34 C
Jakarta
Array

Natal dan Cerminan Kerukunan

Artikel Trending

Natal dan Cerminan Kerukunan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Natal adalah ritus keagamaan yang bertujuan untuk memuliakan Yesus Kristus. Sebab, atas perantaranyalah umat Kristiani sampai pada jalan kehidupan yang penuh kasih dan damai.

Keagungan Yesus tentu tidak hanya menjadi monumen kesucian yang tidak aksesible dengan harapan umat manusia. Melainkan, keagungan itu adalah sebentuk teosofi dan emanasi yang harus direngkuh dan dimanifestasikan kedalam perilaku yang nyata. Hal ini tentu penting dilakukan dalam upaya menumbuhkan semangat keagungan dan kemuliaan Yesus agar dapat dicontoh sebagai laku manusia untuk saling membantu, mengasihi dan berbagi kepada sesama.

Sebab yang demikian itu, spirit keagungan dan kemuliaan Natal yang tertuang sebagai ekspresi transendental untuk mengenang lahirnya Yesus harus mewujud sebagai cerminan ketuhanan untuk memperlihatkan sifat keluhuran-Nya ke dalam ruang-ruang kehidupan. Dengan cara yang demikianlah, Ia akan menjadi keniscayaan bagi siapapun untuk selalu tulus dan ikhlas berbagi tanpa melihat latar belakang keyakinan dan perbedaan cara pandang.

Bila sikap dan laku seperti ini bisa terus ditumbuhkan, maka Natal akan menjadi sarana untuk membangkitkan rasa keterlibatan diri secara empatik (empathic engagement) terhadap pihak lain dalam setiap ruang interaksinya. Untuk merajut keluhuran rasa yang demikian ini, nilai-nilai kasih dan damai yang menjadi sistem kepercayaan dan spiritualitas umat Kristiani harus dimanifestasikan kedalam laku kesehariannya.

Seperti perayaan Natal tahun 2018 kali ini, ternyata tidak hanya umat Kristiani yang menyambut dengan riang gembira momen perekat persatuan Natal tersebut. Melainkan, spirit Natal itu juga ikut dirasakan umat Muslim.

Hal ini tercermin pada sikap pengelola Masjid Istiqlal di Jakarta yang menyiapkan dan mempersilahkan Jemaah menggunakan lahan parkir dan MCK bahkan juga kamar mandi. Upaya ini dilakukan dengan senang hati guna mensupport dan ikut membantu berlangsungnya misa dengan khidmat di Gereja Katedral. Sikap seperti ini senada dengan perkataan Ali bin Abi Thalib bahwa “mereka yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”

Melalui manifestasi nilai-nilai kasih dan damai itulah, umat Kristiani dapat menghadapi berbagai persoalan yang ada dengan tenang, termasuk menyikapi perayaan Natal yang selalu dihadapkan berbagai rintangan, hujatan, sampai pada penghalangan dari berbagai kalangan. Seperti misalnya pihak-pihak yang gemar menyebarkan postingan-postingan untuk tidak menyampaikan ucapan “Selamat Natal” maupun pelarangan penggunaan atribut Natal di ranah publik karena sentiment sosial maupun keagamaan.

Pada momen-momen seperti inilah uji eksperimentasi keimanan harus didudukkan dengan baik. Hal ini supaya Natal yang secara esensial untuk memanifestasikan spirit kemuliaan, kerukunan dan kasih sayang sebagaimana yang dicontohkan Nabi Isa as. selama hidupnya benar-benar mampu kita praktikkan.

Apa-apa yang telah dicontohkan Nabi Isa as. selama hidupnya akan menjadi bekal percontohan laku kebijaksanaan hidup kita ditengah keberagaman masyarakat yang majemuk.

Keberagaman masyarakat itu juga tercermin dalam sikap yang ditunjukkan sebagaimana mereka merespon perayaan Natal ini. Yang tidak jarang respon itu sebagaian besar adalah negatif dan cenderung menyudutkan umat Kristiani. Meski begitu, jika perayaan Natal mampu disadari sebagai spirit keagungan dan kemuliaan yang berpancar dari semangat perjuangan pengorbanan Nabi Isa as. maka, senegatif apapun respon yang diberikan pihak lain itu tidak akan mampu mengikis semangat untuk terus memupuk dan menyuburkan spirit keagamaan umat Kristiani.

Begitu pula dalam konteks kehidupan kita ditengah-tengah masyarakat yang majemuk ini. Di Indonesia dengan tingkat kemajemukan tinggi ini harus memiliki keragaman dan toleransi sebagai pondasi pokok bangunan kebangsaannya, mengedepankan kedamaian dan keterlibatan diri secara empatik terhadap nuansa perayaan Natal adalah sikap yang perlu diutamakan. Begitu pula sebaliknya, sikap yang harus ditanamkan dalam merespon perayaan hari keagamaan bagi penganut agama lain.

Hal demikian itu senada dengan bangunan sosial yang memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Meski muncul berbagai sinisme dan hujatan yang dilontarkan oleh beberapa pihak namun, masih ada sebagian orang dari pihak lain yang bersedia merajut keterlibatan diri secara empatik. Tujuannya agar antara pihak lain (Muslim — Kristen misalnya) bisa menjalin semangat kemanusiaan yang setara.

Selamat merayakan Natal untuk saudara-saudaraku Umat Kristiani. Semoga pion-pion perdamaian yang dibangun senantiasa kokoh dalam menyangga tiang kebangsaan kita. Marry Christmast.

* Oleh: S. Fitriatul Maratul Ulya, mahasiswi Program Magister Islam Nusantara di Universitas NU Indonesia, Sekjend KOPRI PMII Kota Semarang, Duta Damai Kota Semarang sekaligus Alumni Program Studi Perbandingan Agama UIN Walisongo Semarang.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru