30 C
Jakarta

Negara Khilafah itu Tidak Penting, Ini Alasannya

Artikel Trending

KhazanahOpiniNegara Khilafah itu Tidak Penting, Ini Alasannya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Lahirnya persoalan baru adalah keniscayaan dari perkembangan zaman. Persoalan ini tidak akan menemukan solusi yang efektif jika dihadapkan pada sumber pemecah masalah yang lama. Ia seperti baju bayi yang hanya menemukan tempat nyaman di badan anak yang baru lahir, bukan pada badan orang yang sudah tua. Selaras dengan itu adalah ungkapan Heraclitus (504 SM) “Engkau tidak akan mampu menerjunkan diri ke sungai yang sama untuk kedua kalinya, karena air sungai itu senantiasa mengalir”.

Tak terkecuali sebuah sistem pemerintahan suatu negara. Negara akan kalang kabut jika tidak mau beradaptasi dengan zaman. Sebut saja khilafah; ia sudah tidak lagi relevan dan searah dengan tatanan dunia baru ini. Mengapa?

Sistem negara khilafah cocok pada masanya saja. Ini terjadi pada masa imperium Islam, yaitu pada masa Nabi Muhammad sampai runtuhnya Turki Usmani. Terdapat dua ciri menonjol dalam sistem ini. Pertama, iman dan kufur merupakan identitas politik. Nah, dari identitas ini kemudian lahirlah sebuah dikotomi antara dar al-Islam dan dar al-harb.

Kedua, kekuasaan berdasarkan futuh. Jadi, konteksnya dulu antar penduduk wilayah bebas melakukan ekspansi ke wilayah mana saja untuk kemudian dikuasai. Hal ini (jihad/futuh) semata untuk mempertahankan syariat Islam. Sementara peradaban sekarang mengatakan bahwa teritori suatu negara sudah diatur oleh PBB.

Peradaban tersebut kemudian hilang dan tergantikan dengan sistem politik kolonialisme, yang darinya kemudian melahirkan nation-state (negara-bangsa). Negara-bangsa Adalah negara untuk semua penduduk tanpa membeda-bedakan identitas. Sistem ini didasarkan pada paham nasionalisme yang juga merupakan bekas dari kolonialisme. Tentu ini juga bertolak belakang dengan konsep khilafah yang menjadikan iman dan kufur sebagai identitas politik.

Bersikukuh untuk tetap melanjutkan sistem khilafah adalah hal bodoh yang akan membahayakan negara sendiri. Dari itu, kemudian agama pun ikut terganggu—sebab negara adalah perantara atau wadah untuk terlaksananya syariat. Jika syariat terganggu dengan mendirikan sistem khilafah maka apakah betul sistem khilafah adalah untuk mempertahankan agama dan membelanya? Silakan kaji kembali.

Berangkat dari hilangnya dikotomi antara dar al-Islam dan dar al-harb maka musuh Islam kini juga berganti. Jika dulu kekufuran adalah musuh Islam, sekarang keangkuhan adalah bakteri kehidupan manusia yang juga menjadi tugas Islam untuk menghilangkannya. Bakteri tersebut bisa kita jumpai dalam sebuah peradaban baru kali ini, yaitu Global Governance.

Global Governance adalah tata kelola dunia melalui pemerintahan yang tak memiliki kedaulatan. Berbicara masalah Global Governance berarti sedang membahas fungsi birokrasi dunia. Ia baik, namun banyak ruang untuk selalu menyalahgunakannya.

BACA JUGA  Rekonsiliasi Pasca-Pemilu: Jalan Menjaga Solidaritas Kebangsaan

Perlu ditegaskan bahwa sistem pemerintahan dalam diskursus keislaman masuk dalam kategori persoalan muamalah. Dalam persoalan ini terdapat kaidah yang kiranya bisa separuh menjawab untuk keberlanjutan topik ini, yaitu:

المعاملة طلق حتي يعلم المنع

Persoalan muamalah sangat longgar (bebas) sampai diketahui ada dalil yang melarang”.

Kaidah tersebut menunjukkan adanya banyak jalan untuk menempuh apa yang diinginkan oleh Tuhan dalam persoalan sistem pemerintahan—khususnya. Kaidah tersebut berangkat dari tidak adanya nash sharih yang menyinggung soal tatanan politik. Hanya saja terdapat prinsip-prinsip dasar yang ditentukan oleh syariat dalam menata sistem politik pemerintahan suatu negara.

Kiai Afifuddin Muhajir dalam bukunya, Fiqh Tata Negara, mengemukakan bahwa bentuk negara dan sistem pemerintahan tidak disebutkan secara tersirat dan terperinci dalam teks wahyu.

Sebaliknya, teks wahyu juga berbicara soal prinsip negara secara universal, seperti al-‘adalah (keadilan), asy-syura (permusyawaratan), al-musawah (kesetaraan) dan al-hurriyyah (kebebasan).

Dengannya, maka teknis penyelenggaraan negara diserahkan kepada umat dengan tetap mengacu pada dalil-dalil universal ajaran agama dan prinsip maqashid asy-syari’ah. Dalam lanjutannya beliau menegaskan bahwa pada tataran implementasi Tuhan banyak mendelegasikan manusia untuk merumuskan sistem ketatanegaraan sesuai dengan panduan kitab suci dengan memperhatikan realitas masyarakat yang sedang dihadapi.

Islam itu (dalam persoalan yang berkembang, seperti muamalah) bukan kitab-kitab kuning yang dikarang oleh ulama terdahulu, yang mana ia merepresentasikan sistem khilafah, melainkan Al-Quran dan hadis yang solih li kulli zaman wa makan.

Hanya saja kitab-kitab kuning merupakan representasi dari pemahaman terhadap dua sumber tersebut, yang mana pemahaman di dalamnya diintervensi oleh lingkungan dan personalitas orang yang memahami.

Adapun apa yang terdapat dalam kitab kuning, dalam hal ini menyangkut persoalan muamalah, adalah perantara untuk mencapai sesuatu yang digariskan Tuhan tentang sistem pemerintahan. Berangkat dari statusnya hanya sebagai perantara maka ia sifatnya tidak mutlak.

Perkembangan zaman masih mampu untuk menuntutnya berubah. Sementara apa yang terkandung dalam nash (menyangkut prinsip dasar tatanan politik dan lainnya) sifatnya adalah mutlak dan harus ada pada berbagai perantara. Dalam masalah ini terdapat kaidah fikih yang terkenal:

الثبات في المقاصد والمرونة في الوسائل

“Tegas dalam tujuan dan lentur dalam memilih perantara (untuk mencapai tujuan itu)”.

Ghufronullah
Ghufronullah
Mahasantri di Ma’had Aly Situbondo. Pemenang Juara I LKTI Nasional yang diselenggarakan BPIP, Juara Harapan Lomba Esai Jawi dan Esai Rumi yang diadakan oleh UTM Malaysia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru