Banyak orang masih berpikir tentang ketaksiapan masyarakat dalam menghadapi kondisi new normal life pasca penerapan PSBB atas mengecambahnya wabah Corona. Tak urung dari para pejabat negara hingga para pemangku kebijakan pada tingkat lokal bingung tentang apa yang semestinya dilakukan. Kebingungan ini sebenarnya sudah terasa sejak pemberlakukan PSBB kemarin.
Sebenarnya pada akhir 2019, sebelum wabah Corona menjadi sorotan dunia, KPPN/BPPN pernah mewacanakan tentang ASN yang tak lagi wajib ngantor. Konsep kerja mereka tak lagi berdasarkan paradigma lama yang mesti menggunakan tubuh, seragam dan ruang kerja khusus yang bersifat permanen sebagai penanda bahwa mereka adalah kalangan ASN. Konsep smart office yang menjadi paradigma kerja baru kalangan ASN memungkinkan mereka untuk beradaptasi dengan apa yang kini sedang diwacakan oleh pemerintah pasca pemberlakuan PSBB sebagai konsep new normal life.
Berkaca pada hal tersebut, terkait dengan wabah corona, pada tataran sosiologis dan kebudayaan, sebenarnya masyarakat luas telah pula menginjakkan kaki di sebuah zaman yang dikenal sebagai zaman postmodern. Mewabahnya aktifitas online sejak 10 tahun terakhir ini mengindikasikan bahwa zaman telah berubah, tatanan dunia tak lagi seperti dahulu kala.
Mulai dari kerja online, belanja online, kuliah online, konsultasi hukum dan psikologis online, dakwah online, revolusi dan demokrasi online (yang saya kategorikan sebagai sebentuk demokrasi deliberatif), polisi siber, bajingan online (hacker), tak lagi meletakkan tubuh sebagai penanda penting kehidupan. Aktifitas dunia dan relasi sosial, untuk meminjam Guy Debord tak lagi didasarkan pada tubuh, melainkan pada citra.
Sebelum dekade 80-an, tak kurang dari Lyotard (postmodernity), Baudrillard (consumer society), McLuhan (global village), Virilio (dromology) hingga Vattimo (the end of modernity), telah mendeskripsikan kondisi zaman postmodern atau postmodernitas. Belum lagi penemuan saya tentang kekuatan diskursus yang mampu membentuk realitas politik Indonesia dan bukannya sebaliknya. Semua ini tanpa disadari telah menjadi penanda penting aktivitas dan relasi sosial masyarakat kontemporer.
Secara kebudayaan sebenarnya kita telah lama mengucapkan selamat tinggal pada paradigma modernisme yang sudah tak lagi dapat memenuhi tuntutan masyarakat kontemporer. Seperti catatan Bataille tentang landasan ekonomi modern dalam The Accursed Share: An Essay on General Economy, Volume 1 (1991), yang meletakkan pertumbuhan (growth) sebagai indikator aktifitas ekonomi yang paralel dengan tingkat kebahagiaan orang.
Dalam hal ini, secara ideologis, ekonomi modern mengandaikan bahwa ketika orang itu sejahtera atau mapan secara secara ekonomi sudah dengan sendirinya bahagia. Padahal, secara kebudayaan, banyak hal yang telah mematahkan anggapan itu. Sebagaimana yang diyakini oleh Ki Ageng Suryomentaram bahwa ternyata sumber kebahagiaan bukanlah terletak pada kekayaan, tapi pada bagaimana orang mengelola hasratnya yang oleh salah satu putra HB VII itu disebut sebagai “nyawang karep.”
Karena karep itu, yang dalam konteks ini lebih dekat dengan istilah hasrat, bersifat mulur-mungkret (mengembang-mengempis) dan tak terukur, maka dengan sendirinya kekayaan tersebut tak memiliki batas. Dengan demikian, menilai ekonomi dari pertumbuhannya sebenarnya sama sekali tak menjawab permasalahan seandainya ujung tergelap, karena bersifat ideologis, paradigma ekonomi modern adalah kebahagiaan.
Dus, secara historis wacana pemerintah tentang penerapan new normal life bukanlah hal yang sama sekali baru. Karena sejak dekade 80-an, tanpa disadari, banyak dari kita sudah hidup dan terbiasa dengan kondisi kehidupan postmodern yang dalam beberapa hal sebangun dengan konsep new normal life.