28 C
Jakarta
Array

Nikah Paksa

Artikel Trending

Nikah Paksa
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Musim hujan tahun ini tidak hanya diwarnai oleh berbagai isu banjir dan segala macam isu-isu hangat lainya akan tetapi juga diwarani dengan ramainya resepsi pernikahan diberbagai wilayah namun apa jadinya jika resepsi pernikahan yang seharuanya penuh dengan kebahagiaan yang dirasakan oleh pengantin justru kesedihan yang menghiasinya.

Sering sekali saya mendengar curhatan teman-teman yang diputus gara-gara pasangannya dijodohin sama orang tuanya padahal mereka telah merajut asmara bertahun-tahun. Nikah paksa . . . ! bagaimana fikih memotret fenomena ini?

Apakah praktik nikah paksa berkonsekuensi kepada tidak sahnya pernikahan? Kemudian saat istri tidak mencintai suaminya, apakah bisa dijadikan sebagai argumen untuk melakukan cerai?

Pada dasarnya, dalam fikih, kita mengenal istilah nikah paksa dengan mengunakan hak ijbar. Namun model nikah seperti ini deperbolehkan ketika memenuhi beberapa kriteria. Diantaranya. Tidak ada kebencian antara anak dan ayah, calon pasanag suami istri serasi, calon suami mampu membayar mahar, calon pasanag suami istri tidak ada permusuhan secaraDzahir dan batin. Si gadis tidak dinikahkan dengan calon suami yang bisa membuat dirinya sengsara dalam berumahtangga.

Melihat kriteria di atas nampaknya alasan tidak sukanya si gadis tidak bisa menggugurkan hak ijbar (paksa) bagi orang tua. Keputusan ini sepertinya memang kurang adil. Karena bagaimanapun keluarga yg sakinah harus dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang. Orang tua tak selayaknya menikahkan putra putrinya dengan pasangan yang tidak dicintainya, sepatutnya membirakannya untuk mnentukan pujaan hatinya. Karena tugas orang tua untuk membimbing bukan memaksa.

Dalam kajian fikih terdapat dua kelompok yang mengomentari masalah ini.Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa nikah paksa tidak sah. Ulama yang ada dalam barisan ini diantaranya adalah Abu Hanifah, Imam Auza’i, Ibn Hajar, Sayyid Sabiq dan ulama kufah. Mereka berargument dengan hadis:

تَسْكُتَ أَنْ قَالَإِذْنُهَاا كيف قَالُوا  نتُسْتَأْذَ حَتَّى الْبِكْرُ تُنْكَحُ وَلَا تُسْتَأْمَرَ حَتَّى الْأَيِّمُ تُنْكَحُ لَا

“Janda tidak boleh dinikahi hingga diajak musyawarah, dan gadis tidak boleh dinikahi hingga dimintai izin.” Para sahabat bertanya; ‘bagaimana tanda izinnya? ‘ Nabi menjawab; “jika dia diam.”

Dari hadis tersebut mreka mengambil pemahaman bahwa meminta izin kepada gadis yang akan di nikahkan adalah wajib. Jika dia diakadkan tanpa diminta restunya apalagi dipaksa, maka akad nikahnyanya tidak sah. (Fath al-Mun’im Syarh as-Shahih Muslim 523-524:V)

Kelompok kedua nikah paksa hukumnya sah dengan beberapa kriteria yang telah disebutkan di atas. Persyaratan lain adalah pihak yang berhak memaksa hanya sebatas ayah dan kakek si gadis. Kelompok yang ada dalam barisan ini diantaranya adalah imam Syafi.i, Maliki dan Hanbali.

Terlepas dari perbedaan hukum di atas, perlu diingat bahwa setiap sesuatu yang dihasilkan dari paksaan pastilah tidak baik, sebaliknya sesuatu yang dihasilkan dari kutulusan pastilah sebuah kebahagiaan. Seyogyanya penentuan calon pasangan hidup itu berdasalkan pada ketulusan orang tua dan anak”nya, kalaupun terjadi pertentangan, semestinya orang tua mengedepankan pilihan anak”nya.

Lalu bagaimana kalau pernikahan itu tetep dilaksanakan hanya karena menuruti keinginan orang tua, sementara bait” cinta belum terlukis diantara dua insan yang belum bisa merajut asmara, disinilah muncul problem akut, apakah pasangan berhak mengajukan tuntutan cerai?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, saya ingin sedikit menceritakan kisah sahabat yang bernama Tsabit bin Qays yang menikahi gadis bernama Umu Habibah, padahal mereka belum saling mengenal satu sama lain apalagi cinta. Tsabit menikahinya dengan mahar sepetak kebun,. Singkat cerita setelah menikah Habibah terkejut setelah mengetahui sosok suaminya, ternyata Tsabit bukanlah pria yang selama ini dia impikan, hatinya mulai dihantui kekecewaan dan kehawatiran yang amat dalam, ia takut tidak bisa melaksanakan kewajibannya sebagai istri karena hatinya tidak bisa menerima suaminya.

Akhirnya dia mengutarakan gejolak jiwanya pada Rasulullah. Kemudian beliau bertanya, maukah kau mengembalikan kebun yang Tsabit berikan padamu sebagai maskawin? Dengan tegas dia menjawab, jangankan sepetak kebun, minta tamabahanpun aku siap memberikannya. Kemudian beliau bersabda: “kau cukup menyerahkan kebun itu pada Tsabit”. Selanjutnya Rasulullah menyarankan:

اقبل الحدقة وطلقها تطلقة

Serahkanlah kebun itu (wahai Umu Habibah) dan talaklah dia (wahai Tsabit). (Sahih bukhari, 4867 dan 320:XXVI, Sunan Nasa’i, 3409 dan 168:XXI)

Begitulah cara Rasulullah menyelesaikan problem nikah yang tidak didasarkan pada rasa suka dan cinta. Dari peristiwa tersebutlah muncul istilah Khulu’ yaitu permintaan cerai dari pihak istri kepada suami dengan syarat mengemablikan mahar yang telah diterimanya. Umu Habibah tercatat dalam  sejarah sebagai perempuan pertama yang mengajukanKhulu’.(Fiqh al-Sunnah: 191:II)

Lalu bagaimana jika keinginan cerai itu dihalang”i oleh orang tua? Perlu diingat, posisi orang tua hanya sebatas pemberi saran dan nasehat, bukan bertindak seperti ratu dan raja yang dapat memaksa dan mengancam. Tapi bagaimana caranya menjadi pembina yang baik atas keputusan ank”nya demi merajut rumah tangga yangsakinah. Bagai mana mau merajut keluarga yang sakinah jika didalamnya tidak adamawaddah dan rahmah sebagaimana surat ar-Rum ayat 21.

Sumber : Fikih Progresif

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru