32.1 C
Jakarta
spot_img

Nasionalisme Inklusif: Menggelorakan Patriotisme dan Memberantas Ancaman Ekstremisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifNasionalisme Inklusif: Menggelorakan Patriotisme dan Memberantas Ancaman Ekstremisme
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Nasionalisme, sebagaimana sering kita dengar, adalah pilar utama dalam membangun identitas sebuah bangsa. Di balik semangat merah putih yang bergema, tersimpan rasa cinta tanah air yang seharusnya menjadi kekuatan pemersatu. Namun, perjalanan nasionalisme tidak selalu berjalan mulus. Tidak sedikit yang terjebak dalam pemahaman sempit, yang justru melahirkan ekstremisme. Fenomena ini tidak hanya merusak citra nasionalisme, tetapi juga mengancam kemampuan kita untuk menerima perbedaan secara rasional. Dalam banyak kasus, patriotisme digunakan sebagai kedok untuk kepentingan politik yang merugikan banyak pihak.

Pada hakikatnya, nasionalisme adalah wujud cinta terhadap tanah air yang memotivasi individu untuk berkontribusi dalam pembangunan negara. Ia memberikan identitas, kebanggaan atas warisan budaya, sejarah, serta pencapaian bangsa. Namun, masalah muncul ketika semangat ini bergeser menjadi chauvinisme—pandangan yang menganggap hanya kelompok tertentu yang berhak atas tanah air, sementara kelompok lain dilihat sebagai ancaman. Sikap seperti itu kerap jadi benih ekstremisme nasionalis.

Ekstremisme, dalam konteks nasionalisme, merujuk pada pemikiran atau tindakan radikal yang berusaha menghancurkan tatanan sosial dengan cara kekerasan. Ironisnya, di bawah panji nasionalisme, ekstremisme kerap berkembang secara subjektif. Semangat kebangsaan yang seharusnya menguatkan persatuan justru berubah menjadi kekuatan pemecah-belah.

Sejarah mencatat contoh tragis dari ekstremisme nasionalis. Pada masa Perang Dunia II, nasionalisme Jerman yang dipimpin oleh Adolf Hitler berkembang menjadi ideologi Nazi yang sarat dengan rasisme, xenofobia, dan kekerasan. Nasionalisme yang awalnya didasarkan pada kebanggaan bangsa akhirnya menjadi alat legitimasi untuk melakukan genosida dan perang.

Pergeseran dari nasionalisme yang sehat menuju ekstremisme bukanlah fenomena yang hanya terjadi di luar negeri. Di Indonesia, kita sering menyaksikan bagaimana semangat kebangsaan yang dipupuk secara berlebihan dengan cara yang keliru dapat memicu ketegangan dan kekerasan. Banyak kelompok yang mengklaim diri sebagai pejuang bangsa, namun justru merusak harmoni dan kedamaian di tengah masyarakat. Ketika cinta tanah air berubah menjadi kebencian terhadap mereka yang dianggap “berbeda”, persatuan yang seharusnya diraih malah bergeser menjadi perpecahan.

Ekstremisme nasionalis jelas membahayakan stabilitas sosial, sekaligus memengaruhi rasionalitas dalam pengambilan keputusan. Ketika rasa cinta terhadap negara terdistorsi, keputusan yang diambil lebih sering didasari oleh emosi dan kebencian ketimbang pertimbangan rasional. Kekerasan yang dilakukan atas nama nasionalisme dianggap sah karena dibalut dengan keyakinan bahwa perjuangan mereka adalah demi kebaikan bangsa. Dalam situasi semacam itu, akal sehat mudah terabaikan, dan prinsip-prinsip moral pun kerap dikorbankan demi mengejar apa yang disebut sebagai “kemenangan” bagi negara atau kelompok mereka.

Untuk mencegah nasionalisme jatuh ke dalam ekstremisme, pendidikan memiliki peran yang sangat penting. Pendidikan yang menanamkan nilai keberagaman dan penghormatan terhadap perbedaan adalah kunci untuk membangun kesadaran bahwa cinta tanah air tidak boleh mengabaikan hak-hak pihak lain yang berbeda pandangan atau identitas. Keberagaman adalah fondasi yang memperkuat bangsa, bukan ancaman yang harus dilawan.

Tanpa toleransi, nasionalisme berpotensi berubah menjadi kebencian yang menghancurkan. Sebaliknya, nasionalisme yang dijiwai oleh nilai-nilai inklusivitas dan penghormatan terhadap keberagaman akan menjadi pilar kokoh bagi persatuan dan kemajuan. Pendidikan yang mengajarkan cinta tanah air dengan dasar penghormatan kepada kemanusiaan adalah investasi penting untuk memastikan bahwa semangat kebangsaan kita tidak menyimpang dari jalur yang seharusnya.

BACA JUGA  Melawan Radikalisasi Digital: Tanggung Jawab Kita di Balik Kecanggihan Teknologi

Dalam banyak kasus, kelompok radikal memanfaatkan simbol nasionalisme untuk mencapai tujuan politik atau ideologis mereka. Dengan menyebarkan narasi yang membelah masyarakat menjadi dua kubu, mereka menciptakan dikotomi yang berbahaya: pihak yang mendukung mereka dianggap sebagai “pejuang bangsa,” sedangkan pihak yang menentang mereka dilabeli sebagai pengkhianat atau bahkan musuh negara. Strategi tersebut kerap digunakan untuk membenarkan tindakan kekerasan atau perilaku tidak manusiawi terhadap individu atau kelompok yang dianggap sebagai “lawan.”

Metode seperti itu tidak hanya merusak makna sejati nasionalisme, tetapi juga membingungkan banyak orang yang percaya bahwa cinta tanah air tidak pernah mengajarkan kekerasan. Penyalahgunaan nasionalisme semacam itu menciptakan polarisasi sosial yang mendalam dan sulit disembuhkan. Akibatnya, masyarakat tidak lagi mampu melihat keberagaman sebagai kekuatan, melainkan sebagai ancaman.

Dalam beberapa kasus, agama juga dipadukan dengan nasionalisme untuk membangun ideologi yang lebih eksklusif dan sempit. Ideologi semacam itu mengesampingkan prinsip dasar agama, yaitu hidup berdampingan secara damai dengan sesama manusia. Padahal, setiap agama sejatinya menekankan pentingnya keadilan, toleransi, dan saling menghargai.

Dalam Islam, misalnya, ajaran yang benar justru mengedepankan penghormatan terhadap keberagaman. Hal itu ditegaskan dalam Al-Qur’an: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13). Ayat tersebut mengajarkan bahwa perbedaan bukanlah alasan untuk bermusuhan, melainkan untuk saling mengenal dan memahami.

Ketika agama dipelintir untuk membenarkan ekstremisme nasionalis, yang terjadi bukanlah penguatan nilai spiritual, melainkan distorsi yang bertentangan dengan pesan agama itu sendiri. Oleh karena itu, baik nasionalisme maupun agama harus dimaknai dengan benar, sebagai sarana untuk mempererat persaudaraan, bukan alat untuk menebar kebencian.

Sayangnya, realitas menunjukkan bahwa tidak jarang kelompok tertentu menggunakan agama sebagai alat untuk membenarkan kebijakan dan tindakan ekstrem mereka. Ketika agama dan nasionalisme dipahami dalam kerangka yang sempit, cinta tanah air yang seharusnya bersifat universal berubah menjadi kebencian terhadap kelompok yang dianggap tidak sejalan dengan “nilai-nilai” nasionalis mereka.

Tantangan terbesar kita sebagai bangsa yang majemuk adalah bagaimana menjaga agar semangat nasionalisme tetap relevan dengan perkembangan zaman, tanpa terjerumus dalam ekstremisme yang hanya merusak tatanan sosial. Untuk itu, perlu ada upaya kolektif untuk memperkuat pendidikan yang menanamkan nilai-nilai pluralisme, toleransi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Pendidikan yang inklusif dan berwawasan luas akan membantu masyarakat memahami bahwa keberagaman adalah kekayaan, bukan ancaman.

Tanpa pemahaman yang benar, nasionalisme yang seharusnya menjadi penggerak kemajuan bangsa dapat berubah menjadi ancaman bagi kedamaian sosial. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menginternalisasi nasionalisme yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, bukan hanya sekadar slogan kosong yang mudah diselewengkan.

Pada akhirnya, patriotisme sejati adalah yang mendasarkan cinta tanah air pada inklusivitas, penghargaan terhadap perbedaan, dan komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Nasionalisme tidak boleh menjadi penghalang rasionalitas, melainkan harus menjadi fondasi bagi terciptanya masyarakat yang adil, makmur, dan damai. Dengan semangat tersebut, nasionalisme dapat terus menjadi kekuatan pemersatu yang membawa bangsa menuju masa depan yang lebih baik.

Muhammad Wildan Rifa’i, S. Ag.
Muhammad Wildan Rifa’i, S. Ag.
Penulis dan pengajar asal Jepara. Alumnus sarjana Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IQT) IAIN Kudus, Jawa Tengah.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru