29 C
Jakarta
Array

Orang yang Menulis Cinta-Cintaan Itu Nggak Selalu Bucin

Artikel Trending

Orang yang Menulis Cinta-Cintaan Itu Nggak Selalu Bucin
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

“Aku mencintaimu sejak dalam pikiran, romantiskan? Dan berhenti saat dalam pikiran, tragiskan?“ Jika sore kali ini cerah, saya ingin pergi ke pantai, duduk di pasir–pasir putihnya, menulis puisi, mengunggahnya di media sosial bersama gambar senja yang hangat. Lalu tiba–tiba ada notifikasi muncul, “Dasar bucin!” ucap netizen yang budiman itu.

Saya tidak tahu darimana awalnya, ketika ada seseorang yang belajar merangkai kata–kata kini malah dianggap sebagai bucin alias budak cinta. Tetapi tidak semua begitu dong. Hei, saya ingin dibilang calon penulis dong atau paling nggak biarin saya menuliskan apa-apa yang ada di isi kepala saya.

Menulis itu nggak mudah, menuangkan pikiran dalam kalimat–kalimat lalu merangkainya itu susah–susah (tidak) gampang hehehe. Tapi, setelah jadi lantunan kalimat yang indah, Anda gampang banget bilang, “Bucin akut nih!”

Awalnya saya nggak begitu suka menulis, bahkan mengeluarkan tenaga untuk membaca buku saya malas-malasan. Perkenalan awal saya dengan dunia menulis adalah ketika mata pelajaran Bahasa Indonesia sewaktu kelas 1 SMP.

Waktu itu, saya mendapat tugas untuk menulis diari. Kegiatan yang sangat asing sekali, yang saya tau dari menulis diari hanya soal curhat tentang kegiatan sehari-hari.

Setelah dilakukan penilaian, hasil tulisan saya tergolong baik, bahkan masuk dalam 10 besar di dalam kelas. Heran? Jelas dong. Membaca saja saya nggak pernah, tapi tulisan saya bisa masuk kategori baik. Setelah saya ulik lagi, kesukaan saya waktu itu ternyata yang mempengaruhi kata–kata di tulisan saya.

Pada waktu itu, saya suka sekali mendengarkan lagu-lagu dari Bondan & Fade to Black. Banyak lirik–lirik yang menarik perhatian saya dan rupanya turut membangun bentuk tulisan saya. Seperti fans pada umumnya, saya pun menjadi maniak pada apapun karya–karya mereka, termasuk buku “Hidup Berawal Dari Mimpi” yang mereka keluarkan bersama penulis Fahd Djibran (Sekarang Fahd Pahdewpie).

Perkenalan kedua saya dengan buku terjadi berkat semesta yang baik. Teman saya memesan satu buku karya idola saya lewat toko buku online, tetapi toko buku online itu malah mengirim 2 buah buku. Alhasil, satu buku itu dihibahkan untuk saya baca. Kalau saja bukan buku yang ditulis band kesukaan saya, sudah pasti buku itu akan saya jual.

Sebuah Pengalaman

Saya coba baca beberapa halaman. Astaga! kenapa membaca buku semenyenangkan ini? Kalimat per kalimat yang kubaca itu seolah membentuk bayangan nyata. Saya seperti bisa melihat langsung kejadian yang ada dalam buku tersebut. Saya urungkan niat menjual buku ini, saya baca sampai habis benar, ucapan penutup pun saya baca sampai titik terakhir hehehe.

Lalu dengan semangat yang tinggi ini, saya pergi ke perpustakaan SMP saya waktu itu. Tetapi yang saya temui malah buku–buku pelajaran. Buku pelajaran itu sungguh membosankan, kenapa tidak dibuat novel saja ya itu buku–buku biologi, matematika, fisika dan teman–temanya itu. Biar asik, kan tujuan buku itu untuk dibaca, dan untuk bisa dibaca ya harus menarik. Dibuat versi novel atau cerpen adalah pilihan yang menarik.

Setahun kemudian, saya naik tingkat, masuk ke SMA ternyata keadaan perpustakaanya nggak jauh beda dari sebelumnya. Buku pelajaran lebih banyak, buku–buku hiburan seperti novel sangat susah dicari, sekalipun ada hanya novel–novel lusuh. Apakah perpustakaan lupa mengupdate dirinya?

Menyajikan buku–buku baru di rak perpustakaan mungkin bisa menjadi alternatif menjaring para pembaca baru, ruangan yang nyaman dan tempat baca yang asik bisa jadi pilihan untuk mereka yang masih malas datang ke perpustakaan dan baca buku.

Kisah di Perpustakaan

Di perpustakaan, saya tak menemukan buku yang cocok untuk saya baca. Yasudah, menyisihkan uang saku untuk membeli bacaan menjadi budaya yang saya mulai sejak SMA. Paling tidak sebulan satu buku.

Sejalan dengan itu, asupan kata–kata yang saya baca semakin banyak, saya pun mulai memberanikan diri untuk menulis. Dinding kamar saya menjadi ajang percobaan untuk menuangkan kata–kata. Saat itu sedang terpapar radiasi jatuh cinta, otomatis yang saya tulis ya kecantikan si doi waktu nggak sengaja berpapasan di kantin hehehe

Tetapi muncul masalah baru, ketika ada teman masuk ke dalam kamar kos. Saya pun membereskan kertas–kertas yang menempel di dinding kamar. Malu rasanya, takut tulisan saya dianggap jelek.

Ternyata ketakutan itu terus berlanjut bahkan sampai saya kuliah, saat dunia media sosial sudah menjadi dunia kedua kita. Tulisan saya mulai kutulis ulang di caption media sosial dan di blog pribadi saya.

Semua baik–baik saja sebelum negara api menyerang. Eh, maksudnya sebelum netizen yang budiman ini datang di kolom komentar. Di bilang bucin, makhluk curhat, manusia baperan menjadi hal yang sering di alamatkan pada saya, bahkan mungkin kepada orang lain yang sedang mulai belajar menulis.

Efeknya? banyak tulisan yang nggak jadi dipublikasikan. Betapa sulit mencoba menuliskan kata–kata, tetapi orang lain begitu gampang menghantamnya.

Budaya baca yang rendah di negara kita ini ternyata berbanding lurus dengan budaya komentar jelek akan orang lain.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru