29 C
Jakarta

New Normal dan Kondisi Postmodernitas

Artikel Trending

KhazanahOpiniNew Normal dan Kondisi Postmodernitas
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Banyak orang masih berpikir tentang ketaksiapan masyarakat dalam menghadapi kondisi new normal life pasca penerapan PSBB atas mengecambahnya wabah Corona. Tak urung dari para pejabat negara hingga para pemangku kebijakan pada tingkat lokal bingung tentang apa yang semestinya dilakukan. Kebingungan ini sebenarnya sudah terasa sejak pemberlakukan PSBB kemarin.

Sebenarnya pada akhir 2019, sebelum wabah Corona menjadi sorotan dunia, KPPN/BPPN pernah mewacanakan tentang ASN yang tak lagi wajib ngantor. Konsep kerja mereka tak lagi berdasarkan paradigma lama yang mesti menggunakan tubuh, seragam dan ruang kerja khusus yang bersifat permanen sebagai penanda bahwa mereka adalah kalangan ASN. Konsep smart office yang menjadi paradigma kerja baru kalangan ASN memungkinkan mereka untuk beradaptasi dengan apa yang kini sedang diwacakan oleh pemerintah pasca pemberlakuan PSBB sebagai konsep new normal life.

Berkaca pada hal tersebut, terkait dengan wabah corona, pada tataran sosiologis dan kebudayaan, sebenarnya masyarakat luas telah pula menginjakkan kaki di sebuah zaman yang dikenal sebagai zaman postmodern. Mewabahnya aktifitas online sejak 10 tahun terakhir ini mengindikasikan bahwa zaman telah berubah, tatanan dunia tak lagi seperti dahulu kala.

Mulai dari kerja online, belanja online, kuliah online, konsultasi hukum dan psikologis online, dakwah online, revolusi dan demokrasi online (yang saya kategorikan sebagai sebentuk demokrasi deliberatif), polisi siber, bajingan online (hacker), tak lagi meletakkan tubuh sebagai penanda penting kehidupan. Aktifitas dunia dan relasi sosial, untuk meminjam Guy Debord tak lagi didasarkan pada tubuh, melainkan pada citra.

Sebelum dekade 80-an, tak kurang dari Lyotard (postmodernity), Baudrillard (consumer society), McLuhan (global village), Virilio (dromology) hingga Vattimo (the end of modernity), telah mendeskripsikan kondisi zaman postmodern atau postmodernitas. Belum lagi penemuan saya tentang kekuatan diskursus yang mampu membentuk realitas politik Indonesia dan bukannya sebaliknya. Semua ini tanpa disadari telah menjadi penanda penting aktivitas dan relasi sosial masyarakat kontemporer.

BACA JUGA  Ini Alasan Logis Kenapa Nasionalisme Itu Wajib

Secara kebudayaan sebenarnya kita telah lama mengucapkan selamat tinggal pada paradigma  modernisme yang sudah tak lagi dapat memenuhi tuntutan masyarakat kontemporer. Seperti catatan Bataille tentang landasan ekonomi modern dalam The Accursed Share: An Essay on General Economy, Volume 1 (1991), yang meletakkan pertumbuhan (growth) sebagai indikator aktifitas ekonomi yang paralel dengan tingkat kebahagiaan orang.

Dalam hal ini, secara ideologis, ekonomi modern mengandaikan bahwa ketika orang itu sejahtera atau mapan secara secara ekonomi sudah dengan sendirinya bahagia. Padahal, secara kebudayaan, banyak hal yang telah mematahkan anggapan itu. Sebagaimana yang diyakini oleh Ki Ageng Suryomentaram bahwa ternyata sumber kebahagiaan bukanlah terletak pada kekayaan, tapi pada bagaimana orang mengelola hasratnya yang oleh salah satu putra HB VII itu disebut sebagai “nyawang karep.”

Karena karep itu, yang dalam konteks ini lebih dekat dengan istilah hasrat, bersifat mulur-mungkret (mengembang-mengempis) dan tak terukur, maka dengan sendirinya kekayaan tersebut tak memiliki batas. Dengan demikian, menilai ekonomi dari pertumbuhannya sebenarnya sama sekali tak menjawab permasalahan seandainya ujung tergelap, karena bersifat ideologis, paradigma ekonomi modern adalah kebahagiaan.

Dus, secara historis wacana pemerintah tentang penerapan new normal life bukanlah hal yang sama sekali baru. Karena sejak dekade 80-an, tanpa disadari, banyak dari kita sudah hidup dan terbiasa dengan kondisi kehidupan postmodern yang dalam beberapa hal sebangun dengan konsep new normal life.

Heru Harjo Hutomo
Heru Harjo Hutomo
Penulis, peneliti lepas, pemerhati radikalisme dan terorisme. Menggambar dan bermain musik. Sejak 2017 karya-karya analisisnya tentang radikalisme dan terorisme banyak dimuat di jalandamai.org dan www.www.harakatuna.com. Adapun pemikiran-pemikiran, esai-esai eksperimental dan karya-karya sastranya tentang kebudayaan, filsafat, politik, seni, dan Islam Nusantara, banyak dimuat di alif.id, islami.co, idenera.com, berdikarionline.com, idenera.com, dan jurnalfaktual.id. "Jalan Jalang Ketuhanan: Dekonstruksi Santri Brai," Kreasi Wacana, 2011, merupakan buku pertamanya tentang tema Islam Nusantara. Ia juga berkontribusi pada sebuah buku yang merupakan kumpulan refleksi tentang peristiwa bom Surabaya pada 13 Mei 2018: "Merawat Ingatan Merajut Kemanusiaan," idenera.com, Surabaya, 2019, "Kepercayaan dan Pandemi: Antologi Esai Penghayat Kepercayaan Menghadapi Covid-19," IRCiSoD, Yogyakarta, 2020, dan "Menolak Wabah: Suara-Suara Dari Manuskrip, Relief, Khazanah Rempah Dan Ritual Nusantara," Penerbit Ombak dan BWCF Society, Yogyakarta, 2020. Ia pun juga berkecimpung di dunia seni, beberapa sajaknya dimuat di "Mata Sajak: Antologi Puisi Pengawasan Pemilu," Bawaslu Jawa Tengah, Semarang, 2019, dan karya-karya seni rupanya dapat dilihat di alif.id dan idenera.com. Buku keduanya, "Ma-Hyang: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang," diterbitkan oleh CV. Kekata Group, Surakarta, 2020. Adapun buku ketiga dan keempatnya yang juga berisi karya-karya drawingnya, "Kahanan: Melongok dari yang Tak Pokok" dan "Sangkan-Paran," diterbitkan oleh Bintang Pustaka Madani, Yogyakarta, 2021. Single terbarunya, "Menjejak Keprak (2021)" dan "Gelisah" dirilis dan didistribusikan oleh CV. Belantika Digital, Yogyakarta. Sedangkan single lainnya, "Sapa Sira, Sapa Ingsun (2021)," dirilis dan didistribusikan oleh Netrilis Music, Yogyakarta. Pada tahun 2020 memperoleh Adi Acarya Award 2020 di bidang literasi dan pendidikan.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru