26.1 C
Jakarta

Nurcholish Madjid, Islam, dan Transformasi Sosial Menjaga Kewarasan Bangsa

Artikel Trending

KhazanahOpiniNurcholish Madjid, Islam, dan Transformasi Sosial Menjaga Kewarasan Bangsa
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – “Teologi yang tidak kontekstual bukanlah teologi”, demikian Eka Darmaputera menulis dalam Konteks Berteologi di  Indonesia (2004). Baginya, seorang teolog yang cerdas akan selalu dibuat resah dan gelisah oleh tantangan-tantangan sosial yang berkembang di sekitarnya.  Itulah yang barangkali dialami Nurcholish Madjid, sebagai seorang teolog di satu sisi, kala dirinya gundah menilik kenyataan umat Islam sebagai kelompok mayoritas yang terpinggirkan.

Melalui karya-karya intelektualnya di tahun 1960-an, kita bisa menangkap kegundahannya. Kala itu, perkembangan ekonomi bukanlah berada dalam dominasi kaum muslim, melainkan didominasi oleh non-Muslim sebagai kelompok ‘minoritas’.  Posisi yang kurang menguntungkan bagi kelompok Muslim.

Karena umat Muslim saat itu telah mengalami apa yang disebut Madjid sebagai kehilangan psychologycal striking force dalam perjuangannya. Semacam ketiadaan daya dorong psikologis yang membuatnya terjatuh dalam lembah ‘kejumudan’.

Kejumudan tersebut tampak dalam cara umat Islam melihat Islam. Dengan kata lain, Islam diposisikan senilai dengan tradisi, yang pada akhirnya membuahkan pemahaman bahwa menjadi Islamis sederajat berarti menjadi bersifat tradisional (Madjid 2008:229). Respons terhadap gejala ini kemudian secara kritis termaktub dalam bukunya, Islam : Kemodernan dan Keindonesiaan.

Dalam buku fenomenalnya itu, ia menulis, “Karena membela Islam menjadi sama dengan membela tradisi ni, timbul kesan bahwa kekuatan Islam adalah kekuatan tradisi yang bersifat reaksioner. Kacamata hierarki inilah, yang di kalangan kaum Muslim, telah membuat tidak sanggup mengadakan respons yang wajar terhadap perkembangan pemikiran yang ada di dunia dewasa ini”.

Umat Islam Indonesia akan kehilangan daya kreativitas dan semangat ijtihad-nya, ketika berkutat pada tradisi dan penjagaan tradisi yang terlalu ketat. Dari sinilah, muskil melahirkan pikiran-pikiran segar yang mampu menghantarkannya ke arah pemajuan dalam segala hal di dunia Islam. Untuk keluar dari kungkungan itu,  diperlukan semacam liberasi atau pembebasan pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam.

Ihwal Gagasan Kemajuan dan Modernisasi

Berkat kegundahannya itu, Madjid menggagas gagasan ihwal kemajuan. Pemikiran Madjid ihwal kemajuan akan terus berkumandang relevan. Senantiasa menemukan momentumnya sebagai wacana pemikiran reflektif. Idea of progress atau gagasan tentang kemajuannya Madjid, didasarkan pada refleksi atas keyakinannya bahwa tidak ada kebenaran insani yang bersifat mutlak termasuk Kalam  keagamaan dari para teolog terdahulu.

Karena tidak ada kebenaran insani yang bersifat mutlak itulah maka tugas seorang muslim, menurut Madjid, harus melakukan telaah ulang terhadap ajaran-ajaran Islam yang telah mapan dan mengukurnya kembali dengan dua pedoman umat Islam, al-Quran dan Hadits. Bukan malah menyakralkan dan  memapankan  ajaran-ajaran yang sudah dibangun para pendahulunya itu.

Dirinya meyakini sebuah prinsip untuk berusaha secara terus menerus mencari kebenaran secara tiada berkeputusan. Kebenaran, baginya, bukan sebuah akhir. Namun merupakan suatu rentetan pengalaman yang sifatnya nisbi belaka. Kendati demikian, ia tetap bermakna. Karena berjalan dan bergerak menuju mengarah atau menuju Tuhan.  Keyakinan semacam inilah yang menghantarkan Madjid untuk terus berpikir progresif, tidak mandeg. Tidak mengikuti para pendahulunya itu.

BACA JUGA  Antara Muhammadiyah dan NU: Belajar Memahami “Wajah” yang Lain

Sebagai pribadi yang tidak fatalistik, Madjid menginginkan sebuah sikap dinamis. Nilai-nilai Islam merupakan nilai yang dinamis, bukan statis. Untuk menaja sebuah kekuatan yang dinamis, diperlukan fondasi berupa ide-ide yang dinamis pula. Asumsi semacam inilah yang membuat dirinya terpantik menggagas ide ihwal pembaruan.

Semangat ide pembaruan mengharuskan umat Islam bersikap dinamis dan progresif. Semacam entitas yang menjadi fundamen penting dalam ikhtiar keluar dari tradisi yang mengkerangkeng itu.

Ide pembaruannya menghendaki adanya keharusan meninggalkan garis-garis pemikiran tradisional, terbuka pada sikap yang berorientasi ke masa depan. Madjid meyakini bahwa langkah pembaruannya ini pada dasarnya baik dan suci, karena merupakan tanda cinta terhadap kemajuan.

Suatu kemajuan dapat dicapai jika seorang muslim memiliki sikap keterbukaan. Kemajuan dalam dunia Islam hanya sebatas impian semu, jika tidak ada usaha terbuka menerima segala ide-ide yang terlahir dari peradaban umat manusia.

Dari sinilah kemudian, umat Islam perlu mengalami proses modernisasi. Madjid mengartikan modernisasi identik dengan rasionalisasi. Serupa rasionalisasi yang berangkat dari sesuatu yang tidak rasional ke rasional, modernisasi merupakan konstruksi paradigma yang selalu ilmiah dan berkesesuaian dengan hukum-hukum alam.

Dengan menginterpretasikan ayat-ayat al-Quran secara kontekstual, tibalah dirinya pada suatu konklusi interpretatif; bahwa al-Quran sendiri dalam beberapa ayatnya memuat ajaran untuk selalu mengamati dan berpikir.

Ayat-ayat al-Quran yang diinterpretasi berkelindan dengan dua ajaran itu dijadikan landasan bagi terciptanya modernisasi. Menjadi modern dalam tilikan Madjid harus tetap memangku sikap progresif dan dinamis. Dua sikap ini merujuk proses berpikir secara visioner. Berpikir secara visioner dan terbuka merupakan lorong tempuh bagi terciptanya suatu kemajuan.  Tradisi berpikir visioner tanpa tedeng aling-aling ini setidaknya telah menghantarkan umat Islam di masa lalu membangun suatu peradaban unggul.

Namun, di satu sisi Madjid juga menyadari bahwa akal manusia itu terbatas. Tidak mungkin manusia mengerti seluruh hukum alam dalam sekali berpikir. Butuh waktu ke waktu, sehingga ketika menjadi modern pun, baginya, tetap harus progresif dan dinamis. Ia menganggap bahwa yang modern mutlak adalah yang benar secara mutlak yaitu Tuhan yang Maha Esa.

Modernitas sendiri masih proses penemuan kebenaran relatif menuju ke penemuan Kebenaran Yang Mutlak. Dengan asumsi seperti ini, seorang Muslim tidak serta merta mesti bersedia mempertahankan kebenaran insani sebagai sesuatu yang mutlak, sehingga menentang segala perubahan nilai-nilai (2008: 184).

Dengan begitulah pribadi Muslim akan terus menjadi pembelajar yang aktif. Senantiasa mau belajar. Tidak menutup diri dari ragam perkembangan ilmu pengetahuan sekuler dan mengintegrasikannya dengan ilmu pengetahuan agama merupakan ikhtiar adiluhung seorang pembelajar demi menuju jalan kemajuan di masa mendatang.

Suatu konstruksi pemikiran transformatif Nurcholish Madjid yang berusaha mendedah pikiran kita akan pentingnya menemukan kebenaran hingga menghantarkan kita ke Kebenaran Yang Mutlak.

Muhammad Ghufron
Muhammad Ghufron
Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bergiat di Jurnal Moderasi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Komunitas Lensa Sosio-Agama. Tinggal di Bantul, DI Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru