25.6 C
Jakarta
Array

Nyekar, Kesalehan Kultural Menyambut Idul Fitri

Artikel Trending

Nyekar, Kesalehan Kultural Menyambut Idul Fitri
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tak lama lagi atau besok, tepatnya tanggal 05 Juni 2019, segenap umat Islam di seluruh dunia akan merayakan Hari Raya Idul Fitri. Bagi umat muslim di Indonesia dalam memperingati hari raya Idul Fitri mempunyai ciri khas tersendiri yang membedakan dengan kaum muslimin di negara lainnya. Ciri khas tersebut tentu menandakan akan kultur dan kebudayaan dari bangsa besar ini, mulai dari mudik lebaran, nyekar atau nyadran, unjung-unjung, dukderan dan lain sebagainya.

Nyekar merupakan salah satu tradisi umat muslim di Indonesia menjelang bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri, yaitu mengunjungi makam para leluhur yang sudah meninggal dengan kegiatan bersih-bersih makam, menaburkan bunga seraya mendo’akannya. Biasanya makam yang dikunjungi adalah makam sanak kerabat yang sudah meninggal dunia.

Sebenarnya tradisi nyekar telah lama ada sebelum Islam datang ke Indonesia, masyarakat Jawa terutama pada awalnya memaknai nyekar untuk meminta restu dari para leluhur supaya haatnya terkabulkan. Maklum memang pada saat itu masyarakat Jawa masih meyakini bahwa roh-roh para leluhur mempunyai kekuatan magis yang dapat mengabulkan segala permohonan.

Pada saat Islam masuk kemudian tradisi ini diluruskan oleh para walisongo agar tidak menyimpang dari ajarannya namun tidak menghilangkan unsur kebudayaan didalamnya. Sehingga yang ada saat ini nyekar bukan lagi tradisi penyembahan roh nenek moyang, melainkan tradisi mendoakan ahli kubur.

Nyekar dalam Sudut Pandang Islam

Memang dalam sejarah Islam, Rasulullah tidak pernah menyinggung tentang tradisi semacam nyekar karena memang Rasulullah hidup di kawasan Arab yang kebanyakan masyarakatnya adalah penganut paham dinamisme. Akan tetapi ada suatu hadis Ibnu Hibban dari Abu Hurairah yang berhubungan dengan menaruh sesuatu diatas kubur.

“Suatu ketika Nabi saw. melewati dua kuburan, kemudian beliau berkata: “Sesungguhnya kedua penghuni kuburan ini sedang diazab, mereka berdua diazab bukan karena dosa besar. Adapun salah satunya dahulu tidak menutup diri ketika kencing. Adapun yang lainnya, dahulu sering berjalan sambil menyebar fitnah”. Kemudian beliau mengambil pelepah kurma yang masih basah, dan dibelah menjadi dua, masing-masing ditanam pada kedua kuburan tersebut. Para sahabat bertanya “Wahai Rasulullah, kenapa engkau melakukan ini?” Beliau menjawab, “Mudah-mudahan ini bisa meringankan azab keduanya selama belum kering.”

Peristiwa Rasulullah tersebut kemudian disamakan dengan menabur bunga diatas kubur, karena di Indonesia tidak ada pelepah kurma maka yang digunakan sebagai penggantinya adalah bunga. Bunga tersebut diniatkan menjadi wasilah untuk meringankan siksa kubur si mayyit.

Refleksi untuk Kembali Fitrah

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang berbudi luhur, menjunjung tinggi tata krama, dan senantiasa rendah hati. Maka pada hari raya Idul Fitri hal tersebut mereka refleksikan dengan tradisi saling memaafkan satu sama lain dengan cara bersilaturrahmi dari satu rumah kerumah yang lain.

Hal tersebut dimulai dengan meminta maaf kepada kedua orang tua, para sesepuh lalu dilanjutkan dengan para kerabat dan tetangga. Selain itu melalui tradisi nyekar adalah wujud refleksi meminta maaf kepada para sesepuh dan kerabat yang sudah meninggal. Upaya tersebut dilakukan demi tercapainya cita-cita kembali suci dan bebas dari kesalahan antar sesama muslim seperti ketika baru dilahirkan.

Wallahu a’lam bisshawab

*Muhammad Sholihul Aziz, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru