31.8 C
Jakarta

Nasionalisme Tauhid dalam Memperingati Kemerdekaan Indonesia

Artikel Trending

KhazanahOpiniNasionalisme Tauhid dalam Memperingati Kemerdekaan Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Negara Republik Indonesia pada tahun 2022 ini telah memasuki usia kemerdekaan yang ke- 77 tahun. Angka yang masih terbilang baru untuk sebuah bangsa besar merdeka. Untuk sampai ke usia 77 tahun juga bukan perjalanan mudah. Sempat menemui titik chaos  yang hampir merenggang tali kesatuan bangsa.

Untungnya, masyarakat Indonesia tidak pernah kehabisan tokoh serta elit politik untuk menyelesaikan rumitnya persoalan bangsa demi merawat keutuhan keberagaman. Contohnya dalam hal toleransi beragama atau fenomena pluralisme di tengah kehidupan bermasyarakat.

Jika seiring dalam perjalanan berbangsa dan bernegara dijumpai aksi intoleransi oleh suatu kelompok agama terhadap suatu komunitas keyakinan yang lain, di berbagai tempat masih terdapat individu atau bahkan kelompok masyarakat yang terus memasifkan edukasi tentang pentingnya kerukunan antar umat beragama.

Setidaknya indeks angka penerapan toleransi beragama di Indonesia terus naik dengan hadirnya orang-orang moderat, meskipun tidak begitu signifikan. Melihat realitas seperti itu, umat beragama di Indonesia perlu kembali mencontohkan perjuangan para founding fathers negara dalam mempersatuakan hingga menegakkan semangat kemerdekaan bersama dengan masyarakat yang majemuk.

Begitupun dengan masyarakat muslim hingga politisinya harus melihat ke belakang peran serta tokoh Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Hingga menjadi negara merdeka seperti yang dirasakan saat ini.

Islam dan NKRI

Tidaklah mudah untuk menyatukan berbagai elemen rakyat untuk memukul mundur para penjajah dan memastikan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Seperti perjuangan dari para pahlawan nasional di kalangan Islam, yakni Dipati Unus, Sultan Agung, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Sisingmangaraja, Patimura, Untung Surapati, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Pangeran Kornel, Budi Utomo, Syarikat Islam dan masih banyak lagi yang mempertaruhkan harta, jabatan hingga nyawanya demi kemerdekaan bersama.

Semangat yang ditularkan oleh mereka tentunya bersumber dari keikhlasan hati kepada Allah SWT. untuk menegakkan cita-cita bangsa. Para pendiri bangsa besar ini bahkan menuliskannya dengan sangat jelas dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.

Para pendahulu mengisyaratkan bahwa usai melalui perjuangan panjang dan berat dalam memperebutkan kemerdekaan, semua dapat terwujud atas izin Allah. Karunia itu patut disyukuri sebagai bangsa yang sadar terhadap keberkahan yang diidam-idamkan selama ini.

Memasuki usia 77 tahun, republik ini dipandang masih belum mampu menampilkan cita-cita sepenuhnya dalam mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melestarikan ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Misi-misi mulia tersebut memerlukan kesabaran tinggi serta konsistensi untuk mewujudkannya,

Tapi semakin kemari, progres untuk sampai ke tujuan itu sudah semakin terlihat sejak negeri ini merdeka. Pembangunan infrastruktur yang menyesuaikan perkembangan zaman, peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk mencapai generasi unggul, penguatan kerukunan hidup berbangsa dan negara di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya terus dikembangkan. Jika kebijakan yang dikeluarkan pemerintah bernilai positif untuk kemakmuran hidup masyarakat, maka perlu didukung dengan semangat optimisme tinggi.

Salah satu kebijakan dan nilai yang perlu didukung oleh seluruh lapisan masyarakat adalah terkait dengan kemanusiaan. Dengan menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan-lah Republik Indonesia dapat berdiri tegak sebagai negara besar yang memiliki tiket politik luar negeri bebas aktif. Indonesia bisa saja mengubah haluan cara pandang sikap kenegaraannya terhadap sekutu apabila terjadi kemerosotan nilai kemanusiaan di suatu tempat.

BACA JUGA  Antara Muhammadiyah dan NU: Belajar Memahami “Wajah” yang Lain

Menjalankan nilai kemanusiaan yang hakiki sama halnya menularkan virus kemerdekaan pada diri setiap orang. Seorang cendikiawan Islam Indonesia kontemporer atau biasa dijuluki “Bapak Bangsa”, yakni (Alm.) Ahmad Syafii Maarif sangat menekankan pentingnya nilai kemanusiaan itu hampir setiap karya tulisannya. Orientasi kepada kemanusiaan menurutnya sesuai dengan pesan al-Qur’an dalam mendorong umat Islam menjadi umat yang terbaik dan teladan.

Buya Syafii juga mengungkapkan agar masyarakat muslim menawarkan nilai-nilai keindonesiaan dan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Sehingga yang diperjuangkan oleh Indonesia hari ini menjadi pembeda dari apa yang diidam-idamkan oleh nasionalisme barat yang terus menggerus cara pandang masyarakat dunia dengan globalisme-nya.

Corak Nasionalisme di Indonesia

Memperingati hari kemerdekaan tidak akan lepas dari prinsip serta gagasan nasionalisme bangsa untuk menjaga keutuhan dan kesatuan. Sebelum banyak orang berdebat tentang sistem pemerintahan demokrasi yang dipilih para pemimpin Indonesia, ungkapan ‘nasionalisme’ atau kebangsaan juga kerap disorot oleh beberapa elit, khususnya tokoh dari kelompok religius. Mereka beranggapan paham nasionalisme adalah buatan barat yang karakternya tidak sesuai dengan ajaran Islam dan nilai-nilai budaya bangsa.

Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno dalam buku yang ditulis Badri Yatim, pada awalnya sempat menyoroti perihal nasionalisme ala barat dengan mengatakan bahwa nasionalisme Barat merupakan nasionalisme yang mengandung pandangan negatif seperti, individualisme, demokrasi liberal oleh kaum kapitalis, chauvanismem imperialisme, sempit budi dan saling menyerang.

Melalui diskusi panjang, para tokoh tanah air – masa kemerdekaan –  akhirnya menyepakati bahwa ide nasionalisme di Indonesia menggunakan corak pemahaman yang jauh berbeda dari barat dan disesuaikan dengan budaya bangsa. Maka muncullah istilah ‘Nasionalisme Tauhid’.

Ide tersebut dipahami sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, yaitu menerima rasa hidupnya sebagai wahyu, serta menjalankannya sebagai suatu bakti, menebar rasa cinta kepada setiap makhluk sebagai lebar dan luasnya udara, menyayangi dan saling tolong menolong kepada mereka yang juga dititipkan ‘ruh’ oleh Tuhan untuk mengabdi kepada-Nya.

Nasionalisme seperti itu juga sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang diwariskan Buya Syafii Maarif kepada generasi pelanjut. Saat ini Nasionalisme Tauhid lebih didemokrasikan lagi dengan bahasa Nasionalisme Timur. Istilah tersebut juga digagas oleh orang-orang berpengaruh seperti, Mahatma Ghandi, Rabendranath Tagore, Mustafa Kamil, Jose Rizal dan Dr. Sun Yat Sen.

Nasionalisme Timur sesuai dengan corak negara bagian timur, khususnya Indonesia yang lebih mengedepankan nilai-nilai agama dan budaya dalam kehidupan sehari-hari. Tulisan Prof. Azyumardi Azra dalam buku berjudul ‘Islam Reformis’ lebih lanjut memuat tanggapan Soekarno terkait istilah Nasionalisme Tauhid yakni lebih bersifat kemanusiaan dan akan tampil sebagai pembawa perubahan.

Memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia dengan kesadaran akan Nasionalisme Tauhid adalah sikap menghormati serta menghayati perjuangan para pahlawan tanah air. Khususnya semangat juang berlandaskan syariat Islam akan lebih dimaknai sebagai motivasi untuk memperkokoh kesatuan bangsa Indonesia dari pengaruh ideologi tidak beradab.

Andi Novriansyah Saputra
Andi Novriansyah Saputra
Content Creator, Jurnalis dan Relawan. Alumni Prodi Studi Agama-Agama, Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru