28.9 C
Jakarta

Narasi Radikal KM50 di Akar Rumput, Haruskah Ditakutkan?

Artikel Trending

Milenial IslamNarasi Radikal KM50 di Akar Rumput, Haruskah Ditakutkan?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Saya tidak terlalu kaget ketika dua pekan lalu, saat baru sampai di rumah untuk mudik lebaran dari Jakarta, ada baliho persis di pintu masuk menuju kampung, berisi peringatan #TuntaskanKasusKM50. Baliho tersebut berisi foto Habib Rizieq Shihab, Imam Besar FPI. Di bawahnya ada foto enam laskar FPI yang wafat dalam peristiwa di KM50 Cikampek tahun lalu. Saya tidak heran karena dari dulu FPI di sana punya banyak simpatisan. Pamandangan semacam itu sudah lumrah.

Yang mengherankan adalah mengapa narasi KM50 pasang-surut dan belum menemukan tanda berakhir, bahkan mungkin tidak akan pernah berakhir. Saya kira mustahil jika sekadar diinisiasi kepentingan politik; solidaritas militan semacam itu didorong oleh keyakinan transenden. Beda di Jakarta, beda di pelosok Madura. Di Jakarta, mereka akan dianggap pasukan nasi bungkus. Tetapi di kampung, stigma nasbung tadi tidak relevan. Sepertinya lahir dari hati nurani.

Jadi siapa yang salah, dan bagaimana narasi radikal KM50 di tengah masyarakat awam? Dan yang paling penting, apakah narasi tersebut harus kita takutkan? Bertanya siapa yang salah tentu saja akan mengungkap sisi terang peristiwa, tetapi jawabannya pasti tendensius. Seperti diketahui, kasus KM50 bergulir cukup lama dan masing-masing pihak laskar dan kepolisian mengklaim kebenaran sendiri. Bertanya siapa yang salah artinya harus menyingkap musabab kasus itu sendiri.

Yang jelas, narasi radikal KM50 di kalangan masyarakat awam ibarat bom waktu. Tidak banyak yang menyadari bahwa ia merupakan ancaman, tetapi juga belum diketahui pasti apakah akan berhasil meledak atau terjinakkan suatu nanti. Dampak buruk narasi radikal KM50 itu menyasar pemerintah dan iklim keberagamaan; citra pemerintah jadi sangat buruk dan iklim keberagamaan semakin keruh, eksklusif, frontal, bahkan tak sedikit memantik ekstremitas.

KM50 di Mata Masyarakat Awam

Pagi tadi, tagar #Km50TakAkanTerlupakan trending di Twitter. Pengguna Twitter yang mencuit dengan tagar tersebut bisa dispekulasikan sebagai masyarakat urban yang menjadi simpatisan FPI dan mungkin para aktor di demo kemarin-kemarin. Namun, antara yang trending di Twitter dengan narasi radikal di akar rumput tidak bisa diidentikkan. Glorifikasi Habib Rizieq mungkin sama, tetapi motivasi kemilitanan masyarakat urban jelas berbeda dengan masyarakat awam.

Jadi misalkan ada yang bilang, melihat trending di Twitter, “Biarkan saja nanti hilang sendiri,” itu artinya orang tersebut berpikiran dangkal. Sebagaimana saya singgung di atas, narasi radikal KM50 di akar rumut tidak didorong oleh kepentingan pragmatis, melainkan taruhan Islam vs musuh-musuhnya. Komunisme dan liberalisme adalah musuh utama, dan anti-islamofobia menjadi alasan. Di mata mereka, Islam yang tertindas butuh jasa penyelematan dari militansi mereka.

BACA JUGA  Kemajuan Bangsa-Negara Tidak Lahir dari Sistem Khilafah

Di mata masyarakat awam, peristiwa KM50 tidaklah monolitik. Ia merupakan satu dari serangkaian kekejaman rezim terhadap umat Islam, paling tidak sejak Jokowi berkuasa di periode pertama. Apalagi setelah FPI dibubarkan, dan apalagi penembakan enam laskar terjadi tak jauh dari pembubaran FPI itu sendiri. Bagi masyarakat awam, semua itu menjadi bukti kompleks bahwa rezim kali ini sangat membenci Islam, sama sekali tak ada kaitannya dengan politik.

Saya, untuk membuktikan itu, bertanya kepada para mbah-mbah yang suka nongkrong di warung kopi: bagaimana pendapat mereka tentang baliho, dan bagaimana mereka memandang penembakan enam laskar FPI. Mereka dapat diklasifikasi menjadi dua. Pertama, mengaku tak banyak tahu selain mengikuti instruksi seorang kiai. Kedua, yakin seyakin-yakinnya bahwa FPI ada di pihak yang benar. Persamaannya, mereka semua tidak suka rezim. Ada yang hanya sedikit. Ada yang sangat membenci.

Residu Islam Politik

Pertanyaan terakhir adalah, haruskah narasi KM50 ditakuti? Masyarakat urban memiliki motivasinya tersendiri yang cenderung pragmatis, begitu pula dengan masyarakat awam di akar rumput. Kajian para cendekiawan memfokuskan fenomena ini sebagai resurjensi Islam politik, seperti FPI, HTI, dan sejenisnya. Sementara masyarakat umum, terutama di pelosok desa, menganggapnya sebagai respons atas islamofobia yang dilakukan rezim; demi Islam bukan kekuasaan.

Jadi ada perbedaan pandangan antara di tataran riil dan cita ideal perjuangan atas nama Islam. Yang idealnya demi Islam, ternyata realitas di pusat bertujuan kekuasaan. Masyarakat Jakarta melakukan semua itu dalam konteks cita-cita politik, sementra masyarakat awam melakukannya dengan hati yang tulus untuk Islam. Karena fakta ini pulalah massa dari daerah mudah digerakkan, tetapi ketika sampai di pusat malah hambar; mereka tak punya dasar yang kuat kecuali kepentingan politik kekuasaan.

Dengan demikian, narasi radikal KM50 di akar rumput tidak perlu dicemaskan secara berlebihan, apalagi sampai menjelma sebagai represi rezim atas umat Islam. Pada saat yang sama, harus ada edukasi kepada masyarakat secara masif, melalui media sosial maupun media massa, tentang masalah yang sesungguhnya. Misalnya Slamet Maarif dan Novel Bamukmin, keduanya tidak lebih dari oportunis yang memanfaatkan ketulusan umat Islam demi kepentingan politisnya.

Untuk mengistilahkan ini, saya menyebutnya ‘residu Islam politik’. Dalam konteks keniscayaan perjuangan politik islami, segelintir pihak memanipulasi keadaan ke arah pemberontakan, konfrontasi, dan ekstremitas atas nama Islam. Ini yang masyarakat akar rumput jarang pahami, sehingga mengira seluruh gerakan demo bertujuan untuk Islam. Residu ini membuat mereka jadi oposisi, mengabaikan fakta bahwa Islam mengajarkan kemaslahatan umum dan persatuan bangsa.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru