NU, Tidak Hitam Putih
Oleh: Abdi Kurnia Djohan*
Cara NU memandang persoalan, khususnya persoalan politik kenegaraan tidak bersifat hitam putih. NU sebagaimana warna lambangnya, menggunakan cara pandang kedamaian dan ketulusan, yang diwakili dengan warna hijau dan putih. Cara pandang kedamaian itu menunjukkan esensi dari ajaran Islam yang berkarakter rahmatan lil ‘alamin. Sampai di sini, banyak orang bertanya jika memang cara pandangnya rahmatan lil ‘alamin, kenapa NU tidak mendukung aksi yang membela Islam, seperti 411, 212 jilid I dan 212 jilid II?. Islam seperti apa yang sebenarnya dibela NU? Lalu kenapa NU seperti “melunak” terhadap kelompok-kelompok yang dihinggapi virus Islamphobia?.
Pertanyaan-pertanyaan itu memang begitu menohok sebagian warga Nahdliyyin khususnya mereka yang tidak pernah bersinggungan dengan politik praktis. Secara pribadi, saya pun sempat “mengamini” pertanyaan-pertanyaan di atas, bahkan nyaris “tidak percaya” kepada ijtihad para kyai NU. Namun, lagi-lagi NU bukanlah organisasi seperti kebanyakan organisasi.
Secara sederhana, NU adalah kumpulan pengajian yang diorganisasikan, bukan organisasi mengaji yang kemudian mengejar kekuasaan politik. Istilah “kumpulan pengajian yang diorganisasikan” memang terdengar peyoratif (agak melecehkan). Tapi, demikianlah realitas yang terjadi di NU. Hampir semua urusan kehidupan ada pengajiannya. Sebut saja di sini, ngaji fikih, ngaji tahlil, ngaji walimahan, ngaji khitanan, ngaji politik, ngaji kenusantaraan dan ngaji kebangsaan. Meskipun terdengar peyoratif bagi masyarakat perkotaan, ngaji sesungguhnya merupakan aktivitas intelektual.
Bagi warga Nahdliyyin, aktivitas ngaji bukan saja mengasah ketajaman intelektual tetapi juga mengasah intuisi (mata batin). Kombinasi akal dan naqal, serta logika dan batin ini yang akrab terlihat dan terasa di organisasi Nahdlatul ulama. Karena NU merupakan organisasi berbasis pengajian, sikap politiknya pun tidak bisa dipersamakan dengan organisasi atau gerakan Islam lainnya.
Berkaitan dengan tiga pertanyaan di atas, tentu jawabannya tidak bisa dijumpai secara letterlijk (tekstual). Pembelaan NU terhadap isu-isu keislaman tidak semata-mata dilihat dari penggunaan dalil yang dicocokkan dengan realitas. Ada semacam kekhawatiran, jika setiap dalil agama langsung dicocokkan dengan realitas, maka agama akan tampil merusak kehidupan. Padahal karakteristik agama itu adalah: صالح فى كل مكان وزمان Senantiasa menawarkan kebaikan di setiap tempat dan masa.
Dengan merujuk kepada prinsip tersebut, NU berusaha melihat persoalan secara jernih, yang ditandai dengan keberadaan warna putih di lambang Nahdlatul Ulama. Kejernihan di dalam melihat masalah itu dilakukan dengan cara memilah di antara doktrin dan kepentingan (interest). Dalam amatan para kyai NU, tidak setiap isu keislaman memuat secara murni kepentingan umat Islam. Bisa jadi diangkatnya isu itu karena dorongan vested interest yang melihat Islam sebagai kendaraan yang aman, untuk digunakan.
Cara pandang seperti itu yang pernah dipakai para kyai, ketika memilih keluar dari Masyumi dan memberikan dukungan kepada Soekarno yang waktu itu bersekutu dengan PKI. Memang bukan pilihan yang mudah dan menyenangkan bagi NU saat itu. Para kyai menyadari bahwa tuduhan kyai ateis, santri murtad, dan berbagai tuduhan miring lainnya sudah pasti akan dialamatkan kepada NU dan para kyai. Tapi itulah politik.
Politik adalah seni menetapkan dan memainkan pilihan. Meskipun lebih dikenal sebagai kelompok yang lebih memahami khasnah tradisional keislaman, para kyai menyadari bahwa memilih dan memberikan dukungan politik bukanlah semata-mata seperti memberikan blangko kosong tanpa portofolio sama sekali. Sikap seperti ini yang tidak dipahami kebanyakan orang. Sebab, bagi mereka politik itu adalah hitam putih, sebuah pandangan yang sebenarnya agak-agak mirip dengan pandangan para pendukung Revolusi Bolsevik di Rusia pada masa lalu.
Pilihan untuk keluar dari Masyumi dan mendukung Soekarno yang tengah “mesra” dengan PKI, didasarkan kepada beberapa alasan. Pertama, Tidak adanya kenyamanan yang didapat NU ketika menjadi bagian Masyumi. Kedua, Fakta bahwa sebagian besar korban agitasi PKI di daerah pedesaan adalah para kyai NU bukan muballigh dari kalangan Islam modernis. Ketiga, Kritik yang disampaikan secara langsung, mendekat kepada kekuasaan, dipandang lebih efektif daripada dilakukan dengan cara menjadi oposisi. Keempat, Adanya kecenderungan manuver politik Barat untuk meruntuhkan kekuasaan Soekarno dengan cara memanfaatkan kekuatan Islam. Dan kelima, Upaya menyelamatkan keberadaan umat Islam dengan cara meminimalkan intensitas konflik dengan kekuasaan.
Memang tidak mudah untuk memahami kerangka pikir alasan di atas, akan tetapi para kyai NU menyadari bahwa politik bukanlah sesuatu yang bersifat temporer. Untuk kepentingan itu, NU berupaya untuk menghindari cara pandang hitam putih di dalam melihat relasi Islam dan Negara. Lalu, bagaimana NU melihat persoalan saat ini? Agaknya, NU tidak akan keluar dari pakemnya, yaitu memposisikan diri sebagai kekuatan penyeimbang di antara dua kekuatan yang saling berseteru. Posisi penyeimbang di sini penting untuk dipertahankan karena yang dilihat NU bukan semata-mata mempertahankan eksistensi Islam sebagai agama, tetapi juga negara sebagai tempat bersemai dan tumbuh kembangnya Islam serta agama-agama lain.
Bagi para kyai NU, apa artinya keberadaan agama jika tidak ada tempat untuk bersemai. Pandangan ini bisa dikatakan senafas dengan pandangan Ibnu Taimiyyah yang berpendapat bahwa puluhan tahun di bawah pemerintahan yang zolim, masih lebih baik daripada tidak ada pemerintahan sama sekali. Karena itulah, NU tidak memilih cara pandang Hitam Putih, di samping karena Hitam Putih sudah dimiliki oleh Deddy Corbuzier. Wallohul muwaffiq ilaa aqwamit thariq .
*Penulis adalah dosen MKU Agama di Universitas Indonesia