212 dengan segala provokasinya—dalam hal ini mengkomuniskan rezim—sudah laik untuk dikategorikan sebagai komunitas radikal. Ini sama sekali tidak bertolak dari pelaku, misal karena FPI maka dianggap radikal. Sama sekali tidak. Jelasnya, agenda-agenda semacam nobar G30S PKI bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja, bila niatnya hanya untuk mengenang betapa komunisme itu kejam. Masalahnya adalah, jangan-jangan agenda anti-komunisme tersebut untuk menutupi keradikalan mereka? Semacam maling teriak maling?

Komunisme Sebahaya Radikalisme

Artinya, ada kemungkinan, kalangan radikalis berteriak “Hancurkan komunisme!” sambil melayangkan stigma bahwa pemerintah saat ini, rezim yang tengah berkuasa, presiden kita, itu adalah komunis. Sementara pada saat yang bersamaan, mereka menutup identitasnya sendiri bahwa sebenarnya mereka tengah melakukan tindakan radikal, bahkan bisa jadi tanpa masyarakat sadari. Si A menuduh si B sebagai maling, sampai si B buruk di mata masyarakat, tanpa sempat melawan bahwa si A ternyata juga maling.

Politik saling lempar seperti bukanlah trik politik yang baru. Kalau TAP MPRS menutup penuh kemungkinan bangkitanya paham komunis, seharunya paham radikal juga ditekankan sebagai ideologi yang sama bahayanya—sama-sama memorak-perandakan Indonesia. Yang perlu dikhawatirkan ialah, jangan-jangan kita terlalu fokus membetengi diri dari komunisme, tetapi lupa untuk membentengi dari provokasi para penganut radikalisme. Keduanya, padahal, memiliki tingkat riskan yang setara.

Karenanya, fokus sekarang ialah membentengi dari keduanya secara balance, tidak berat sebelah. Memutar film G30S PKI itu boleh, bahkan bagus jika diniatkan menjaga bangsa Indonesia dari ideologi pengrusak. Tetapi, kita tidak boleh lupa, ideologi pengrusak bukan hanya komunisme melainkan juga radikalisme. Jika PA 212 memang berniat baik, tanpa berniat memprovokasi umat atau menstigmatisasi rezim, bagaimana bila mereka membedah propaganda yang ada di film Jejak Khilafah? Kasusnya lebih aktual, bukan? Kenapa justru pura-pura mengkhawatirkan komunisme yang jelas-jelas tidak akan bangkit lagi? Apakah karena agenda tersebut hanyalah gerakan hasutan nasional belaka? Patut dipertanyakan.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru