Nasionalisme Ajaran Islam
Cinta tanah air merupakan naluri setiap insan, demikian kurang lebih ungkapan Quraish Shihab. Siapapun orangnya pastilah dirinya tidak akan mampu melupakan tanah kelahiran, meski sudah bertahun-tahun hijrah ke tempat baru yang lebih nyaman. Sebab nama tempat kelahiran akan selalu tetap terbawa dalam data identitas seseorang, di manapun dan sampai kapanpun. Setiap warga negara sejati sudah barang tentu akan mencintai dan menghargai tanah kelahirannya. Sampai kapanpun dia tidak akan rela negara atau kampung halamannya dijajah, ditindas, direbut, dan diobrak-abrik tatanannya oleh orang-orang asing dengan segala kepentingannya maupun anak bangsa yang menjadi ‘tangan panjang’ kekuatan asing. Tidak akan mudah seseorang menerima tanah airnya untuk berubah menjadi wajah orang lain. Dengan segala kemampuan yang dimilikinya mulai tenaga, fikiran, hingga harta akan dikerahkan menghalau segala bentuk neo-kolonialisme.
Cinta tanah air merupakan suatu cinta yang istimewadi hati para ulama. Tidak sedikit ulama baik dalam maupun luar negeri ‘membuntuti’ namanya dengan nama asal daerahnya atau bahkan nama yang dikenal adalah nama daerahnya. Sebut saja mereka yang di dalam negeri seperti Mbah Yai Kholil Bangkalan, Mbah Yai Hasan Mangli Magelang, Mbah Yai Hamid Pasuruan, Habib Sholeh Tanggul, Mbah Priok, Habib Husen Luar Batang dan masih banyak lagi. Sementara untuk ulama mancanegara juga banyak yang nama-nama mereka lebih dikenal dengan menggunakan nama daerah asalnya atau dalam tata bahasa Arab dikenal dengan nisbah (penisbatan nama pada daerah asalnya), semisal al-Nawawi (berasal dari kampung Nawa Syria), al-Suyuthi (dari kampung Asuyuth Mesir), Ibnu Athaillah al-Askandari (dari daerah Iskandar (baca: Alexandria) Mesir dan masih banyak yang lainnya. Nisbah yang dalam budaya Arab hanya menambahi huruf Ya di belakang kata, juga diikuti oleh para ulama Nusantara seperti Syeikh Mahfudz al-Tarmasi (dari Termas Pacitan Jawa Timur), Syeikh Abdusshamad al-Falimbani (asal Palembang Sumatera Selatan), Syeikh Abdurrauf al-Singkili (dari Singkil Aceh) dan lain-lain. Ini merupakan bukti nasionalisme sudah menancap kuat dalam diri para ulama.
Cinta tanah air juga menjadi identitas bagi pesantren di Indonesia. Tidak sedikit nama pesantren yang lebih dikenal dengan nama kampug, desa, kecamatan atau kabupaten dan kotanya. Sebut saja pesantren Lirboyo (Lirboyo merupakan nama desa di kota Kediri), pesantren Tegalrejo (Tegalrejo sebuah kecamatan di Kabupaten Magelang), Pesantren Sidogiri (Sidogiri adalah nama desa di Pasuruan), Pesantren Tebuireng (Tebuireng merupakan nama sebuah pedukuhan di Kabupaten Jombang) dan masih banyak lagi. Ini menjadi sebuah pesan tersirat bahwa pesantren juga menjunjung tinggi nilai-nilai nasionalisme, cinta tanah air.
Memang nama hanyalah sebuah nama. Fungsinya hanya sebagai kulit bukan isi, formalitas bukan subtansi. Namun nama menjadi sebuah indikator jati diri dari yang mempunyai nama, al-Ismu Yadullu ʻalâ al-Musammâ demikian ungkapan Arab yang menyinggung tentang nama. Tidaklah tepat ungkapan yang menyatakan ‘apalah arti sebuah nama’. Sebab setiap nama berasal dari susunan huruf dan kata. Setiap kata pastilah memiliki makna. Boleh jadi nama tersebut bisa menjadi doa dan rasa optimis bagi si empunya nama. Akhirnya sebuah nama merupakan sekeping bagian dari puzzle yang bernama nasionalisme. Barangkali nasionalisme telah lama bersembunyi lewat isyarat sebuah nama. Dan kita semua menutup mata dari isyarat itu semua. [AF/]