26.7 C
Jakarta

Pentingnya Nalar dan Adab bagi Para Pencari Ilmu Allah

Artikel Trending

Asas-asas IslamAkhlakPentingnya Nalar dan Adab bagi Para Pencari Ilmu Allah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Bagi para penuntut ilmu pengetahuan, ada dua hal yang perlu dipertahatikan: nalar dan adab. Adab secara ideal merupakan tujuan penting dari pendidikan dan pencarian ilmu seorang insan. Dalam Islam, adab identik dengan akhlak yang disertai ilmu dan aktualisasinya di lkancah kehidupan. Dalam pembelajaran adab, lazimnya memiliki 2 cabang komitmen; diantaranya adab terhadap Pencipta dan terhadap sesama makhluk.

Dalam mengkaji adab, normalnya, seorang insan akan menghadapi beberapa problem. Hal ini dikarenakan proses pembelajaran adab yang belum tuntas dikonsumsi; dipahami beberapa kalangan telah tuntas dan cukup. Lebih-lebih merasa paling beradab. Alhasil, mendaging stigma dalam pemikiran bawa dirinya layak mengukur keberadaban selainnya.

Minimnya Kesadaran Penting Memahami

Persoalan ini merupakan gambaran atas minimnya literasi dan berfikir sehat. Selain itu, ketidakpahaman atas keterbatasan pengetahuan seorang manusia seakan dilupakan secara subjektif-preogratif, sedangkan eksistensi keterbatasan pengetahuan dalam diri manusia merupakan suatu hal yang fakta.

Didukung lagi oleh mundurnya budaya memahami pembicaraan orang dan cenderung lebih menambahkan porsi lebih dalam ranah bicara daripada mendengarkan. Lebih darurat, jika dalam pembicaraan (ideal-objektif), cenderung digiring ke arah subjektifitas dan dipahami secara parsial; bahkan tanpa ada literasi dukungan yang seharusnya dipegang dan di dampingkan. Di samping itu Nalar dan Adab sangat dibutuhkan untuk jalan bersama-sama.

Problem ini merupakan fakta dan aktual yang kemungkinan dirasakan oleh sebagian pihak, termasuk penulis sebagai seorang pembelajar dan murid. Sehingga, berangkat dari problem ini, penulis mencoba membongkar sekaligus mengkonstruk solusi untuk menjawab problem demikia yang (tidak sadar) mulai dibudayakan. Di dalamnya ada peran penting Nalar dan Adab yang harus diutamakan.

Pentingnya Nalar dan Adab bagi Para Pencari Ilmu Allah

Budaya Ironis Akademisi; Lunturnya Nalar dan Adab

Budaya memutlakan kebenaran dalam suatu kajian, yang memiliki kemungkinan ‘ada’ kekeliruan dewasa kini seakan dinormalisasikan oleh beberapa kalangan. Kemungkinan besar hal ini didukung oleh logosentris yang sama antara pemantik dan audience. Akhirnya, ruang nalar begitu stagnan tanpa pengkritisan; seakan semua pernyataan pemantik kajian benar.

Dilain hal, dalam suatu kajian eskistensi kekeliruan itu sangat mungkin terjadi, apalagi jika audience memiliki sandaran pembanding; sebagai teori yang tepat untuk mengkritik. Hal tersebut merupakan cara agar kajian tidak kehilangan daya ilmiah dan objektifannya, kemudian menjadi ruang yang subjektif layaknya ceramah yang penuh doktrin dan tidak mendayakan argumentasi penikmat.

Dari kebiasaan yang terus dinormalisasikan berdampak pada banyaknya pendengar yang (tidak sadar) bertaklid pada alur pembicaraan, sehingga membentuk persepsi, bahwa ‘yang mengkritik’, ‘yg memberi pandangan’ dan ‘yang memberi solusi aktif’, jika berbeda dengan pemantik, maka itu perlu digaris bawahi dan dipertebal (harus dikoreksi dan dicari kesalahannya).

Sangat mengejutkan dan miris sekali, jika budaya ini dilakukan oleh seorang akademisi; yang seharusnya ‘melek’ nalar dan literasi. Hal ini menjadi gambaran, bagaimana gambaran ironis dunia akademisi terkini, terkhusus mengenai nalar kritis dan keilmuan pada generasi baru, atau bahasa ilmiahnya minim ranah historisitas (‘ngilmiah sitik’), dan melebihkan porsi pada ranah taklid. Nalar dan Adab adalah prasyarat utama yang harus dimiliki Para Pencari Ilmu Allah.

Ironi Akademisi Fakta-aktual Tanpa Nalar dan Adab

Tempo hari, disuatu kajian ilmiah online, saya iseng mengikutinya, melihat kondisi masih pageblug dan rebahan kanan kiri sudah beberapa kali ku coba. Akhirnya, aku putuskan untuk ikut kajian tersebut dengan tujuan menambah ruang gerakku, meski sedikit yang digerakkan (jempol tangan dan posisi tidur).

BACA JUGA  6 Hak Seorang Muslim dengan Muslim Lainnya

Kajian ilmiah berjalan dengan mulus, sayangnya kuotaku saat itu sudah habis terlebih dahulu; tidak dapat memutar voice note pemantik yang banyak sekali. Alhasil, aku menunggu admin membuka privasi grup atau kembali mempublikan grup kajian itu, seingatku, lumayan lama juga saat itu.

Akhirnya, rasa penasaranku dengan isi record dari pemateri terjawab, karena ada bantuan hospot dari kakak tercinta, dan kubuka satu persatu isi record pematiknya.sembari menunggu dipublikan grupnya untuk ruang pandangan, kritikan dan solusi.

Dilain hal, peraturan kajian itu diatur oleh admin, sehingga pertanyaan dan pandangan umum, diharuskam dikirimkan ke admin terlebih dahulu, baru dikirimkan ke grup. Namun, lumayan lama (15 menit), pertanyaan, kritikan dan pandangan umumku tidak juga tampil di layar grup. Lama kemudian grup di buka dan dipersilahkan oleh admin bagi yang ingin berinstruksi. Akupun ikut serta meramaikan kajian itu dengan keobjektifan mutual.

Beberapa menit kemudian, kritik, pandangan dan solusiku untuk materi kajian itu dikritik oleh beberapa audience lain, sedangkan aku sendiri menyertakan literasi dan analogi kritisnya. Karena kajian ilmiah, maka aku balas satu persatu dengan kritis, namun sebagian besar yang berdialog mengkritik argumen saha tidak mengikut sertakan referensi babon bacaannya, analoginya jauh dari ketepatan analisis; tidak nyambung blass. Aku cukupkan keikutsertaanku atas kajian itu karena sudah mulai berubah kondisi kajian seperti menolak perbedaan; kritik, nalar dan solusi.

Tidak lama kemudian, ada yang menanyakan maksud dari beberapa tambahan dan kritikan melalui temanku. Aku sendiri tidak kenal betul dengan orang ini; yang aku tahu dia santri dan sering ngaji. Inti dari segala chatnya hanya satu, dia menasihatiku, bahwa tidak seharusnya di grup atau kajian seperti itu, itu tidak beradab. Adab itu lebih tinggi dari ilmu. Dia menilai semua sanggahanku dan keikutsertaanku dalam kajian tidaklah beradab.

Konstruksi Intelektual Akademisi Butuh Nalar dan Adab

Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dipahami bersama bahwa umumnya suatu kajian memiliki ruang berpendapat; berbeda dengan ceramah, dakwah atau khotbah. Artinya, dalam suatu kajian, siapapun dan darimanapun seseorang yang memiliki konsep berbeda dengan pemateri dengan dasar dan rujukan yang jelas disertai analogi yang kritis, bisa ikut serta berargumen dengan datanya. Sehingga, kajian tidak layaknya seperti ceramah, dakwah dan khotbah, dimana ruang instruksi atau berpendapat ditutup karena kesubjektifan pemateri.
Seperti yang termaktub dalam problem awal, jika kita tidak menyelaraskan paham tentang makna kajian, maka yang didapat hanya ketaklidan buta. Sedangkan, dalam kajian ilmiah, kita berpendapat dan beradu argument untuk data dan dengan data (lebih baik) yang kemudian dikritisisasi. Tidak seharusnya berpaling kemudian menilai cara bicara orang dan cara berpendapat orang, apalagi dalam suatu kajian ilmiah.

Dari sini, seorang akademisi merupakan salahsatu generasi intelektual yang diharapkan oleh perguruan. Tidak dipungkiri, setiap individu memiliki ruang subjektifitas, terkhusus perihal keberimanan. Namun, meskipun demikian realitasnya. Kita perlu membudayakan berlaku objektif terhadap perkara, terkhusus dalam kajian ilmiah; dengan landasan dan nalar kritis. Maka dari itu perlu kesembangan antara Nalar dan Adab bagi Para Pencari Ilmu Allah.

M. Khusnun Niam
M. Khusnun Niam
Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru