27.9 C
Jakarta

Kelompok Radikal akan Senasib dengan HTI

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanKelompok Radikal akan Senasib dengan HTI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sebelum melanjutkan tulisan ini, saya pengin berucap: “Apa kabar, Front Pembela Islam (FPI)?” Masihkah FPI bertahan di tengah mayoritas masyarakat Nahdlatul Ulama (NU) Indonesia?

Pertanyaan tersebut sebenarnya sikap pesimis saya terhadap masa depan FPI di Indonesia setalah berbulan-bulan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab tidak kunjung kembali ke Indonesia. Keresahan dan kegersangan jiwa pengikutnya hari demi hari, bahkan waktu demi waktu semakin terasa. Mereka sadar, FPI berada di tengah gelombang besar yang dapat melumat dan menenggelamkannya.

Sebelum dilanjutkan kenapa FPI sebaiknya ditenggelamkan di Indonesia, alangkah lebih baiknya saya kutip surah al-Isra’ ayat 81: Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.” Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.

Ayat tersebut menjelaskan tentang kebenaran dan kebatilan. Sesuatu yang benar akan tetap bertahan dan langgeng, sementara sesuatu yang batil akan hancur dan sirna. Kebenaran, sebut asy-Syinqithi, adalah sesuatu yang terekam dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad. Sementara, kebatilan itu adalah paganisme dan menentang nilai-nilai agama Islam.

Pertanyaannya, “Benarkah Front Pembela Islam berada dalam lingkaran kebenaran, sehingga ia dapat bertahan? Atau malah ia merasa benar dalam kesesatan, sehingga pada akhirnya sirna tiada tersisa?” Sebelum dijawab, saya ingin menghadirkan dua teori dasar moral (moral foundation theory) yang pernah disampaikan Neng Alisa Wahid, putri Gus Dur. Dua teori ini meliputi sikap peduli dan acuh tak acuh (caring and harming) dan kewenangan dan perlawanan (authority and subversion).

Front Pembela Islam (FPI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyyah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan beberapa kelompok yang lain memiliki dua pendekatan tersebut. Namun, masing-masing memiliki cara pandang yang berbeda. Soal Caring and Harming, garis besarnya adalah bahwa tindakan peduli terhadap orang lain (care for others) adalah sikap yang terpuji, sebaliknya tindakan acuh tak acuh terhadap orang lain (harming for others) adalah sikap yang tercela. Begitu pula, garis besar teori Authority and Subversion adalah bahwa taat kepada pemimpin adalah tindakan sikap terpuji, sebaliknya melawan, merendahkan, bahkan menghina pemimpin adalah sikap tercela.

Secara garis besar tersebut, Front Pembela Islam atau FPI sering menabrak garis pembatas. FPI melihat bahwa kepedulian terhadap muslim diimplementasikan dengan cara membenci atau menutup rapat kehadiran non-muslim di tengah-tengah masyarakat muslim. Karena itu, masyarakat Nahdlatul Ulama yang membuka kehadiran non-muslim di Indonesia disebut sebagai kelompok yang membela orang kafir, padahal orang kafir itu dianggap oleh FPI sebagai orang yang sesat dan dapat menyesatkan.

BACA JUGA  Mengulik Model Lebaran Ketupat di Madura

Sikap Front Pembela Islam tersebut sesungguhnya bertentangan dengan cita-cita negara Indonesia, yaitu persatuan. Cita-cita ini diwujudkan dengan merangkul perbedaan tanpa membedakan status sosial seseorang kerena agama yang dipeluknya. Benar kata Gus Dur yang sering disampaikan di berbagai forum diskusi: Tidak penting apa agama dan sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah tanya apa agamamu.

Bentuk harming Front Pembela Islam terhadap sebagian orang non-muslim, salah satunya, menolak pencalonan Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta baru-baru ini. Penolakan ini tidak didasarkan pada alasan yang rasional. Mereka menolak Ahok, karena ia tidak beragama Islam, sehingga dikhawatirkan masa depan Islam akan hancur kalau dipimpin oleh pemimpin non-muslim. Penggiringan narasi yang apik dan mulus sedikit banyak mencuci otak masyarakat untuk menghadirkan kebencian terhadap saudara sendiri yang berbeda agama. Naudzu billah.

Sedangkan, sikap Front Pembela Islam yang lain yang menabrak garis besar tersebut adalah pelecehan dan penghinaan terhadap kepemimpinan Jokowi. Sikap amoral ini disampaikan di pelbagai forum diskusi yang diadakan oleh mereka sendiri. Lebih dari itu, mereka menyulut api permusuhan terhadap pemimpin saat maraknya demonstrasi di Monas. Orang yang hadir di sana sedikit banyak dibodohi dan dicuci otaknya, sehingga tidak sadar bahwa membenci pemimpin adalah sikap yang tidak baik. Seharusnya, kesalahan pemimpin bukan dilecehkan atau dibenci, tapi diperbaiki dengan cara penyampaian yang santun dan sikap yang lemah lembut. Sikap santun dan tutur kata lemah lembut adalah cara Nabi Muhammad memperbaiki sahabatnya yang salah.

Thus, sikap Front Pembela Islam sesungguhnya bertentangan dengan spirit negara Indonesia yang merangkul perbedaan dan menegakkan sikap moderat. Bila ditanya tentang masa depan FPI, tentu di tengah kebatilan (amoral, tercela) yang diperbuatnya FPI akan memiliki nasib yang sama dengan HTI: sama-sama dibubarkan pada akhirnya.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru