30.1 C
Jakarta

NU vis-à-vis Negara: Menolak Negara Islam, Menerima Negara Bangsa

Artikel Trending

KhazanahOpiniNU vis-à-vis Negara: Menolak Negara Islam, Menerima Negara Bangsa
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Salah satu hasil Muktamar Internasional Fikih Peradaban yang diinisiasi PBNU adalah menolak khilafah (format negara Islam) dan menerima format nation-state (negara-bangsa) sebagai bentuk negara yang mampu membawa kemaslahatan bagi jagat dan peradaban umat manusia.

Penolakan itu bukan tanpa alasan sebab, bagi NU, cita-cita mendirikan negara Islam (khilafah) dapat menimbulkan konsekuensi serius berupa konflik, perang, dan perpecahan umat. Hal itu menurut ijtihad NU bertentangan dengan maqashid syariah (tujuan pokok syariat) dan karena itu cita-cita mendirikan negara Islam itu bagi NU harus ditolak.

Sementara itu, bagi NU, format negara bangsa dengan asas Pancasila yang telah menjadi kesepakatan pendirian bangsa (founding father) harus diterima sebagai sebuah pilihan kolektif. Pilihan terhadap format negara bangsa dengan asas Pancasila itu juga bukan tanpa alasan.

NU memilih format negara bangsa dengan asas Pancasila karena menurut ijtihad NU, format negara bangsa dengan asas Pancasila itulah yang segendang-sepenarian atau sejalan dengan tujuan pokok syariah. Atau, setidaknya mendekati tujuan syariah itu sendiri ketimbang format khilafah.

Penolakan NU terhadap format negara Islam dan penerimaan terhadap format negara bangsa dengan asas Pancasila-nya sebenarnya tidak dilakukan kali ini saja. Di awal kemerdekaan, di masa pencarian format dan bentuk negara, para nahdliyyin dengan teguh dan gigih menolak format negara Islam atau khilafah yang diusulkan oleh sejumlah tokoh Islam.

Bertolak dari itu, NU justru menerima format negara bangsa yang diusulkan Bung Karno dan tokoh-tokoh nasionalis lainnya. Bahkan, di kala sejumlah tokoh Islam bersikeras hendak mempertahankan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yang mendapat penolakan keras dari tokoh-tokoh non muslim, NU secara tegas tetap konsisten dengan ijtihad kebangsaannya itu.

Melalui tokoh sentralnya,  KH Wahid Hasyim, NU menerima usulan Bung Karno untuk menghapus tujuh kata pada Piagam Jakarta itu. Bagi NU, yang lebih penting dari tujuh kata pada poin satu Piagam Jakarta itu adalah keutuhan bangsa. NU tak ingin bangsa Indonesia terpecah belah hanya karena soal tujuh kata pada poin satu Piagam Jakarta itu.

BACA JUGA  Sekolah Mengonter Radikalisme, Bagaimana Caranya?

Awalnya, NU sempat mendukung format negara Islam yang salah satunya disuarakan oleh Mohammad Natsir. Namun, NU kemudian menarik dukungan itu. NU sadar bahwa mencita-citakan format negara Islam atau khilafah sebagai bentuk negara hanya akan membahayakan Indonesia.

Pancasila; Jalan Tengah

Di lain sisi, NU juga mulai sadar bahwa format negara bangsa dengan asas Pancasila adalah jalan tengah yang akan menjembatani setiap perbedaan karena menurut NU Pancasila tidak memiliki kecenderungan kepada agama apa pun. Kala itu, NU berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta hanyalah penegasan hak untuk melaksanakan ibadah, bukan sebuah keharusan.

Oleh karena itu, NU pun berkesimpulan bahwa menggantikan Piagam Jakarta dengan Pancasila bukanlah masalah serius atau bahkan bukan masalah, tetapi adalah solusi di tengah kebuntuan politik yang semakin mencekam yang jika dibiarkan, akan menghancurkan persatuan.

Di Munas Situbondo, penerimaan terhadap Pancasila itu kemudian dipertegas lagi oleh Kiai Achmad Siddiq. Sang reformis NU dengan tegas mengemukakan bahwa Pancasila dan Islam sebagai dua kesatuan yang terpisah namun tidak saling bertentangan dan tak perlu dipertentangkan.

“Dasar negara (Pancasila) dan Islam adalah dua hal yang dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Keduanya tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang yang lain,” tegas Kiai Achmad Siddiq (Andree Feillar, 2017: 220).

Negara bangsa berikut asas Pancasila adalah format kenegaraan yang ideal. Yang dalam konteks Indonesia, dapat menjadi jalan tengah perbedaan keyakinan. Ijtihad NU, baik di masa lalu ataupun di masa kini, sudah menempatkan jalan tengah itu sebagai jalan yang paling memungkinkan.

Mereka yang menolak format negara-bangsa berikut asas Pancasila, dan masih mewacanakan terbentuknya negara Islam penting untuk belajar kepada NU tentang bagaimana NU merumuskan fikih kebangsaannya. Sebagai Ormas, NU mampu menempatkan diri sebagai gerakan sosial-Islam yang moderat. Bak pepatah, tidak menjadi negara dalam negara.

Rusdiyono
Rusdiyono
Alumnus PP. Annuqayah. Mukim di Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru