32.1 C
Jakarta
spot_img

Narasi Ekstrem dalam Kehidupan Sehari-hari: Bagaimana Kita Melawannya?

Artikel Trending

KhazanahPerspektifNarasi Ekstrem dalam Kehidupan Sehari-hari: Bagaimana Kita Melawannya?
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Hidup di era digital ini dapat disamakan dengan menyeberangi sungai yang deras tanpa adanya jembatan. Kita sering terhanyut, kadang menabrak batu, atau bahkan tertelan oleh arus tersebut. Narasi ekstrem menjadi salah satu batu besar di dalam arus itu, tersembunyi di bawah permukaan, siap untuk menjatuhkan kita kapan saja. Ironisnya, banyak di antara kita tidak menyadari bahwa kita sedang tenggelam di dalam pusarannya.

Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan narasi ekstrem? Mungkin ini adalah pertanyaan yang kurang sering kita ajukan. Kita lebih banyak terlibat dalam perdebatan atau mencari siapa yang seharusnya disalahkan. Narasi ekstrem merujuk pada segala hal yang menciptakan jurang pemisah: gagasan yang kaku, sudut pandang yang hanya memandang ‘kami’ dan ‘mereka’, atau pesan yang terus-menerus menghasut kebencian. Ia dapat muncul dari berbagai aspek, seperti agama, politik, bahkan kehidupan sosial yang tampak biasa-biasa saja.

Di negeri ini, narasi ekstrem bukanlah hal baru. Ia seperti jamur yang tumbuh liar di musim hujan: subur dan mengakar. Apa yang menyebabkan narasi ekstrem ini dapat bertahan? Mungkin karena ia menawarkan sesuatu yang kita anggap penting: pembenaran atas rasa takut, kemarahan, atau ketidakpastian. Namun, layaknya gula yang manis tetapi merusak gigi, narasi ekstrem memberikan kenyamanan temporer dengan biaya yang tinggi.

Media Sosial: Ladang Narasi Ekstrem

Satu hal yang sulit untuk dibantah adalah bahwa media sosial berfungsi sebagai rumah bagi narasi ekstrem. Di platform ini, setiap individu memiliki panggungnya sendiri. Satu unggahan dapat menyulut api yang membakar hutan. Algoritma media sosial beroperasi layaknya pedagang keliling yang menawarkan barang dagangan sesuai dengan preferensi pembeli. Apabila kita menyukai narasi yang menyudutkan orang lain, maka itulah yang terus disajikan kepada kita.

Para peneliti komunikasi, seperti Nusyirwan, menjelaskan bahwa algoritma bertindak seperti cermin yang bengkok. Ia tidak mencerminkan kebenaran, melainkan memutarbalikkan informasi agar sesuai dengan apa yang ingin kita lihat. Di sinilah narasi ekstrem menemukan ruangnya. Narasi ini tidak hanya disebarkan oleh kelompok radikal, tetapi juga oleh kita yang merasa bahwa pandangan kita adalah pandangan yang paling benar.

Narasi ekstrem di media sosial sering kali muncul dalam bentuk yang sederhana: meme yang lucu, video pendek yang penuh emosi, atau kutipan yang provokatif. Hal ini membuat kita melupakan untuk berpikir secara kritis. Kita merasa sudah ‘mengetahui’ hanya dengan membaca satu kalimat atau menonton satu menit video. Akibatnya, narasi yang pada awalnya ekstrem menjadi terasa wajar.

Ketegangan yang Tak Pernah Usai

Narasi ekstrem tidak hanya bernaung di dunia maya. Ia juga merembes ke dalam percakapan sehari-hari. Di warung kopi, di ruang kelas, maupun di meja makan keluarga. Kita sering mendengar komentar, seperti, “Mereka memang begitu, makanya jangan percaya,” atau “Hanya kita yang benar, mereka salah.” Komentar-komentar tersebut terdengar sepele, namun sejatinya adalah akar dari masalah yang jauh lebih besar.    

Agama, misalnya, sering kali menjadi lahan subur bagi narasi ekstrem. Beberapa kelompok menegaskan bahwa hanya mereka yang benar, sementara kelompok lain dianggap sesat. Dalam ceramah, khutbah, atau pengajian, narasi semacam ini sering kali muncul dibungkus dengan ayat suci. Bukankah ini adalah ironi? Agama yang seharusnya membawa kedamaian justru menjadi alasan untuk saling menuduh.

Di dalam ranah politik, narasi ekstrem memiliki suara yang lebih mencolok. Pada saat pemilihan umum, istilah seperti “pengkhianat bangsa” atau “musuh rakyat” sering terdengar. Narasi-narasi semacam ini tidak hanya meningkatkan polarisasi, tetapi juga menciptakan ketidakpercayaan yang mendalam di antara sesama warga. Politik, yang seharusnya berfungsi sebagai sarana untuk mengelola perbedaan, malah bertransformasi menjadi alat yang menghancurkan kerukunan.

BACA JUGA  Merawat Pancasila dan Membongkar Kecacatan Ideologi Jihadis

Mengapa Kita Tidak Menyadarinya?

Ketidaksadaran kita terhadap narasi ekstrem bukan disebabkan oleh kebodohan, melainkan karena narasi tersebut hadir dengan cara yang halus. Biasanya, narasi ekstrem tidak muncul dengan wajah yang menakutkan. Sebaliknya, ia menyampaikannya menggunakan bahasa yang menggugah, seolah-olah mempertahankan kebenaran.

Faktor psikologis juga berperan dalam hal ini. Kita cenderung mencari informasi yang mendukung keyakinan yang telah ada, sebuah fenomena yang dikenal dengan istilah confirmation bias. Media sosial memperkuat kecenderungan ini. Kita hanya membaca apa yang ingin kita baca dan mendengarkan apa yang ingin kita dengar. Dunia yang kita huni menjadi sempit, dipenuhi dengan gema suara kita sendiri.

Di samping itu, media massa juga memiliki andil. Banyak media yang lebih berkepentingan pada rating daripada kebenaran. Narasi yang provokatif, emosional, dan kontroversial sering kali diangkat karena lebih menarik perhatian. Akibatnya, batas antara fakta dan opini menjadi kabur.

Dampak: Retak dalam Fondasi Sosial

Narasi ekstrem ibarat rayap yang bersarang di dalam kayu. Ia bekerja secara perlahan, namun dampaknya sangat signifikan. Di tingkat individu, ia menyulitkan kita untuk menerima perbedaan. Kita menjadi lebih curiga, lebih mudah marah, dan lebih kaku dalam berpikir.

Di tingkat masyarakat, narasi ekstrem memperlebar jurang pemisah. Polarisasi menjadi semakin tajam. Berbagai kelompok mengalami kesulitan dalam melakukan dialog. Ketegangan menjadi suatu hal yang biasa. Jika dibiarkan berlanjut, narasi ekstrem dapat menghancurkan nilai-nilai kebhinekaan yang telah menjadi fondasi Indonesia.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Melawan narasi ekstrem memerlukan usaha kolektif. Pertama, kita harus memperkuat literasi media. Masyarakat perlu diajari untuk berpikir kritis, memverifikasi informasi, dan mengenali bias. Jangan hanya percaya semata-mata karena sesuatu tampak meyakinkan.

Kedua, kita perlu menciptakan ruang untuk berdialog. Dialog yang sehat merupakan metode terbaik untuk mengurangi ketegangan. Kita harus belajar untuk mendengarkan, bukan sekadar berbicara. Dalam budaya Jawa, terdapat ungkapan “meneng nderes banyu,” yang bermakna diam untuk merenungkan. Kita perlu lebih banyak berdiam diri untuk mendengarkan, bukan untuk menghakimi.

Ketiga, kita harus senantiasa ingat bahwa perbedaan bukanlah ancaman. Perbedaan adalah warna yang memperkaya kehidupan. Dalam filsafat Nusantara, terdapat konsep “guyub rukun.” Inilah yang harus kita jaga dan lestarikan.

Kesimpulannya, adalah dengan mencari jalan pulang. Narasi ekstrem menjadi tantangan yang signifikan di era ini, tetapi masih ada harapan bagi kita. Dengan kesadaran, keberanian, dan kasih sayang terhadap sesama, kita dapat melawan arus. Bukankah kehidupan akan terasa lebih indah jika kita belajar untuk saling memahami?

Mari kita mengambil pelajaran dari akar tradisi kita sendiri, dari nilai-nilai yang pernah menjadikan kita kuat sebagai suatu bangsa. Jangan biarkan narasi ekstrem mengambil alih. Kita harus berfungsi sebagai penyaring, bukan sekadar pelahap. Kita harus menjadi jembatan, bukan jurang. Kita harus menjadi manusia, bukan sekadar alat propagandis.

Referensi

Nusyirwan. (2021). “Algoritma Media Sosial dan Polarisasi Masyarakat.” Jurnal Komunikasi Indonesia, 12(3), 45-56.

Sundari, W. (2020). Peran Media Sosial dalam Menyebarkan Narasi Ekstrem: Sebuah Pendekatan Psikologis dan Sosial Budaya. Jakarta: Penerbit Nusantara.

Yusuf, R., & Amin, M. (2019). Radikalisasi Pemikiran di Era Digital: Studi Kasus pada Media Sosial di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gunawan, A. (2017). “Kebhinekaan dan Tantangan Narasi Ekstrem.” Jurnal Harmoni Sosial, 7(2), 123-135.

Laila Wafiatul Alfia
Laila Wafiatul Alfia
Penulis kelahiran Jambi, Sumatera. Kini tinggal dan nyantri di Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru