27.8 C
Jakarta

Narasi ‘Rezim Zalim’ oleh Kelompok Radikal: Mitos Atau Fakta? Ini Jawabannya

Artikel Trending

Milenial IslamNarasi ‘Rezim Zalim’ oleh Kelompok Radikal: Mitos Atau Fakta? Ini Jawabannya
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Di tengah hingar-bingar demokrasi hari-hari ini, ada satu narasi yang terus bergema di balik podium retorika politik: narasi ‘rezim zalim’. Saya tak bisa mengabaikan betapa seringnya narasi itu muncul, diulang, dan digaungkan kelompok tertentu yang, secara terang-terangan atau terselubung, memanfaatkan celah demokrasi untuk mendelegitimasi pemerintah yang sah. Jadi, narasi tersebut sekadar mitos atau justru fakta? Ini menarik.

Secara historis, di masa Utsman bin Affan, tuduhan nepotisme menjadi bara yang membakar keruntuhannya. Utsman dibunuh, bukan semata karena kesalahan kebijakannya, tetapi lebih karena intrik yang dimainkan rival politik yang haus kekuasaan. Lalu datang masa Ali bin Abi Thalib, yang dikenal sebagai pemimpin adil dan bijak. Tapi Ali pun tak luput dari tuduhan zalim setelah arbitrase dengan Muawiyah. Khawarij pun lahir bawa narasi ‘kezaliman’.

Ironi untuk diakui, namun pola semacam itu memang terus berulang. Ketika saya melihat konteks Indonesia, bau agama tak pernah benar-benar hilang dari percaturan politik. Masyarakat Indonesia kerap terjebak romantisasi masa lalu, memimpikan sosok pemimpin yang adil, tegas, dan islami: pemimpin ideal yang, dalam benak segelintir orang, mampu membawa kejayaan seperti masa keemasan Islam.

Namun, ada yang terlupakan: raja-raja Islam pun dahulu sebenarnya tak selalu adil. Perebutan kekuasaan di antara keluarga sendiri, bahkan pertumpahan darah sesama kerabat, bukanlah hal asing. Tapi anehnya, kelompok radikal memilih mengubur sisi kelam itu dan hanya merayakan kejayaannya, untuk mengelabui masyarakat har ini ihwal pemerintahan ideal. Fakta ditutup-tutupi, sementara yang mitos terus didengungkan.

Hari ini, narasi ‘rezim zalim’ kembali mengemuka sebagai kritik dan senjata untuk menggoyang pemerintahan. Kelompok radikal HTI, dalam hal ini, jadi aktor utama yang memproduksi narasi semacam itu. Saya yakin sekali, narasi mereka tidak berdiri di atas kajian teoretis atau analisis kebijakan. Tidak. Mereka bernarasi secara tuduhan atau mentok-mentoknya spekulasi belaka dengan satu hasrat: pokoknya turunkan penguasa!

Main Narasi Fitnah di Era Post-Truth

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan penilaian seseorang tentang ‘rezim zalim’ atau tidak. Masing-masing punya preferensinya sendiri. Namun, ketika narasinya merupakan fitnah, maka konotasinya sudah lain. Hari ini, jarak antara mitos dan fakta hanya soal siapa yang paling masif bernarasi, artinya di era post-truth narasi ‘rezim zalim’ oleh kelompok radikal bisa berujung fatal jika tak segera ditangani.

Faktanya, narasi radikal bertujuan menghancurkan, tak ada tujuan lainnya. Saya sering bertanya-tanya, mengapa kita mudah terprovokasi narasi mereka? Apakah karena kurangnya literasi politik? Atau karena kita memang selalu mencari kambing hitam atas ketidakpuasan hidup dan kelompok radikal menyediakannya untuk kita? Post-truth memantik disrupsi informasi: mitos ‘narasi zalim’ pun tampak bak fakta di mata publik.

Fitnah yang dimainkan kelompok radikal memanfaatkan kekecewaan masyarakat. Dan ini adalah rahasia umum yang masih kerap diabaikan. Tentu, saya tidak mengatakan pemerintah Indonesia sempurna. Masih butuh perbaikan sana-sini, terutama ihwal penanganan korupsi yang tidak tegas dan cenderung main-main. Tapi mengkritik kebijakan dengan menyerang personal bukanlah jalan keluar. Jadi, apa manfaatnya? Tidak ada.

BACA JUGA  Menyelamatkan Yogyakarta dari Cengkeraman HTI dan Propaganda Khilafah Palsu

Sebagai bangsa, kita harus lebih cerdas membaca situasi. Terlebih di era post-truth seperti sekarang. Jangan mudah termakan narasi yang menjual emosi tanpa solusi. Semua laik percaya, Indonesia adalah negara besar yang berdiri di atas demokrasi dan kedaulatan. Demokrasi membutuhkan kedewasaan, dan itu berarti masyarakatnya perlu mampu membedakan kritik yang membangun dari fitnah yang merusak.

Memang, narasi ‘rezim zalim’ akan terus ada selama oposisi ada, baik oposisi politik maupun oposisi ideologis. Jika konteksnya adalah oposisi politik, maka zalim yang dimaksud biasanya berkenaan dengan kebijakan yang tidak pro-rakyat. Dalam konteks itu, masyarakat boleh mendukung jika benar. Firaun-Firaun masa kini jangan dikasih ruang, apalagi jika mengutak-atik konstitusi, suka membohongi rakyat, dan kezaliman-kezaliman lainnya.

Namun demikian, waspadalah dengan oposisi ideologi, yakni kaum radikal yang mengkritik murni karena ingin mengganti sistem pemerintahan—alih-alih memperbaikinya. Oposisi ideologis inilah biang kerok percekcokan masyarakat, utamanya di media sosial. Sebab, mereka kerap sekali mengglorifikasi suatu fitnah dan menjadikan post-truth sebagai strategi. Narasi ‘rezim zalim’ terus-menerus dimainkan, maka bisa apa selain waspada?

Semua Demi Bangsa, Bukan?

Rezim yang sah, meski masih bergelimang kekurangan, punya tanggung jawab besar memastikan keberlanjutan bangsa. Setiap kebijakan yang diambil—betapa pun kontroversialnya—didasarkan pada pertimbangan kompleks, dengan tujuan untuk menjawab tantangan nasional yang tak sederhana. Misalnya, reformasi ekonomi yang berat, atau bahkan upaya menjaga stabilitas politik di tengah kesemrawutan.

Namun, kelompok radikal mengabaikan fakta tersebut. Bagi mereka, label ‘rezim zalim’ adalah alat efektif untuk menarik simpati masyarakat. Rezim bahkan digambarkan sebagai musuh rakyat, bukan pelayan. Strategi tersebut  berhasil karena masyarakat selalu terjebak emosi yang dipicu isu-isu sensitif. Jadi jelas, berdasarkan uraian sebelumnya, narasi ‘rezim zalim’ dibangun di atas landasan informasi yang manipulatif.

Ketika narasi radikal semakin membanjiri ruang publik, tanggung jawab warga negara adalah menjaga akal sehat. Ini paling utama. Literasi politik sifatnya urgen demi mencegah masyarakat terjebak jebakan propaganda. Hanya masyarakat yang melek politiklah yang mampu membedakan kritik dari hasutan, yang mampu memilah antara mitos atau fakta. Bersamaan, negara ini butuh persatuan, bukan perseteruan sesama.

Pada akhirnya, pemerintah dan masyarakat adalah mitra dalam membangun bangsa. Pemerintah yang bijak akan mendengarkan suara rakyatnya, dan rakyat yang cerdas akan menyuarakan pendapatnya secara bertanggung jawab. Jika kedua belah pihak bisa memainkan perannya masing-masing, maka narasi ‘rezim zalim’, baik sebagai kritik maupun propaganda, tak akan menemukan tempatnya. Lawan mitos narasi ‘rezim zalim’!

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru