26.1 C
Jakarta
Array

Orientalis dan Usaha Penomoran Sebuah Hadist

Artikel Trending

Orientalis dan Usaha Penomoran Sebuah Hadist
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

“Ustadz, tadi hadits Bukhari yang ustadz sampaikan nomor berapa?” Tanya salah seorang jamaah kepada Saya.

“Maaf Pak. Saya tak begitu memperhatikan nomornya malahan”.

Jamaah tadi ternyata di rumah baru saja beli kitab terjemah hadits Shahih Bukhari. Hadits tadi mau dicek kebenaranya dan mau ditelaah lagi sendiri maknanya.

Penomoran hadits ini memang bisa dibilang sesuatu yang baru dalam keilmuan hadits. Hal itu tak lain sebenarnya untuk memudahkan dalam melacak atau juga untuk diingat. Berbeda dengan sekarang, yang mana untuk mencari suatu hadits tinggal klik di komputer atau smartphone saja.

Hanya saja, berkaitan dengan penomoran hadits ini ada beberapa hal yang perlu diketahui.

Cara Menghitung yang Berbeda

Masalah yang sering muncul terkait nomor hadits ini adalah ketidak samaan nomor hadits dalam satu judul kitab. Misalnya: Hadits Shahih Bukhari nomor 500, antar satu kitab dengan kitab lainnya bisa jadi berbeda. Biasanya karena percetakannya yang berbeda.

Kenapa nomornya berbeda? Karena standar tiap percetakan dalam pemberian nomor juga berbeda. Misalnya ada percetakan yang memberi nomor tiap bab. Ketika masuk bab berikutnya, nomornya kembali dari angka 1. Ada yang memberi nomornya berkesinambungan sampai akhir kitab.

Belum lagi perbedaan dalam hal cara hitung. Ada percetakan yang menghitung hadits meskipun berulang di tempat lain. Ada pula yang tak menghitung perulangan itu. Berbeda muhaqqiq juga beda cara.

Memang penomoran hadits yang awalnya untuk mempermudah, bisa jadi malah tambah rumit.

Jika ada ustadz atau orang yang ketika menyebutkan hadits berkata; “di dalam kitab Shahih Bukhari nomor hadits sekian…”, mungkin kita bisa tanya dahulu, itu kitab hadits Shahih Bukhari penomoran versi muhaqqiq siapa, cetakan siapa.

Berbeda Jumlah Hadits

Lebih detail terkait perbedaan penomoran hadits, kita bisa ambil satu contoh kitab, yaitu Shahih Bukhari.

Jumlah hadits Shahih Bukhari menurut pendapat yang masyhur dari Ibnu as-Shalah (w. 643 H) dan diikuti oleh Imam an-Nawawi (w. 676 H) adalah 7.275 buah hadits secara terulang. Sedangkan tanpa terulang sekitar 4.000an hadits. (Ibnu as-Shalah w. 643 H, Ma’rifat Anwa’ Ulum al-Hadits, h. 87 dan an-Nawawi, Tadrib ar-Rawi, h. 51).

Badruddin al-‘Aini (w. 855 H) dan Muhammad bin Yusuf al-Kirmani (w. 786 H) sebagai ulama yang ikut mensyarah atau menjelaskan Shahih Bukhari termasuk yang berpandangan sama dengan Ibnu as-Shalah (w. 643 H). (Lihat: Badruddin al-‘Aini w. 855 H, Mukaddimah Umdat al-Qari Syarah Shahih Bukhari, h. 1/ 6 dan Muhammad bin Yusuf al-Kirmani w. 786 H, Mukaddimah al-Kawakib ad-Darari Syarah Shahih Bukhari, h. 1/ 12).

Hal berbeda diungkap oleh Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H). Menurut beliau, jumlah hadits Shahih Bukhari; baik yang maushul sanadnya maupun yang mu’allaq, termasuk mutaba’at dengan diulang adalah 9.082 buah hadits. Jumlah ini tidak termasuk atsar dari shahabat maupun tabiin yang ada dalam hadits Shahih Bukhari. (Ibnu Hajar al-Asqalani w. 852, Mukaddimah Fath al-Bari, h. 469).

Berbeda lagi menurut beberapa ulama kontemporer. Dr. Dib Al-Bugha ketika mentahqiq Shahih Bukhari, beliau mengakhiri Shahih Bukhari pada nomor 7.124. Penomoran itu masuk juga hadits yang terulang. (Dr. Dib al-Bugha, Mukaddimah Minhat al-Bari fi Khidmat Shahih Bukhari).

Berbeda lagi menurut Fuad Abdul Baqi (w. 1388 H/ 1967 M). Hadits Shahih Bukhari berjumlah 7.563, atau selisih sekitar 439 hadits.

Bisa dikatakan Muhammad Fuad Abdul Baqi (w. 1388 H/ 1967 M) ini termasuk ulama kontemporer yang memulai memberi nomor pada kitab-kitab hadits.

Nah, kita mau pakai penomoran versi yang mana? Apakah 7.124, atau 7.275, atau 7.563 atau malah 9.082?

Berbeda Periwayat

Lain masalah jika berbicara mengenai Kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik bin Anas (w. 179 H). Dimana pembawa hadits (rawi) dari Imam Malik bin Anas ini sangat banyak.

Bahkan Muhammad Mushtafa al-A’dzami ketika mentahqiq kitab al-Muwattha’, beliau menghitung setidaknya ada 100 orang yang meriwayatkan kitab al-Muwattha’. (Muhammad Mushtafa al-A’dzami, Mukaddimah Tahqiq Muwattha’, h. 1/ 189).

Antar satu versi Muwattha’ dan versi lainnya, beberapa ada perbedaan jumlah haditsnya.

Selain karena banyak periwayat dari Imam Malik bin Anas, dalam kitab al-Muwattha’ ini masih banyak kita temukan pernyataan dari Shahabat Nabi, Tabiin bahkan fatwa dari Imam Malik bin Anas sendiri. Maka standar menomorinya pun beragam.

Dr. Muhammad Mushtafa al-A’dzami ketika mentahqiq kitab al-Muwattha’, tak mau mengikuti penomoran dan Muhammad Fuad Abdul Baqi (w. 1388 H).

Menurut Muhammad Mushtafa al-A’dzami, Penomoran dari Muhammad Fuad Abdul Baqi (w. 1388 H) dalam banyak tahqiqannya, banyak mengambil dari karya orientalis Arent Jan Wensinck (w. 1939 H).

Muhammad Fuad Abdul Baqi tak memberi nomor jika berasal dari pernyataan Imam Malik bin Anas dalam kitab al-Muwattha’.

Hadits di Kitab al-Muwattha’ menurut Muhammad Mushtafa al-A’dzami berjumlah 3.676. Jika menurut tahqiq dari Basyar Awad Ma’ruf jumlah haditsnya ada 3.069. Jika menurut tahqiq dari Abdul Wahab Abdullatif Riwayat Muhammad bin Hasan jumlah haditsnya ada 1.008.

Bukan Tradisi Ulama Salaf

Bisa dikatakan penomoran hadits itu bukan tradisi dari ulama salaf. Bahkan Imam Bukhari (w. 256 H) sendiri juga tak menomori hadits di kitabnya.

Meski bukan tradisi ulama salaf bukan berarti selalu jelek. Biasanya mereka menyebutkan hadits ini riwayat siapa di bab apa dari shahabat siapa.

Penomoran hadits itu tak jauh beda dengan pemberian warna-warni yang berbeda dalam tulisan sebuah buku modern.

Paling tidak, hal itu bisa kita simpulkan dari pernyataan Musthafa al-Bugha dalam mukaddimah tahqiq hadits Shahih Bukhari atau yang bernama Minhat al-Bari fi Khidmat Shahih al-Bukhari. Beliau menyebut:

هذا الكتاب لا نزال نجد أكثر طبعاته إذا لم نقل جميعها على النمط القديم خالية من المزاي الفنية للطباعة الحديثة تحشى الصفحة بالأبواب والأحاديث الواحد تلو الآخر دون فواصل أو ترقيم أو بداءة متميزة مما يجعل القارىء يجد صعوبة في مطالعته أو الرجوع إليه (مقدمة المحقق)

Kitab ini banyak kita temukan belum ada seni percetakan modern, seperti antar satu bab dan bab lain ada pemisahnya, haditsnya juga belum ada nomornya atau awalan bab yang berbeda, sehingga menjadikan pembaca mudah untuk mencarinya kembali. (Mushtafa al-Bugha, Minhat al-Bari fi Khidmat Shahih al-Bukhari)

Beliau menomori kitab shahih bukhari. Sebagai bentuk dari model percetakan buku modern.

Metodologi Ulama Kontemporer

Bisa dikatakan, ulama kontemporer pertama yang mencoba menomori kitab-kitab hadits adalah Muhammad Fuad Abdul Baqi (w. 1388 H/ 1967 M). Diantara kitab yang beliau nomori adalah Shahih Muslim, Muwattha’ Imam Malik, dan Sunan Ibnu Majah.

Dari Orientalis

Uniknya, penomoran hadits yang dilakukan oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi (w. 1967 H) ini terinspirasi oleh salah seorang Orientalis. Beliau menyebutkan:

فهذا هو الكتاب الثالث من أصول السنة الثمانية التي خار الله لنا أن نخرجها معدودة الكتب والأبواب والأحاديث بالأرقام المطابقة للتي وضعها مؤلف أصل كتاب مفتاح كنوز السنة وواضعو المعجم المفهرس لألفاظ الحديث النبوي (مقدمة الإمام مسلم لمحمد فؤاد عبد الباقي)

Kitab ketiga ini (pent: tahqiqan ketiga Muhammad Fuad Abdul Baqi) termasuk kitab yang telah kami keluarkan (pent: tahqiq), dimana penomorannya sesuai dengan kamus “Miftah Kunuz as-Sunnah” dan “al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits”. (Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mukaddimah Tahqiq Shahih Muslim).

Orientalis itu bernama Arent J. Wensinck (w. 1939 M); seorang Profesor bahasa Semit, termasuk bahasa Arab di Universitas Leiden, negeri Belanda.

Dia membuat kamus untuk mempermudah mencari satu hadits di banyak kitab hadits. Karena sifatnya kamus, harus ringkas dan cepat untuk dilacak.

Kamus itu bernama Al-Mu’jam Al-Mufahras Lil Al-Fadz Al-Hadits An-Nabawi. Kamus ini disusun sebuah berdasar kosa kata alfabetis yang berasal dari 9 kitab hadits; yaitu Kutub As-Sittah, Musnad Ad-Darimi, Musnad Ahmad bin Hanbal, dan Muwaththa’ Imam Malik.

Dalam penyusunan kamus tadi, Wensinck dibantu orientalis lainnya yaitu Dr. Y. B. Monsej dari Universiti Leiden, Y. B. Dye Hasz, Y. B. Fonne Lone, Y. T. B. Dye Barwin dan Y. B. R. Herman, termasuk J. Horovitz; seorang orientalis beragama Yahudi.

Sebelum itu, Arent J. Wensinck (w. 1939 M) juga telah menulis kamus serupa berjudul Miftah Kunuz as-Sunnah; kunci dari sunnah-sunnah. Pertama muncul kamus ini di Leiden tahun 1927 M.

Oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi (w. 1967 M), kamus Miftah Kunuz as-Sunnah diterjemahkan kedalam Bahasa Arab tahun 1941 M  atas permintaan dari Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 H) dan disebarkan di Mesir. (Muhammad Abdullah Hayyani, Mimma Yulahadz ‘Ala Kitabai Miftah Kunuz as-Sunnah wa al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits, h. 2).

Dalam menyusun kamus Al-Mu’jam Al-Mufahras Lil Al-Fadz Al-Hadits An-Nabawi ini, agar mudah mencarinya maka dibuat simbol nama kitab dan nomor hadits dari 9 kitab hadits tadi.

Muhammad Fuad Abdul Baqi (w. 1967 H) menomori beberapa kitab hadits sesuai dengan penomoran pada kamus Miftah Kunuz as-Sunnah dan  al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits (Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mukaddimah Tahqiq Shahih Muslim).

Maka, penomoran hadits itu bukan sesuatu yang baku. Tergantung siapa yang menomori. Wallahua’lam

Oleh

Hanif Luthfi, Lc., MA

(Pengajar di Rumah Fikih Indonesia)

[zombify_post]

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru