29.2 C
Jakarta
Array

Nasionalisme: Racun Berlumur Madu?

Artikel Trending

Nasionalisme: Racun Berlumur Madu?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Takfiri, sebagai istilah kerap terdengar di Indonesia. konsep takfiri itu menjadi asal muasal segala sesuatu menjadi rusak. Sikap saling meng-kufur-kan, baik meng-kufur-kan pemikiran dan sistem, bisa menjadi sebuah titik awal negatif tercipta. HTI, sebagai sebuah gerakan politik, tak segan-segan mengatakan bahwa “Nasionalisme Penghalang Ukhuwah Islamiyah” dan “Simpan Nasionalisme di Kantongmu”. Tulisan-tulisan demikian, setidaknya dapat menjustifikasi bahwa konsep nasionalisme bukan ajaran Islam.

Tak heran, syaikh-syaikh HTI seperti Felix Siauw dan Shidiq Al Jawi melalui situs resmi HTI mengatakan bahwa nasionalisme tak lain adalah primordialisme dan fanatisme kebangsaan. Dan nasionalisme bertentangan dengan konsep khilafah dan konsep ukhuwah Islamiyah dalam Islam. Beberapa tulisan yang penulis simpan di laptop, di mana HTI mengatakan bahwa nasionalisme itu bertentangan dengan Islam, yaitu: Nasionalisme Bertentangan dengan Islam, Demokrasi dan Nasionalisme: Kufur dan Beracun dan lain-lain.

Apakah HTI juga menolak Pancasila? Iya. Mari kita cermati, gaya bahasa dari redaksi “Pergerakkan HTI berasaskan Islam dan berdiri di dalam wilayah NKRI yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945”. Artinya, HTI adalah gerakan politik yang berasaskan Islam dan berada di bawah naungan NKRI. Gaya bahasa demikian, bukan berarti HTI setuju Pancasila menjadi ideologi Indonesia. HTI berwujud dan nyata dalam sebuah ruangan, namun HTI hanya menerima Pancasila sebagai “Seperangkat Falsafah”. HTI memang tidak menghina Pancasila secara vulgar, tapi menafikan eksistensinya. Terlebih-lebih, era 1990-an ada selembaran yang beredar dan dikaji dikalangan halaqah-halaqah HTI, berjudul Al-Banshasila Falsafah Kufr laa Tattafiq ma’a Al-Islam tanpa nama (anonim). Karena dia kufur, maka tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Terlepas dari siapa yang menulisnya, keduanya memiliki korelasi dan kesamaan tujuan, yakni Pancasila bukan lahir dari rahim Islam, melainkan godokan manusia yang bisa kapan saja diganti dan dibuang saat kondisi tidak memungkinkan. Karena apa? Bagi HTI, Pancasila not sufficient atau tidak mencukupi untuk mengatur sistem kepemerintahan yang begitu banyak, khususnya di Indonesia. Dan pertanyaan selanjutnya yang muncul juga adalah apakah Pancasila bisa mengatur dunia, di mana HTI berkeinginan menghilang sekat bangsa dan teritorial.

Berbeda dengan NU dan organisasi lainnya. Sejak 1983, saat Pancasila ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi satu-satunya asas bagi seluruh organisasi sosial dan politik dan dituangkan dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1983 tentang Garis-Garis Haluan Besar Haluan Negara (GBHN), maka NU pada tahun 1984—satu tahun setelahnya—menerima Pancasila sebagai asas organisasi pada Mukhtamar ke 27 bulan Desember di Situbondo Jawa Timur.

NU dan HTI bukanlah saudara kembar, mengapa? HTI merupakan Jam’iyyah Siyasah (organisasi politik), sedangkan NU merupakan Jam’iyyah Diniyah (Organisasi Keagamaan). Perbedaan kedua adalah bahwa ulama-ulama NU bertujuan membangun semangat nasionalisme dalam pelabagai kegiatan, ini terbukti dari syair yang didengungkan para santri, dicetus oleh KH. Wahab Hasbullah—ulama yang sering dicatur HTI sebagai inisiator Khilafah—berbunyi: “Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon, Hubbul Wathan minal Iman dst…”

Nabi Muhammad pun saat di Madinah beserta empat sahabatnya yang menjadi kepala negara, membangun konsep nasionalisme agar tumbuh subur. Saat itu, Nabi Muhammad mengganti sistem fanatisme dengan nasionalisme modern. Dalam sirah-sirah, ini bisa kita lihat dari adanya konsep di Madinah yang dibangun berdasarkan konstitusi Piagam Madinah bukan Piagam Khilafah atau disebut Negara Khilafah. Piagam Madinah sebagai kontrak sosial mengajak untuk sama-sama menjaga negaranya jika ada serangan dari luar, tapi tidak boleh membongkar kontrak sosial yang sudah disepakati karena kepentingan dan egoisme kelompok semata.

Tidak saja umat Yahudi dibolehkan melaksanakan agama mereka, melainkan Yahudi dan Muslim harus saling membantu menghadapi pihak luar jika ada serangan. Artinya, Nabi Muhammad ingin mengajarkan sikap kewaspadaan dari sisi internal dan eksternal. Non-Muslim bisa saja berkhianat dan Muslim bisa saja mengubah haluannya. Sama-sama diinstruksikan untuk saling wasapada, namun kewaspadaan itu tidak menjadikan hubungan dalam bidang muamalah stagnan.

Maka saat Shidiq Al Jawi menggunakan kaidah Al-Wasilah ilal Haram Haram adalah tidak tepat. Apakah menjadikan Pancasila sebagai ideologi mampu menghantarkan seseorang kepada kemafsadatan? Dan apakah ulama-ulama Nusantara tidak mengerti kaidah Ushul Fiqh tersebut, sampai-sampai ulama-ulama Nusantara menerima Pancasila, lebih-lebih ulama-ulama NU dan Muhammadiyah yang turut serta membangun NKRI ini. Di sinilah HTI tidak bisa membedakan antara nasionalisme yang diterima ulama-ulama Nusantara dengan nasionalisme di Barat. Nasionalisme yang diadopsi oleh Islam adalah sebuah pemahaman yang memperhatikan kemaslahatan seluruh rakyat tanpa terkecuali. Itulah spirit dari Piagam Madinah.

Kegagalan memahami konsep Nasionalisme itu berawal dari Sayyid Qutb, diteruskan oleh Taqiyuddin Al-Nabhani. Menurut Taqiyuddin Al-Nabhani, “Padahal Islam tidak pernah mengajarkan dan membenarkan paham nasionalisme. Paham nasionalisme sebenarnya berasal dari negara-negara kafir penjajah. Paham ini sengaja dihembuskan kepada Dunia Islam untuk memecah belah kaum muslimin yang sebelumnya bersatu dalam satu ke-khilafahan”. Konsepsi ini melahirkan sebuah paradigma dalam internal HTI, seandainya dalam konsepsi nasionalisme itu salah satu bentuknya adalah melaksanakan upacara bendera merah putih, maka itu tidak apa-apa. Mengapa? Itu merupakan ikrah (paksaan) dan di rukhsoh (ringankan) oleh Islam untuk menurutinya. Demikian pemahaman Shidiq Al Jawi juga saat membahas nasionalisme dan Islam.

Di sini lagi yang membedakan NU dengan HTI. NU, melalui Hadlratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari menekankan bahwa “Agama dan nasionalisme adalah dua kutup yang tidak bersebrangan. Nasionasliem adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan.” Tentunya ini kesimpulan dari membaca Piagam Madinah. Quraish Shihab pun mengamini gagasan ini. Menurutnya, Al-Ummah Al-Wahidah yang termuat dalam Piagam Madinah adalah memberikan pengertian tidak sehaluan saja atau umat Muslim saja, melainkan beragam agama yang memiliki tujuan dan kesamaan visi dalam membangun sebuah negara bangsa.

Karena itulah, konsep saling mengsesatkan, sangat berbahaya berkembang di Indonesia. Nabi Muhammad SAW sudah memperingatkan akan bahaya takfiri ini. “Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah seseorang yang membaca Al-Qur’an, hingga terlihat kebesaran Al-Qur’an pada dirinya. Dia senantiasa membela Islam. Kemudian ia mengubahnya, lantas ia terlepas darinya. Ia mencampakkan Al-Qur’an dan pergi menemui tetangganya dengan membawa pedang dan menuduhnya syirik. Saya (Hudzaifah) bertanya: Wahai Nabi Allah, siapakah di antara keduanya yang lebih berhak atas kesyirikan, yang dituduh ataukah yang menuduh?. Nabi menjawab: yang menuduh” (HR. Bazzar).

Mencintai tanah air, sejatinya adalah pemahaman murni Islam. Dorongan itu sudah sejak manusia lahir. Imam Ghazali mengatakan, “Akan tetapi di dalam diri manusia terdapat dorongan untuk melakukan hal-hal baik. Tegaknya dunia ini disebabkan adanya dorongan-dorongan positif yang sudah ada dalam diri manusia. Dan tegaknya agama dan sistemnya pasti bergantung kepada tegaknya perkara-perkara duniawi.” Maskud yang penulis tangkap dari pemahaman Imam Ghazali ini ada pada permasalahan tabiat. Tabiat seseorang untuk mencintai tanah air yang dibalut oleh konsep “loyalitas”. Maka tak berkeberatan, jika penulis mengutip syair (lupa siapa namanya. Hehe), “Jika kamu ingin mengenal seseorang maka lihatlah bagaimana kecintaannya kepada tanah airnya”.

Begitu pula, jika Anda ingin melihat HTI beserta derivasinya, seperti Gema Pembebasan, maka lihatnya bagaimana mereka memandang NKRI, UUD 1945, Pancasila dan bumi pertiwi ini. Dan yang saya sebut terakhir akan hilang dengan sendirinya tatkala Khilafah tegak. Hilang itu semua, tidak harus menanti pernyataan tegas yang ada kata “hilang” dalam tulisan-tulisan resmi kader HT dan HTI. Nasionalisme Islam, bukanlah racun yang berlumur madu, tapi madu asli khas Indonesia. Justru sebaliknya, bisa jadi, Khilafah adalah racun yang berlumur madu. Dibalut dalam balutan putih, tapi isinya hitam pekat yang dipenuhi oleh konsepsi politik kelompok.  Wallahu a’lam bi Al-Shawab []

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru