31.4 C
Jakarta

Nilai-Nilai Keharmonisan Pesantren dan Cerita Uniknya

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuNilai-Nilai Keharmonisan Pesantren dan Cerita Uniknya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul: Senandung Cinta dari Pesantren, Penulis: Agus Setiawan, dkk., Penerbit: Diva Press, Cetakan: April, 2022, Tebal: 340 halaman, ISBN: 978-623-293-69-04, Peresensi: Abdul Warits.

Harakatuna.com – Cerita tentang pesantren selalu menarik untuk diperbincangkan sehingga masuk ke dalam ruang ruang dimensi yang tidak terbatas. Pesantren kaya dengan nilai-nilai kehidupan yang dipraktikkan langsung oleh seorang santri di pesantren. Salah satunya beberapa kisah asmara cinta yang diakhiri dengan tanpa dendam meski seseorang yang dicintai dan disayanginya tidak bisa dimiliki seutuhnya.

Buku Senandung Cinta dari Pesantren mengisahkan tentang bagaimana pesantren menjadi salah satu lumbung keharmonisan di tengah perbedaan rasa kemanusiaan. Pesantren selalu menjadi mediator dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai kasih sayang, toleransi dan menghargai setiap nasib manusia. Karenanya, pesantren selalu mencerminkan lembaga yang egaliter, menjadi bumi yang tetap ditanami apa saja untuk generasi kehidupan bangsa yang agar lebih sejahtera.

Beberapa cerpen yan dirangkum di dalam buku ini menceritakan tentang cinta yang dengan perspektif dan sudut pandang yang berbeda-beda. Cinta adalah salah satu elemen penting dalam kehidupan pesantren. Tanpa adanya cinta yang mendalam dan kasih sayang terhadap sesame manusia, tidak akan mungkin timbul keharmonisan di tengah kehidupan pesantren yang multikultur. Cinta telah menjadikan pesantren sebagai lumbung keharmonisan di antaranya masyarakat yang ada di dalam pesantren.

Oleh sebab itulah, di dalam kata pengantarnya, D. Zawawi Imron, budayawan dan penyair nasional di buku ini mengatakan bahwa cinta adalah seni. Artinya, cinta membutuhkan pengetahuan dan upaya yang gigih. Pengetahuan akan memperkaya perspektif setiap orang dalam memahami cinta (hal. 07). Itulah yang dicerminkan oleh para cerpenis yang ada di dalam buku ini dalam mencerminkan cinta di dalam pesantren.

Di kalangan masyakakat pesantren, kiai menjadi salah satu orang yang berpengaruh dan memiliki otoritas penuh terhadap perkembangan dan kemajuan serta masa depan suatu  pesantren. Diakui atau tidak, sosok kiai di kalangan masyarakat pesantren merupakan sosok yang penuh dengan samudera keilmuan dan spiritual. Ada beberapa sikap dan perbuatan kiai dalam kehidupan kesehariannya yang menjadi suri tauladan dan penuh dengan inpirasi keharmonisan.

Kiai menjadi salah satu pemimpin di pesantren yang disegani di tengah-tengah masyarakatnya. Dalam kehidupan kesehariannya, kiai selalu menjadi teladan bagi lingkungan sekitar, menjadi sosok yang memberikan cahaya ilmu pengetahuan dan spiritual kepada setiap orang. Hal ini tercermin di dalam cerita yang ditulis oleh Agus Setiawan dengan judul “Samudera Hati Kiai Ngabehi” (hal. 23).

Pesantren adalah institusi yang kaya raya dengan berbagai macam cerita dan pengalaman yang menarik untuk dibumikan kepada pembaca dan khalayak. Ada banyak nilai-nilai keislaman, kemanusiaan, kesetaraan, pengabdian yang menjadi dasar timbulnya bibit cinta seseorang yang berada di pesantren. Sisi pengabdian dan asmara di pesantren menjadi menarik untuk menanamkan keharmonisan di dalamnya.

Salah satunya diungkap dalam cerita yang ditulis oleh Faiz Adittian Dahyar. Ia menceritakan seorang anak pelacur yang terbuang ke pesantren dan diasuh oleh seorang kiai  yang penuh dengan kasih sayang. Melalui sikap-sikap kiai yang ditunjukan dalam kehidupan kesehariannya sehingga menjadikan pesantren sebagai salah lembaga yang menyampaikan visi kemanusiaan dan keharmonisan di antara manusia yang berbeda nasibnya antara satu dengan yang lainnya.

BACA JUGA  Hadis-hadis tentang Politik Kebangsaan; Sebuah Telaah

Di dalam kisah cerita pendeknya di buku, Faiz Adittian Ahyar berhasil dalam meramu konflik dengan sangat mendebarkan. Ada satu spirit keharmonisan yang diperjuangkan oleh pesantren yaitu dengan tetap menganggap manusia sebagai makhluk yang harus dilindungi dalam keadaan dan kondisi apapun.

Karenanya, di dalam ceritanya anak pelacur yang terbuang ke pesantren tersebut akhirnya diperlakukan dengan penuh kasih sayang sampai-sampai dianggap sebagai anak sendiri oleh seorang kiai. “Nduk, kamu jangan suka menangis lagi. Abah dan ibu sudah mengganggapmu sebagai anak. Sekarang kamu bagian dari keluarga kami,” (hal. 38).

Perlakuan yang istimewa seorang pengasuh pesantren (kiai) terhadap santrinya di pesantren telah menjadi salah satu bukti bahwa pesantren selalu menanamkan nilai keharmonisan. Nasihat-nasihat yang diberikan oleh seorang kiai hingga terngiang di benak anak seorang pelacur tersebut dan dirinya merasa berhutang budi kepada pesantren. Akhirnya dengan sendirinya anak yang seorang pelacur tersebut mengabdikan dirinya kepada kiai di pesantren dengan penuh penghormatan dan keikhlasan.

Di akhir ceritanya, Faiz Adittiyan Akhyar mengakhiri ceritanya dengan sangat menarik dan apik. Seorang santri anak pelacur yang telah memutuskan menjadi pengabdi kiai tersebut harus mengorbankan perasaannya untuk tidak menikah dengan salah satu abdi dhalem pesantren yang mencintainya demi cinta seorang putri kiainya sendiri atau neng yang juga sama sama mencintai lelaki abdi dhalem tersebut. Inilah salah satu keharmonisan yang dibangun dari jiwa seorang santri di pesantren. Ketundukan kepada kiai bisa mengalahkan perasaan cintanya sendiri kepada seseorang.

Di dalam buku ini, ada beragam kisah unik tentang harmoni cinta yang disemai sejak berada di pesantren. Meskipun berbeda haluan hidup, perasaan, di pesantren tidak pernah ada pertengkaran. Aroma cinta benar benar nyata berada di dalam kehidupan pesantren. Kisah yang cukup tragis terdapat di dalam cerpen yang ditulis oleh Elijah Rizqiyani. Ia menulis tentang bagaimana konflik batin abdi dhalem santri di pesantren. Cinta seorang santri kepada kiainya dan keluarganya merupakan satu cerminan bahwa pesantren kaya akan harmoni cinta dari setiap penghuninya.

Beberapa cerita tentang percintaan yang sangat bergejolak dan penuh dengan dramatis menjadi salah satu kunci utama agar seseorang terkadang musti menghilangkan sikap egois dalam melakukan pengabdiannya di pesantren. Seorang abdi dhalem pesantren terkadang harus menahan rasa cinta dan memendamnya sedalam mungkin kepada orang yang dicintainya.

Tentu hal ini tidak mudah dilakukan karena bertentangan dengan perasaan da nisi hatinya. Tetapi, santri telah membuktikannya dengan sikap-sikap yang harmoni. “Gusti, Aku hanya berharap engkau lekas menyembuhkan lukaku. Agar aku lebih ikhlas mengabdi pada keluarga dhalem tanpa rasa sakit hati” (hal. 51).

Dari beberapa cerita pendek yang ada di dalam buku ini membuktikan bahwa pesantren menjadi lahan dalam menciptakan harmoni di bumi nusantara ini. Di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk dengan beragam konflik kepentingan di dalamnya, terkadang ada yang lebih penting bahwa harmoni dan cinta dari dada setiap manusia harus tetap menyala di atas kepentingan pribadi dan kelompok.

Abdul Warits
Abdul Warits
Penulis lepas. Lahir di Grujugan, Gapura. Mahasiswa Pascasarjana Studi Pendidikan Kepesantrenan, Instika Guluk-Guluk Sumenep.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru