Harakatuna.com – Tulisan Arini Retnaningsih pada kolom ‘Fokus dan Analisis’ di laman website Muslimahnews.net tentang tingginya angka perceraian pasangan muda, menyodorkan sistem pemerintahan Islam sebagai solusi atas segala persoalan konflik pernikahan yang terjadi di Indonesia. Melalui tulisannya, Arini berargumen bahwa, kapitalisme, liberalisme dan feminisme adalah akar persoalan dari tingginya kasus perceraian di Indonesia.
Padahal, jika diuraikan begitu panjang, ada banyak sekali faktor tingginya angka perceraian di Indonesia, mulai dari kemiskinan, KDRT, hingga perselingkuhan. Menggugat khilafah sebagai solusi atas persoalan di atas, akan ditertawakan oleh para aktivis khilafah. Meski begitu, ada celah yang sangat terlihat apabila khilafah diterapkan di Indonesia untuk memecahkan persoalan perceraian.
Arini, melalui tulisannya, memaparkan bahwa sistem khilafah akan melindungi bangunan pernikahan yang dijalankan oleh masyarakat. Hal ini karena, laki-laki memiliki kewajiban untuk memberi nafkah, dan negara khilafah menyediakan pekerjaan untuk rakyatnya sehingga perceraian dengan alasan ekonomi tidak akan terjadi.
“Aturan Islam mengenalkan kita pada kewajiban nafkah. Suami wajib hukumnya memberi nafkah pada anak dan istri. Apabila suami ingkar, pengadilan berhak memaksa atau menyita harta suami untuk menafkahi keluarganya secara layak. Jika suami tidak mampu karena sakit atau cacat, kewajiban tersebut berpindah kepada para wali dari jalur suami. Jika mereka semua miskin, negara wajib mengeluarkan nafkah dari baitulmal. Negara pun wajib menyediakan lapangan kerja yang luas agar para suami dapat bekerja dan memberikan nafkah untuk keluarganya. Dalam Islam, semua sumber daya alam strategis adalah milik umat yang dikelola negara. Bukan hal mustahil negara menciptakan lapangan kerja yang luas dan menjamin kebutuhan individu warga negara dan keluarganya. Dengan adanya jaminan nafkah dari suami, gugat cerai dari pihak istri karena suami tidak bertanggung jawab memberi nafkah atau tidak mampu pun dapat dihindari.”
Uraian di atas, setidaknya bisa dipahami bahwa, konsep khilafah yang ditawarkan oleh penulis masih belum jelas dan sebuah euforia semu. Mengapa demikian? Di Indonesia, struktur/sistem masyarakat begitu kompleks. Salah satu kelompok perempuan yang harus diperhatikan adalah keberadaan single mother/orang tua tunggal perempuan. Saat ini di Indonesia, berdasarkan laporan Tempo.co pada tahun 2023, ada sekitar 12,73% kepala rumah tangga perempuan Indonesia. Dengan jumlah yang begitu besar, bagaimana sistem khilafah mengaturnya?
Tidak hanya itu, kewajiban bekerja tidak memandang jenis kelamin antara laki-laki ataupun perempuan. Keduanya dicatat perbuatan sebagai amal baik dan mendapatkan balasan yang setara (QS. Ali Imran (3): 195). Artinya, skill/kemampuan untuk mengasah kompetensi yang sesuai dengan bidangnya, salah satunya dengan bekerja, memiliki makna mensyukuri anugerah yang diberikan oleh Allah SWT.
Oleh karena itu, para perempuan yang bekerja untuk menghidupi keluarganya, karena menjadi orang tua tunggal, adalah sebuah apresiasi besar baginya karena sudah menunaikan tanggung jawab sebagai orang tua, untuk memenuhi hak anak dalam persoalan makan, kesehatan, hingga pendidikan.
Dalam sistem khilafah yang dipaparkan oleh Arini, melalui tulisannya, single mother tidak mendapatkan ruang dan kesempatan serta apresiasi dalam bekerja. Single mother justru tidak mendapatkan perlindungan di bawah naungan pemerintah khilafah.
Khilafah adalah konsep negara yang imajinatif. Padahal, sudah saatnya ajaran agama harus menyentuh kehidupan realitas. Begitu banyak perjuangan para orang tua tunggal perempuan sebagai pencari nafkah utama, bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Terlepas dari kritik tentang feminisme yang dipaparkan oleh aktivis khilafah dalam mempersoalkan perempuan yang bekerja, kehidupan manusia dihadapkan oleh realitas-realitas yang bertabrakan dengan konsep ideal.
Sistem khilafah yang dipaparkan oleh penulis, justru tidak mengapresiasi perjuangan orang tua tunggal perempuan. Padahal, jika disuruh memilih kehidupan yang ideal, tidak ada seseorang yang ingin hidup susah, atau berjuang sebagai orang tua tunggal. Namun, realitas kehidupan berkata lain.
Oleh karena itu, sistem pemerintahan khilafah bukanlah solusi dari segala persoalan kehidupan yang terjadi, termasuk urusan keluarga, hingga masalah perceraian. Aktivis khilafah yang masih eksis sampai hari ini, masih terbelenggu dalam mimpi yakni memperjuangkan konsep negara yang imajinatif yakni khilafah. Wallahu A’lam.