Harakatuna.com – Setelah hancurnya gedung WTC di Amerika Serikat oleh Al-Qaeda, Islam mendapatkan citra yang relatif buruk di mata bangsa Barat dan Eropa. Dari situ muncul gerakan Islamofobia yang menduga kuat bahwa Islam adalah agama teroris atau setidaknya mentolerir terorisme.
Adanya gerakan islamofobia demikian membuat Indonesia, dengan jumlah penduduk mayoritas Muslim, juga tidak luput dari stigma yang sama. Tidak dapat dinafikan, tuduhan serupa bergulir terhadap pesantren-pesantren yang dianggap sebagai markas yang dapat menyuburkan gerakan terorisme. Hal tersebut membuat sebagian kalangan mempersoalkan nasionalisme kaum pesantren.
Jika memang nasionalisme adalah bentuk sikap rakyat atau seseorang yang didasari cinta kepada tanah airnya, maka tidak memilikinya berarti membiarkan penjajah menguasai negeri ini. Tanpa nasionalisme, kemerdekaan Indonesia tidak akan bisa dirasakan seperti sekarang. Namun faktanya, kita dapat menghirup udara segar di atas bumi Indonesia tanpa suara peluru, bom, dan granat penjajah. Hal itu menandakan bahwa kemerdekaan Indonesia didasari rasa nasionalisme yang sangat tinggi.
Nasionalisme Santri Pra-Kemerdekaan
Lalu, bagaimana dengan rasa nasionalisme santri yang kerap dipertanyakan oleh beberapa kalangan? Secara historis, rasa nasionalisme sebagai bentuk cinta kepada tanah air Indonesia tentu terpatri dalam jiwa santri. Hal itu dibuktikan dengan terbunuhnya Jenderal Mallaby dalam gerakan Resolusi Jihad yang dicanangkan oleh KH Hasyim Asy’ari dengan jargonnya hubbul wathan minal iman yang sangat masyhur tersebut.
Di sisi lain, sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia digelorakan, pesantren-pesantren sudah menyebar luas di seluruh penjuru Nusantara dengan jumlah santri yang cukup banyak. Tujuan berdirinya pesantren pada masa pra-kemerdekaan tiada lain adalah mencerdaskan anak bangsa agar memiliki kekuatan untuk keluar dari cengkeraman kolonialisme (Gufron, 2019). Hal demikian dapat dibuktikan dengan pola pengajaran di pesantren pada masa itu yang menolak penggunaan bahasa asing selain bahasa Arab.
Rasa nasionalisme santri tumbuh melalui proses panjang yang ditanamkan oleh para kiai dan santri di pesantren. KH Said Aqil Siradj dalam salah satu ceramahnya menyampaikan, “Rasa nasionalisme para kiai zaman dulu dapat dibuktikan dengan nama pesantrennya yang menggunakan nama daerahnya, seperti Pondok Pesantren Tebuireng, Lirboyo, dan lain sebagainya.”
Selain itu, Robin L. Bush (1999) mengatakan, “Kekuasaan ulama dan para kiai tidak tersekat oleh tebalnya dinding pesantren, bahkan suara kiai dapat menembus dan melewati dinding pesantren serta masuk ke dalam lubuk hati para santri di luar pesantren.” Dengan loyalitas dan militansi yang besar, tidak dapat disangkal bahwa para santri memiliki rasa nasionalisme yang sangat kuat, sama halnya dengan para kiai.
Tidak cukup sampai di situ, para santri dan kiai juga memberikan kontribusi besar dalam diplomasi politik dan militer. Sebagai figur yang berperan dalam diplomasi politik, terdapat nama KH Abdul Wahid Hasyim dan H. Agus Salim. Sementara dalam bidang militer, lahir Laskar Pembela Tanah Air dan Laskar Hizbullah, yang keduanya berasal dari rahim pesantren dan beranggotakan para santri (Gufron, 2019).
Dengan peran para kiai dan santri pada masa sebelum kemerdekaan bahkan sesudahnya, hal itu merupakan bukti konkret jiwa nasionalis yang melekat dalam tubuh para santri. Mereka tidak hanya berjuang mengusir penjajah, tetapi juga berusaha keras mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebut saja beberapa gerakan yang berusaha merongrong Pancasila, seperti beberapa ormas Islam yang mengajak untuk mendirikan sistem khilafah. Gerakan semacam itu menjadi jalan terjal bagi para santri dalam menjaga kesatuan bangsa Indonesia. Namun, para santri dengan pemahaman yang jernih memutuskan bahwa NKRI adalah bentuk final, dan Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam (Zaini, 2018).
Lebih lanjut, lahir gagasan trilogi ukhuah yang dicanangkan oleh Kiai Ahmad Shiddiq, meliputi:
- Ukhuwah basyariyah, yang mengikat tali persaudaraan antara umat manusia (humanisme).
- Ukhuwah wathaniyah, yang menumbuhkan rasa nasionalisme.
- Ukhuwah islamiyah, yang mempererat persaudaraan dengan basis keislaman.
Dari situ, kiranya cukup untuk menjawab pertanyaan tentang rasa nasionalisme para santri, apalagi jika dikaitkan dengan tudingan radikalisme atau gerakan terorisme.
Pelabelan dan stigma seperti itu, menurut hemat saya, tiada lain karena ketakutan mereka terhadap umat Islam yang dipicu oleh fenomena runtuhnya gedung WTC di Amerika Serikat. Sementara itu, perjuangan yang diperankan santri terhadap tanah air Indonesia begitu nyata adanya.
Dari Santri untuk Indonesia
Di bawah pemahaman yang begitu kabur dalam persoalan negara bangsa, tidak dapat dielakkan munculnya gerakan-gerakan yang menginginkan sistem khilafah di Indonesia, dan hingga saat ini denyutnya masih terasa. Fenomena tersebut mendorong para santri Nusantara untuk merespons secara bijak dan strategis. Sebagai konter terhadap gerakan-gerakan tersebut, para santri menjawab pokok persoalan yang diusung, salah satunya adalah memformalisasikan hukum syariat di bumi Indonesia.
Para santri dari Pesantren Lirboyo, misalnya, melalui buku Fikih Kebangsaan: Merajut Kebersamaan di Tengah Kebhinekaan, menjelaskan secara rinci isu-isu yang terkait dengan kebangsaan. Mereka menghadirkan argumentasi yang kuat berdasarkan kutub al-mu’tabarah (kitab-kitab rujukan yang terpercaya), sekaligus mengulas dalil-dalil yang sering digunakan oleh para penggugat, untuk mengungkap fakta sebenarnya.
Contoh lain dapat kita temukan dalam kegiatan diskusi rutin di beberapa pesantren yang dikenal dengan istilah bahsul masail. Dalam forum itu, para santri dan kiai membahas dan mengkaji berbagai permasalahan umat, termasuk problematika negara bangsa, untuk mencari jalan tengah yang solutif. Artinya, spirit nasionalisme santri dari masa pra-kemerdekaan hingga saat ini tidak dapat lagi diragukan. Mereka terus berkontribusi menjaga keutuhan bangsa dan membangun harmoni di tengah kebhinekaan Indonesia.