32.1 C
Jakarta
spot_img

Nasionalisme sebagai Pemersatu Bangsa, Bukan Islam Kafah ala HTI!

Artikel Trending

Milenial IslamNasionalisme sebagai Pemersatu Bangsa, Bukan Islam Kafah ala HTI!
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Pilkada 2024 usai. Hari ini masing-masing kandidat tengah menunggu hasil real count dari KPU, kendati versi hitung cepat sudah memperlihatkan hasilnya. Beberapa hari lalu, terutama pasca-peristiwa berdarah di Sampang, narasi nasionalisme bergema. Intinya, Pilkada jangan sampai jadi ajang perpecahan. Di atas prinsip nasionalisme, semua rakyat mesti bersatu. Namun, tahu tidak, apa yang HTI propagandakan setelah itu?

Dalam artikel berjudul “Mubaligah: Islam Kafah yang Menjadi Pemersatu Bangsa, Bukan Nasionalisme” yang ditulis Kholishoh Dzikri, aktivis perempuan HTI, dikatakan bahwa slogan hubbul wathan minal iman sangat berbahaya karena menyerukan nasionalisme yang menjadi penghalang persatuan umat Islam sedunia. “Islam kafah mempersatukan bangsa, bukan nasionalisme. Umat Islam tidak perlu slogan-slogan seperti itu,” celetuk Kholishoh.

Dalam keyakinan Kholishoh, sebagai Muslimah HTI, umat Muslim telah diikat oleh akidah sehingga tidak butuh nasionalisme—bahkan haram. Nasionalisme, katanya, telah menjadikan umat terpecah menjadi lebih dari 50 negara, menjadi sebab pencaplokan tanah Palestina oleh zionis Israel. Karena itu, slogan nasionalisme ia sebut tidak layak diadopsi dan dipropagandakan karena hanya menghalangi persatuan.

Pada saat yang sama, perempuan yang oleh HTI dikamuflasekan sebagai muballighah itu menegaskan bahwa pemersatu umat yang hakiki adalah akidah Islam, yakni syariat Islam kafah, yang diterapkan oleh kekuatan global khilafah islamiah. “Untuk itu, semua elemen masyarakat termasuk muballighah wajib menyuarakan pentingnya persatuan yang akan terwujud dengan tegaknya khilafah islamiah, institusi penerap syariat Islam,” tandasnya.

Untuk diketahui, propaganda HTI yang berusaha mengonter nasionalisme tersebut lahir sebagai respons di tengah Pilkada sebagai penguatan pilar-pilar demokrasi dan politik kebangsaan. HTI berusaha memprovokasi umat Muslim untuk benci nasionalisme dan membenturkannya dengan Islam kafah. Apa itu Islam kafah yang dimaksud HTI? Jelas, berdirinya khilafah tahririyah. Dan itu menarik ditelaah.

Islam Kafah Palsu ala Khilafahers

HTI menolak nasionalisme, dan lebih jauh menginstruksikan umat Muslim untuk anti-nasionalisme. Sebagai alternatif, mereka menawarkan Islam kafah. Sebenarnya, apa itu Islam kafah? HTI mendefinisikannya sebagai ‘cara berislam yang menyeluruh termasuk dalam politik, sehingga politik umat Islam adalah penegakan khilafah’. Namun, apakah definisi Islam kafah ala HTI itu benar? Mari komparasikan dengan pendapat lainnya.

Al-Qurthubi (2006), ketika menafsirkan surah al-Baqarah [2]: 208, memaknai kata kāffah sebagai menyeluruh, mencakup semua aspek kehidupan, baik ibadah, muamalah, maupun akhlak. Artinya, umat Islam tidak boleh mencampuradukkan keimanan mereka dengan praktik jahiliah, dan mesti mengamalkan Islam secara total dalam semua aspek kehidupan. Namun demikian, al-Qurthubi tidak menyebutkan soal penegakan negara khilafah.

Cendekiawan Muslim kontemporer, Fazlur Rahman (1980), menafsirkan Islam kafah sebagai ajakan hidup dalam harmoni dengan prinsip-prinsip moral Islam. Totalitas Islam, menurutnya, melibatkan ritual formal, implementasi keadilan sosial, pengentasan kemiskinan, dan rahmat universal. Rahman menitikberatkan Islam kafah sebagai peran etika Islam dalam menciptakan kehidupan holistis—adil dan damai.

Murid Rahman, Buya Syafii Maarif, memaknai Islam kafah sebagai upaya menjadi Muslim yang utuh secara intelektual, spiritual, dan sosial. Buya Syafii mengkritik pemaknaan yang cenderung eksklusif-politis terhadap konsep Islam kafah—sebagaimana yang HTI lakukan. Menurutnya, Islam kafah adalah ajakan untuk mengintegrasikan nilai universal Islam dalam kehidupan sehari-hari (Maarif, 2017).

Selain itu, salah satu pembaru Islam di Indonesia, Cak Nur, memaknai Islam kafah sebagai jalan hidup yang mengedepankan pembaruan (al-tajdīd). Menurutnya, Islam kafah berarti keterlibatan aktif Muslim dalam menciptakan dunia yang lebih baik melalui dukungan terhadap kemajuan intelektual, kemanusiaan, dan pluralisme (Madjid, 2000). Makna Islam kafah ala Cak Nur ini lebih inklusif dan berorientasi pada pembaruan Islam.

Dari berbagai pendapat tersebut, tak satu pun intelektual Muslim yang mendefinisikan Islam kafah ad hoc penegakan negara khilafah, sebagaimana klaim HTI. Pendapat HTI merujuk pada pendiri Hizbut Tahrir, Taqiyuddin al-Nabhani, yang jelas-jelas pemikirannya menyimpang dari mayoritas cendekiawan Muslim. Artinya, Islam kafah ala HTI adalah Islam kafah ala khilafahers belaka yang palsu, dusta, dan berasaskan nafsu kekuasaan.

BACA JUGA  Menelisik Kemunculan HTI ke Ruang Publik, Benarkah NKRI Terancam?

Menguatkan Nasionalisme dari Propaganda Transnasionalisme

Ketika menolak nasionalisme, sebenarnya posisi para aktivis khilafah HTI itu sudah jelas: anti-NKRI, anti-Pancasila, dan anti-UUD 1945. Mereka menolak negara ini secara holistis (kāffah), yang dalam konteks itulah mereka merupakan kelompok radikal. Selain itu, sikap HTI untuk menjelek-jelekkan nasionalisme dan menawarkan Islam kafah palsunya membuat posisi mereka semakin jelas: penganut transnasionalisme.

Banyak generasi muda Muslim yang belum memahami hal tersebut. Transnasionalisme mengacu pada fenomena globalisasi Islam ideologis yang salah satu manifestasinya adalah doktrin khilafah dengan konsep one ummah atau persatuan umat Islam global di bawah satu entitas politik: negara khilafah. Transnasionalisme HTI mengadvokasi penghapusan batas negara demi membentuk pemerintahan Islam global (Mandaville, 2007).

Konsep one ummah sendiri sebenarnya berakar dari prinsip ukhuah islamiah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, surah al-Hujurat [49]: 10, ihwal pentingnya solidaritas dan persaudaraan antar-Muslim. Namun, tafsir literal terhadap konsep tersebut malah digunakan untuk mendukung narasi politik yang mendiskreditkan nasionalisme dan kedaulatan negara. Itulah yang HTI lakukan demi ambisi politiknya.

One ummah dan Islam kafah terus-menerus mereka propagandakan sebagai khilafah—khilafah palsu, tentunya. Sebab, konsep khilafah yang sebenarnya ialah mekanisme administratif untuk menjaga stabilitas umat, bukan doktrin universal yang menegasikan keragaman budaya dan geopolitik umat Islam (Al-Mawardi, 1996). Namun, gerakan transnasionalisme HTI memanipulasinya sebagai alat politik global (Taji-Farouki, 1996).

Doktrin khilafah ala kelompok transnasional HTI jelas ahistoris. Selain itu, ide transnasionalisme mereka kontradiktif dengan prinsip nasionalisme modern yang menjadi pilar stabilitas banyak negara Muslim. Transnasionalisme juga mengabaikan maqāshid al-syarī’ah dengan orientasi kemaslahatan umat, yang dalam konteks dunia modern mencakup penghormatan terhadap kedaulatan negara (Kamali, 2008).

Karena itu, untuk menguatkan nasionalisme dari propaganda transnasionalisme, perlu ditegaskan bahwa Islam tidak kontras dengan nasionalisme selama dalam koridor cinta tanah air (hubbul wathan minal īmān). Nasionalisme di Indonesia, sebagai contoh, bukanlah wujud kontra-ukhuah islamiah, melainkan inklusi ukhuah dalam koridor kebhinekaan yang notabene sunatullah. Pendiri bangsa dan ulama pun menetapkan konsensus, bahwa menjaga tanah air adalah manifestasi jihad (Azra, 2013).

Narasi transnasionalisme telah gagal memahami bahwa solidaritas umat tidak harus diwujudkan dalam bentuk politik global, yang HTI klaim sebagai khilafah islamiah, tetapi dapat diimplementasikan melalui kolaborasi multilateral dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan bantuan kemanusiaan. Artinya, solidaritas Islam global tetap dapat terjaga tanpa mesti menafikan nasionalisme sebagaimana yang HTI propagandakan (Esposito, 2011).

Intinya, untuk melawan transnasionalisme yang mendiskreditkan nasionalisme, umat Islam perlu menegaskan bahwa cinta tanah air adalah manifestasi keimanan. Nasionalisme inklusif merupakan pilar penguatan peran Muslim dalam mengonstruksi peradaban modern yang rahmatan lil alamin. Sementara itu, doktrin khilafah dalam propaganda transnasionalisme HTI adalah utopia belaka dengan segudang mudarat di dalamnya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Rujukan

Al-Mawardi. (1996). Al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Qurthubi. (2006). Tafsir Al-Qurthubi. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Esposito, J. L. (2011). Islam: The Straight Path. Oxford: Oxford University Press.

Kamali, M. H. (2008). Shari’ah Law: An Introduction. Oxford: Oneworld Publications.

Maarif, A. S. (2017). Islam dan Kebangsaan. Yogyakarta: Maarif Institute.

Madjid, N. (2000). Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.

Mandaville, P. (2007). Global Political Islam. New York: Routledge.

Rahman, F. (1980). Major Themes of the Qur’an. Minneapolis: Bibliotheca Islamica.

Taji-Farouki, S. (1996). A Fundamental Quest: Hizb al-Tahrir and the Search for the Islamic Caliphate. London: Grey Seal.

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru