26.2 C
Jakarta
Array

Negara Islam, Bagaimana Konsepnya?

Artikel Trending

Negara Islam, Bagaimana Konsepnya?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Perdebatan mengenai agama dan negara memang menjadi perbincangan yang hangat di setiap waktu. Bagaimana tidak, meskipun perang ideologi sudah selesai, negara yang mengusung gagasan geopolitik bertentangan dengan agama, notabennya tidak mengenal geopolitik semacam itu. Komunitas agama tidak dibatasi oleh geopolitik seperti negara, akan tetapi hanya dibatasi oleh konsep umat beragama.

Di Indonesia mayoritas penduduknya adalah Islam. Di dalamnya terdapat banyak ormas, baik skala regional maupun nasional, yang memiliki gagasan sendiri terkait negara. Hal ini berimplikasi pada banyaknya aspirasi umat yang harus diperhatikan oleh negara. Tidak sedikit dari umat Islam yang ingin menuntut diberlakukannya negara agama sebagai pengganti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Jargon-jargon seperti NKRI bersyariah, tegakkan khilafah, tegakkan Perda syariah, merupakan bentuk gerakan untuk menegakkan negara Islam di bumi Nusantara. Jargon-jargon tersebut merupakan gagasan atau cita-cita yang ingin diperjuangkan oleh ormas Islam radikal di Indonesia. Mereka beranggapan bahwasanya dengan menerapkan negara Islam di bumi Nusantara, Nusantara akan lebih baik ketimbang saat ini.

Padahal kalau mau merujuk ke al-Qur’an maupun hadist, tidak ada sedikitpun secara eksplisit Nabi menyarankan untuk mendirikan negara Islam. Hal ini dibuktikan dengan perdebatan panjang atas kepemimpinan sepeninggal Nabi. Melalui perdebatan panjang akhirnya diputuskan Abu Bakar menjadi pemimpin dengan sistem pemilihan musyawarah mufakat. Setelah itu diganti dengan Umar bin Khattab melalui sistem penunjukkan dari Abu Bakar.

Sebelum Umar meninggal, beliau mengumpulkan enam panitia untuk mencari pengganti pemimpin setelahnya. Keenam para sahabat itu di antaranya adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdurahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqas, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah. Dari hasil rapat ini diputuskan Utsman bin Affan sebagai pengganti Umar bin Khattab. Sepeninggal Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib maju menjadi pemimpin selaku sahabat dan menantu Nabi.

Dari situ sudah terlihat jelas bahwa tidak ada konsisten dalam pemilihan kepemimpinan dalam negara. Secara eksplisit hal itu menunjukkan bahwa sistem kenegaraan tidak ada dalam agama Islam. Akan tetapi Islam mengajarkan etika dalam berbangsa dan bernegara. Seperti menjalin hubungan baik dengan sesama manusia, bertindak adil, bersikap toleran terhadap perbedaan, tidak melakukan diskriminasi atau kekerasan dalam bentuk apapun. Ajaran-ajaran seperti ini memperlihatkan bahwa nilai yang terkandung dalam Islam bersifat universal.

Negara Islam yang coba dibuktikan oleh beberapa kelompok radikal di Indonesia bisa dikatakan bukan anjuran Nabi. Agama yang telah dijadikan sebagai alat ideologi bisa disejajarkan dengan ideologi-ideologi lainnya, seperti nasionalisme, kapitalisme, komunisme, dan lain-lain. Oleh karenanya, penggunaan Islam sebagai ideologi hingga hari ini masih menuai perdebatan.

Banyak dari ormas radikal yang beranggapan bahwa dengan mendirikan negara agama bisa mengatasi permasalahan yang saat ini terjadi. Akan tetapi, banyak juga yang kontra dengan gagasan semacam itu. Setidaknya ada dua argumentasi tentang penolakan gagasan negara agama tersebut.

Pertama, melihat tidak adanya anjuran dari Nabi langsung baik secara eksplisit maupun implisit untuk mendirikan negara agama.

Kedua, melihat rekam jejak sejarah sistem kerajaan Islam dulu yang menggunakan Islam sebagai ideologi. Banyak yang belum mengetahui bahwa kejayaan Islam pada masa kerajaan juga dibarengi dengan kedzaliman penguasa. Sudah menjadi tradisi secara umum bahwa setiap khalifah memiliki kecenderungan ideologi tertentu. Misalnya khalifah al-Ma’mun saat memimpin dinasti Abbasyiah. Pada saat khalifah al-Ma’mun memimpin dinasti, beliau memilih faham Mu’tazilah untuk dijadikan ideologi negara. Hal ini berujung pada pemaksaan ideologi kepada masyarakat secara umum.

Salah satu tragedi yang hingga hari ini masih terekam jejaknya adalah mihnah. Tragedi ini bermula dari pemaksaan pemerintah penguasa kepada warga negaranya untuk mempercayai bahwa al-Qur’an merupakah makhluk Allah, sebagaimana pemahaman Mu’tazilah pada saat itu. Pemahaman seperti ini ditentang oleh sebagian kalangan, meskipun banyak kalangan yang terpaksa harus mengakuinya. Salah satu ulama Fiqih yang tidak mau mengikuti ialah imam Ahmad bin Hambal. Penolakan ini hingga beliau dipenjara oleh khalifah.

Dua alasan di atas setidaknya mengantarkan pada pemahaman bahwa Islam tidak layak dijadikan ideologi. Dalam teks tidak ditemukan anjuran atau gagasan untuk membuat negara agama, di samping itu juga dalam sejarah dinasti Islam yang berjaya pada saat itu banyak terjadi kecacatan tatkala agama dijadikan ideologi negara. Maka dari itu, umat Islam tidak akan kehilangan keimanannya ketika mereka menolak Islam dijadikan sebagai ideologi, sebab Islam merupakan ajaran universal yang melampuai waktu dan zamannya.

M. Mujibuddin SM
M. Mujibuddin SM
Alumnus Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru