26.8 C
Jakarta

Omong Kosong Era Baru Perempuan Afghanistan di Bawah Rezim Taliban

Artikel Trending

KhazanahOpiniOmong Kosong Era Baru Perempuan Afghanistan di Bawah Rezim Taliban
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Teka-teki masa depan perempuan Afghanistan di bawah cengkraman Taliban kian terang. Terlebih pasca terbentuknya negara Emirat Islam Afghanistan. Yang diumumkan beberapa hari lalu. Mohammad Hasan Akhund didapuk sebagai Perdana Menteri.

Nama Mohamad Hasan Akhund bukan nama asing bagi publik Afghanistan. Pun masyarakat dunia. Terlebih bagi Eropa, Amerika, dan PBB. Ia adalah wakil perdana menteri Taliban pada era awal Taliban berkuasa hingga tahun 2001. Taliban era itu yang diguling paksa oleh Amerika. Taliban yang terkenal brutal, terutama pada kaum perempuan.

Yang tak kalah bikin heboh, kabinet Emirat Islam Afghanistan sudah memilih sebanyak 33 menteri. Mereka diklaim mewakili semua kepentingan politik. Semua mewakili masing-masing klan. Sayangnya, tidak ada satu pun yang perempuan. Yang dilantik itu semua laki-laki.

Meneropong Nasib Perempuan Afghanistan

Melihat dinamika politik Afghanistan dan susunan pemerintahan, maka tak heran muncul pesimis publik terkait masa depan perempuan Afghanistan. Terlebih semua pejabat terpilih Aghanistan yang sudah dilantik—meskipun Juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid, menyebut Pemerintah Sementara—, tapi itu tak menafikan bahwa tak adanya peran perempuan dalam struktur pemerintahan Taliban.

Selanjutnya, nama Perdana Menteri baru Negara Emirat Islam Afghanistan—Mohammad Hasan sejatinya pemain lama dalam gerakan Taliban. Ia adalah wakil dari pemimpin Taliban, Mullah Mohamed Omar. Seorang veteran perang atau mujahid dalam melawan pasukan Uni Soviet.

Pada masa pimpinan Mullah Umar, Taliban termasuk fundamentalis Deobandi. Di samping itu mengikuti paham kekerasan dalam jihad seperti halnya Al-Qaeda. Menurut As’ad Said Ali dalam buku Al-Qaeda Tinjauan Sosial-Politik ,Ideologi dan  Sepak Terjangnya mencatat antara Al-Qaeda dan Taliban terdapat persamaan persepsi tentang Islam, khususnya terkait penerapan syariat Islam yang keras.

Di bawah dinasti ini pula hak-hak perempuan masa lalu Afghanistan tragis. Anak perempuan dilarang sekolah. Perempuan dilarang kerja di luar. Pun perempuan dilarang keras terlibat dalam gerakan politik praktis. Pendek kata, mengutip Buya Syafi’i Maarif, Taliban pernah menghadirkan neraka ke dunia. Dan neraka Taliban itu menimpa kaum perempuan.

Pun kini tak jauh beda. Mohammad Hasan Akhund adalah bagian dari masa lalu Taliban. Ia perpanjangan tangan Mullah Omar. Kebijakannya Taliban terhadap perempuan tak jauh beda dari Taliban masa lampau.

Dari segi model pakaian, perempuan Afghanistan disuruh mengenakan niqab. Mahasiswi dan siswi juga harus mengenakan niqab, bila hendak pergi ke sekolah. Pun dalam ruang kelas, Niqab  itu yang dipadukan dengan abaya. Otomatis yang terlihat hanya mata perempuan saja.

Pun dalam kelas, tak boleh laki-laki dan perempuan dalam satu kelas. Harus pisah kelas. Ketika selesai pelajaran, kelas perempuan harus terlebih dulu usai lima menit, baru menyusul kelas laki-laki. Tak boleh sama. Itulah Taliban.

Tak hanya itu, menurut dokumen panjang yang bersumber dari otoritas tinggi badan pendidikan Taliban, memerintahkan agar siswi perempuan hanya boleh  diajar oleh perempuan. Tak diperbolehkan laki-laki mengajar perempuan. Namun, jika tak ditemukan perempuan yang memiliki kemampuan mengajar dan memiliki pengetahuan, maka  boleh laki-laki tua yang memiliki akhlak dan karakter baik.

BACA JUGA  Radikal-Terorisme Sasar Medsos, Akankah Kita Diam Saja?

Mimpi buruk juga menghinggapi atlet perempuan Agfhanistan. Taliban merengut semua mimpi atlet perempuan. Mereka terpaksa beramai-ramai mengubur impiannya untuk menjadi atlet dunia. Dan dengan terpaksa membuang keinginan bahwa negara Emirat Islam Afghanistan akan berpihak pada mereka. Tak ada masa depan bagi atlet perempaun Afghanistan.

Seperti dikutip dari Reuters, atlet sepak bola Afghanistan Fanoos Basir mengunggapkan keraguannya akan masa depan atlet perempuan di Afghanistan. Atlet perempuan dipaksa Taliban mengubur dala mimpi mereka. Fanoos sendiri dan pelbagai rekannya memilih hengkang dari Afghanistan dan menjadi seorang pengungsi di Prancis.

Pesimis akan masa depan perempuan Afghanistan juga diungkapkan oleh Sanchita Bhattacharya, dari Institute for Conflict Management. Ia menilai sejak awal Taliban tak pernah konsisten akan janji mereka terhadap perempuan Afghanistan. Pada awalnya pihak Taliban berjanji menghormati hak-hak perempuan, nyatanya di lapangan berbeda. Pasukan Taliban menampilkan wajah garang dan bengis.

Dalam catatan Sanchita di Eastasiaforum,org, pada 17 Agustus lalu, misalnya pasukan Taliban menembak mati seorang perempuan di provinsi Takhar. Penyebabnya hal sepele, perempuan itu keluar rumah tidak mengenakan burqa. Tak hanya itu, iklan yang menampilkan wajah dan foto perempuan mengenakan gaun pengantin dengan cepat dicat di atas. Pun Taliban menggunakan cat putih untuk menutupi gambar-gambar perempuan di luar salon kecantikan.

Lebih licik lagi, gadis di atas 15 tahun dan janda di bawah 45 di data, untuk dinikahkan dengan pejuang Taliban. Mereka akan dijadikan istri bagi pejuang Taliban. Tak hanya itu, Taliban juga mengeluarkan hukum dan peraturan baru di provinsi Takhar, yang isinya, perempuan tidak diperkenankan meninggalkan rumah sendirian.

Fenomena ini seolah membawa perempuan Afghanistan ke masa lalu—era tahun 1990-an—, ketika nasib perempuan suram. Perempuan mengalami berbagai bentuk kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan, pemukulan, dan dijadikan budak seks tentara Taliban. Tak akan ada sikap menghormati perempuan, selama Taliban berkuasa.

Lantas apa yang bisa dilakukan dunia terhadap penindasan terhadap perempuan dan anak-anak di Afghanistan? Zama Neff, Direktur Eksekutif Children’s Rights Division, Human Rights Watch menyebutkan langkah jitu yang bisa diambil dunia adalah terus menekan Taliban.  Negara-negara yang ada di bawah PBB, bersatu dan satu suara untuk menekan Taliban agar membuat komitmen politik untuk melindungi pendidikan, perempuan, dan anak-anak.

Komunitas internasional, juga diharapkan senantiasa mengawal pemerintahan Taliban dan memastikan sistem pendidikan Afghanistan berjalan. Pun secara konsisten, menekan Taliban untuk memungkinkan semua sekolah untuk beroperasi, dan untuk memastikan para anak-anak dan perempuan untuk hadir di semua tingkat sekolah, tanpa intimidasi atau ancaman.

Pun sebaiknya, komunitas dunia memberikan bantuan, untuk memperbaiki pelbagai gedung dan fasilitas sekolah yang roboh akibat perang. Pasalnya, imbas perang dan ledakan teror bom, banyak yang meluluhlantakkan gedung dan fasilitas sekolah. Tentu ini membuat anak-anak dan perempuan Afghanistan tak bisa menimba pelajaran di sekolah. Bila tak ada bantuan komunitas negara dunia. Pada siapa lagi kaum rentan Afghanistan berharap? Pada Taliban? Tak akan ada harapan.

Zainuddin
Zainuddin
Alumni Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Alumni Pondok Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru. Pimpinan Redaksi LPM Institut periode 2017. Sekarang peneliti di El Bukhari Institute.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru