31.7 C
Jakarta

Nalar, dan Peran Strategis Masyarakat Terkait Intoleransi

Artikel Trending

KhazanahNalar, dan Peran Strategis Masyarakat Terkait Intoleransi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Percaya atau tidak, tindakan radikal, intoleransi dan rasis dimulai dari proses berpikir. Proses berpikir masyarakat sangat dipengaruhi oleh pendidikan, buku-buku bacaan, sosio-kultural, kondisi ekonomi bahkan stabilitas politik. Sebab faktor-faktor tersebut perlahan membentuk dan mengonstruk cara berpikir.

Para santri akan cenderung bersikap moderat dan toleran dalam bersikap ketika harus bersinggungan dengan kondisi yang beragam. Karena proses berpikir mereka beranjak pada ajaran-ajaran agama Islam yang moderat dan toleran khas pesantren. Pesantren adalah pusat edukasi santri dan masyarakat utnuk menambah wawasan keagamaan. Sehingga, dengan pengetahuan ini tidak membuat kita berpikir intoleran.

Mereka yang memulai proses berpikir lewat forum-forum instan agama, terutama Islam. Yang cenderung saklek dan tekstualis, kemungkinan akan kaget dan mudah mengkafirkan ketika berhadapan dengan kondisi lingkungan yang beragam, baik sosial-kultural maupun agama. Begitupun seterusnya, buku-buku bacaan, kondisi sosio-kultural, kondisi ekonomi, hingga stabilitas politik turut mempengaruhi proses berpikir dan karakter seseorang.

Di mana setiap manusia berhak berpikir bahkan punya sebuah tatanan pola pikir yang se-ekstrem apapun. Sebagai manusia, kita tidak hidup dalam tatanan sosial yang bebas nilai. Saat kita di sekolah, jalan, pasar, toko, mall, tempat wisata, rumah ibadah, pasti di dalamnya terdapat nilai-nilai sosial yang meliputi. Sepanjang nilai tersebut tidak bertentangan dengan aturan agama, negara dan budaya setempat, why not? Apalagi cuma berpikir saja. Bukankah berpikir terhadap makhluk Allah sangat dianjurkan dalam Islam?

Islam pun sebagai agama yang mayoritas di Indonesia, hendaknya kita menghormati, dan menghargai keberagamaan. Karena itu, toleransi terhadap perbedaan merupakan sikap yang sangat diperlukan untuk menghindari intoleransi dan radikalisme dalam ajaran agama apapun selama masih dalam ruang keramahan hidup kita.

Intoleransi Di Masyarakat

Yang menjadi persoalan saat kita bertindak menyimpang dari norma-norma agama, negara dan sosio-kultural yang telah berberjalan. Lihat orang tahlilan dibilang syirik, orang ke gereja malah di bom, baru saja masuk Islam sudah memiliki perasaan paling benar, orang tak berjilbab dibilang auto jahannam, ulama yang ‘alim berfatwa malah dibuli dan dicaci maki. Di Indonesia, menghakimi orang lain selalu salah. Hal itu  disebabkan oleh sikapnya intoleran.

Tidak selamanya kesalahan dalam proses berpikir harus tercermin dalam kesalahan bertindak. Artinya boleh saja kita berpikir ekstrem, asal jangan sampai dikerjakan bila menyimpang. Setiap kita dapat menilai seseorang berdasarkan perbuatannya. Tidak mungkin kita mengetahui apa isi dari hati dan pikiran seseorang tanpa melihat tidakannya. Sekalipun itu berupa ucapannya. Alangkah baiknya bila kita mampu berpikir sebelum bertindak.

BACA JUGA  Melawan Narasi Ekstremisme Melalui Media Islam Moderat

Perilaku-perilaku radikal, intoleran dan rasis yang dikerjakan oleh kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat tentu tak dapat dibenarkan. Meskipun mereka meyakini hal tersebut sebagai kebenaran dan jalan hidup mereka. Karena kita hidup di dunia tidak mungkin terlepas dengan apa yang disebut dengan tatanan sosial yang di dalamnya selalu punya nilai-nilai yang terus berkembang dinamis.

Peran Strategis Masyarakat

Menurut penulis masyarakat punya peran yang strategis untuk meredam segala bentuk tindakan-tindakan yang menyimpang tersebut. Gus Dur pernah mengatakan saat diwawancarai dalam acara “Kick Andy”, bila masyarakat punya peranan penting untuk megontrol kebebasan informasi. Melihat realitas saat ini kita memasuki era digital, di mana arus informasi mengalir sangat deras hingga menggapai penjuru tanah air. Terlebih di dunia maya.

Terbukti, meskipun sentimen SARA dan berita hoaks digulirkan di media-media sosial dan dunia maya selalu ada kontra narasi yang mengimbangi bahkan membendungnya. Puncaknya ketika Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019. Masyarakat terpecah menjadi dua kelompok yakni cebong dan kampret. Alhamdulillah sampai sekarang kita masih utuh menjadi satu bangsa. Bangsa Indonesia. Masyarakat sudah mulai teliti dan cerdas dalam mengonsumsi informasi.

Bukti riil di dunia nyata yakni tentang protes wali murid terhadap salah satu pembina yang menyanyikan yel-yel “Islam Yes, Kafir No”. Dalam hal ini, masyarakat mempunyai peran untuk mengontrol langsung tindakan-tindakan yang mengindikasikan terhadap hal-hal yang berbau intoleran dan radikal. Karena intoleransi dan radikal itu bisa membuat mozaik kebhinekaan kita terpecah belah.

Belumkah tiba saatnya masyarakat bersinergi penuh dengan ormas Islam yang memperjuangkan Islam moderat ahlussunnah wal jama’ah. Misalkan, Nahdlatul Ulama (NU), atau mungkin juga Muhammadiyah, untuk mengeliminir radikalisme, rasisme dan intoleransi di tengah-tengah masyarakat. Khususnya, pemerintah sebagai otoritas tertinggi dalam negara hadir dengan wajah yang ramah, bertanggung jawab dan berpihak kepada masyarakat.

Ahmad Solkan
Ahmad Solkan
Penulis lepas, Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru