27.7 C
Jakarta
spot_img

Nasihat untuk Gus Miftah: Bijak Berkata demi Menjaga Hati Sesama

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanNasihat untuk Gus Miftah: Bijak Berkata demi Menjaga Hati Sesama
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sebagai seorang pendakwah, Gus Miftah memiliki peran penting dalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat. Melalui ceramah-ceramahnya yang inspiratif, Gus Miftah sering kali menarik perhatian banyak kalangan. Namun, dalam sebuah momen yang kontroversial, beliau menggunakan kata-kata yang kasar terhadap seorang penjual es teh. Peristiwa itu mengingatkan kita pada pentingnya menjaga ucapan, terutama bagi seseorang yang menjadi panutan masyarakat.

Al-Quran memberikan pedoman yang jelas tentang pentingnya menjaga lisan. Allah berfirman: “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Al-Isra’: 53). Ayat ini menunjukkan bahwa setiap ucapan kita memiliki dampak, baik dalam mendamaikan maupun memecah belah hubungan antar manusia.

Sebagai seorang dai, Gus Miftah seharusnya mencontohkan perilaku Rasulullah SAW yang selalu berhati-hati dalam berbicara. Nabi bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menegaskan bahwa ucapan seorang Muslim harus mencerminkan keimanan dan tanggung jawab, terlebih bagi seorang pendakwah.

Perkataan kasar atau kotor, meskipun dimaksudkan untuk menyampaikan kritik, dapat melukai hati orang lain. Sebagai pendakwah yang dikenal luas, Gus Miftah memikul tanggung jawab moral untuk menjaga perasaan setiap individu. Al-Quran mengingatkan kita agar tidak mencela orang lain: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka…” (QS. Al-Hujurat: 11). Perkataan yang mencela itu melukai hati dan menurunkan martabat diri.

Dalam konteks dakwah, Rasulullah SAW adalah teladan terbaik dalam berinteraksi dengan masyarakat, termasuk mereka yang mungkin berbuat salah. Beliau menggunakan pendekatan kasih sayang dan kelembutan. Sebuah riwayat menunjukkan bahwa ketika seorang Arab Badui buang air kecil di masjid, para sahabat marah, tetapi Rasulullah malah memintanya diberi pengertian dengan penuh kelembutan. Peristiwa itu menunjukkan bahwa kelembutan lebih efektif daripada kekasaran dalam menyampaikan kebenaran.

Kejadian tersebut juga menjadi refleksi bahwa lisan merupakan cerminan hati. Rasulullah bersabda: “Tidaklah lurus iman seorang hamba hingga lurus hatinya, dan tidaklah lurus hatinya hingga lurus lisannya.” (HR. Ahmad). Sebagai seorang Muslim, menjaga lisan adalah salah satu tanda keimanan yang sempurna.

BACA JUGA  Pesan Nabi yang Mengguncang Dunia: Solusi Ampuh Melawan Kekerasan dan Terorisme!

Gus Miftah perlu mengingat bahwa setiap kata-kata yang diucapkan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Allah berfirman: “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18). Firman ini menegaskan bahwa setiap perkataan memiliki konsekuensi, baik di dunia maupun akhirat.

Sebagai pendakwah, Gus Miftah memiliki peran strategis dalam menciptakan harmoni sosial. Kata-kata yang kasar dapat memicu perpecahan dan menimbulkan antipati, terutama di kalangan masyarakat awam yang melihat pendakwah sebagai teladan. Pendekatan dengan kata-kata yang santun akan lebih membangun kepercayaan dan cinta.

Selain itu, Rasulullah mengajarkan bahwa Muslim yang baik adalah yang menjaga tangan dan lisannya dari menyakiti orang lain. Dalam hadis disebutkan: “Seorang Muslim adalah orang yang orang lain selamat dari kejahatan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari). Hadis ini relevan untuk direnungkan oleh setiap pendakwah, agar fokus pada isi dakwah serta cara penyampaiannya.

Bagi Gus Miftah, kejadian kemarin adalah momentum untuk introspeksi diri. Tidak ada manusia yang sempurna, dan setiap kesalahan adalah peluang untuk belajar dan memperbaiki diri. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertobat.” (HR. Tirmidzi).

Sebagai langkah konkret, Gus Miftah bisa menyampaikan permintaan maaf kepada pihak yang merasa tersakiti. Meminta maaf bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk kerendahan hati dan tanggung jawab. Hal itu juga akan menjadi contoh yang baik bagi umat Islam dalam menghadapi kesalahan. Bahkan, Gus Miftah dapat mengajak masyarakat untuk belajar bersama tentang adab berbicara dan pentingnya menjaga lisan, juga menjadi sarana edukasi dan dakwah yang lebih luas.

Arkian, nasihat ini ditujukan dengan niat tulus untuk kebaikan bersama. Sebagaimana firman Allah: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125). Dakwah dengan hikmah dan perkataan yang baik akan lebih mengena di hati umat. Semoga Gus Miftah dan kita semua dapat terus belajar untuk menjaga lisan, sehingga menjadi pribadi yang lebih baik untuk Islam dan Indonesia tercinta. [] Shallallahu ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru