32.9 C
Jakarta

Nasionalisme Muhammadiyah Aisyiyah

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuNasionalisme Muhammadiyah Aisyiyah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Covering Aisyiyah, Penulis: Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, Penerbit: IRCiSoD, Yogyakarta, Tebal: 256 halaman, Terbit: November 2020, ISBN: 978-623-6699-10-2, Peresensi: Al Mustofa.

Sebelum Indonesia menjadi identitas kebangsaan kita, masyarakat Hindia Belanda masih kesulitan untuk bergerak bersama merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Mereka memang telah mengenal organisasi, perkumpulan atau serikat, tetapi masih terbatas pada golongan tertentu; misal organisasi priyayi, kesukuan dan ras.

Namun, berangkat dari dinamika inilah, mulai muncul pemikiran-pemikiran persatuan. Bahwa masyarakat Hindia Belanda mesti merebut kemerdekaannya sendiri, dan itu hanya bisa dilakukan dengan cara menyatukan kekuatan dan tekad.

Adalah KH. Ahmad Dahlan, satu dari sekian tokoh agama-nasional yang berpikir bahwa persatuan umat mutlak diperlukan, demi mewujudkan kehidupan yang berkemajuan. Kiai yang lahir di Kauman ini menggali konsep persatuan umat dari khazanah Islam dan rekam jejak rasul-rasul terdahulu.

Dalam pidatonya, “Tali Pengikat Hidup Manusia”, KH. Ahmad Dahlan mengatakan, “sejak rasul-rasul, sahabat-sahabatnya dan pemimpin kemajuan Islam pada zaman dahulu hingga sekarang, sudah sementara lama pemimpin-pemimpin itu bekerja. Mereka itu orang yang ternama, sebagian sudah mendapat pengajaran di sekolah tinggi. Walau begitu, belum dapat mereka bersatu hati…. Saya sangat berhasrat hati meminta agar pemimpin itu bersama-sama mempersatuhatikan semua manusia.” (halaman 138)

Baik judul maupun isi pidato KH. Ahmad Dahlan, secara tegas menyuratkan semangat persatuan sesama manusia. KH. Ahmad Dahlan memiliki kata “manusia”, alih-alih “muslim” dalam judul pidatonya. Pun, yang dia harapkan juga tidak sebatas persatuan umat Islam, melainkan “mempersatuhatikan semua manusia”. Maka lahirlah Muhammadiyah, organisasi sosial-keagamaan yang melalui pemberdayaan umat menggunakan jalur pendidikan dan dakwah menjadi modal dasar pembentukan generasi baru yang sadar nasib dan masa depan bumiputra.

Genealogi persatuan bangsa juga bisa kita telusuri dari terbitan Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah. Tampak pada dokumen Soewara Moehammadijah nomor 1 tahun 1922, yang memuat sebuah artikel berjudul “Kemardikan” (kemerdekaan). Artikel yang ditulis dengan bahasa Jawa-Melayu ini mengulas makna “kebebasan manusia”.

Gagasan ini belum mengisyaratkan arti kemerdekaan bagi sebuah bangsa, melainkan tiap individu berhak hidup mandiri serta bermartabat, yang telah lama direnggut oleh penjajah. Kendati begitu, gagasan ini cukup efektif untuk memengaruhi kesadaran kolektif kaum bumiputra sebagai kelompok manusia agar dapat hidup merdeka dan bermartabat.

Gagasan persatuan bangsa semakin matang saat Muhammadiyah di bawah pimpinan KH. Ibrahim, adik kandung Nyai Dahlan. Ia bersama Haji Fachrodin mendukung pemikiran kaum muda ketia HB Muhammadiyah bagian Taman Pustaka memutuskan penggunaan istilah “Indonesia” untuk menggantikan nama Hindia-Timur pada halaman sampul majalan Soewara Moehammadijah (SM) tahun 1925. Bahkan, Soemodirdjo, hoofdredacteur SM 1925, menulis artikel dengan judul “Anak Indonesia, Awas”. Kemudian, pada 1927, Soewara ‘Aisjijah sudah terbit menggunakan bahasa Melayu (cikal bakal bahasa Indonesia) secara keseluruhan. (halaman 141)

BACA JUGA  Menyelisik Intoleransi sebagai Titik Tolak Terorisme

Kemudian, ketika KH. Mas Mansur menjabat sebagai president HB Muhammadiyah (1938-1940), Muhammadiyah melakukan langkah-langkah strategis yang cukup mendukung proses pembentukan nasionalisme ke-Indonesiaan. Mas Mansur menentang Ordonasi Guru dan pencatatan perkawinan, Sementara ‘Aisyiyah berperan besar dalam merespons kebijakan pencatatan perkawinan yang dinilai terlalu prosedural dan menyulitkan umat.

Pada tahun 1937, Muhammadiyah mencanangkan program perbaikan ekonomi bagi kaum bumiputra. Melalui kebijakan ini, Muhammadiyah menghendaki agar bangsa Indonesia kuat dan mandiri secara ekonomi, sehingga tidak menguntungkan pemerintahan kolonial yang kejam itu.

Refleksi

Muhammadiyah-Aisyiyah merupakan salah dua organisasi sosial-keagamaan yang mampu bertahan hingga kini. Secara kilas balik, kita melihat betapa perjuangan meraih kemerdekaan bukanlah perkara yang mudah dan tentu membutuhkan waktu yang lama; dan berdarah-darah.

Bahwa perjuangan selalu dimulai dari penyadaran. Sebagaimana yang dilakukan Muhammadiyah melalui artikel “kemardikan”. Bangsa perlu memahami dulu makna kemerdekaan kaitannya dengan kondisi yang tengah dialami pada waktu itu; tuan rumah yang terbelenggu dan tercekik oleh ketamakan penjajah. Kemudian, dari gagasan tersebut lahirlah kebijakan-kebijakan taktis yang dapat mendukung upaya kemerdekaan setiap individu untuk bermartabat -dan kemudian memicu kemerdekaan kolektif bangsa.

Kini, Indonesia telah terlepas dari belenggu penjajahan fisik. Tapi, apakah Indonesia telah lepas sepenuhnya dari penjajahan “halus”, seperti budaya, ekonomi dan politik? Faktanya, masih jauh panggan dari api. Benar bahwa Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia dan hengkang dari tanah air, tetapi mereka telah mewariskan budaya ‘budak’ bagi warga Indonesia.

Tak sedikit warga Indonesia yang masih insecure melihat bule-bule berhidung mancung; merasa diri seakan lebih rendah dari mereka. Tak jauh berbeda, banyak bermunculan wisata-wisata tak beridentitas lokal, karena menampilkan miniatur produk budaya negara lain sebagai daya tariknya -dan selalu banyak pengunjungnya. Seakan-akan, malu menampilkan budaya sendiri.

Karenanya, langkah-langkah penyadaran mesti terus digaungkan, demi mewujudkan bangsa yang mampu berdiri di kaki sendiri. Sehingga, status kemerdekaan kita terus meningkat; tidak hanya merdeka secara lahir, tetapi juga pikir.

Imron Mustofa
Imron Mustofa
Penulis. Alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru