26.2 C
Jakarta
Array

Nahi Mungkar

Artikel Trending

Nahi Mungkar
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

“Muslim yang sejati adalah orang yang kehadirannya membuat orang lain merasa aman dari caci maki dan kekerasan fisik.” (Hadis Nabi)

“Siapa saja yang melihat kemungkaran, lakukanlah perubahan dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lidahnya. Jika tidak mampu, dengan hatinya. inilah keimanan yang lemah. ”

(HR Muslim)

HADIS ini sangat populer dan sering disampaikan dalam khotbah-khotbah Jumat ataupun khotbah Id, di ruang-ruang pengajian, dan ceramah umum. Sepanjang yang saya ketahui, hadis tersebut selama ini dimaknai “Jika Anda melihat kemungkaran (kerusakan sosial, kejahatan, dan kebobrokan moral), lakukan pencegahan atau penghentian atasnya dengan tangan, yakni dengan memukul, dengan pedang, atau senjata. Sebagian memaknai tangan dengan arti metaforis yakni dengan kekuasaan, baik di ruang publik maupun domestik. Dalam konteks negara, ia adalah penumpasan oleh alat-alat kekuasaan negara. Cara ini menurut sebagian ulama menjadi kewajiban pemerintah atau pengambil keputusan atas rakyat atau orang yang di bawah kekuasaannya.

Jika cara tersebut tidak cukup efektif sehingga kemungkaran itu masih terus berlangsung, atasi melalui ucapan. Hal ini bermakna menegur, mengarahkan, menasihati, dan bisa juga memarahi. Sebagian mengartikan dengan ceramah atau pengajian pada setiap kesempatan pertemuan sosial. Cara ini menjadi kewajiban ulama atau tokoh masyarakat.

jika dengan cara lisan tersebut kemungkaran belum juga berhenti, atasi melalui hati. Ungkapan “dengan hati” dipahami sebagai dengan cara diam atau mendiamkannya. Cara ini merupakan tindakan yang paling lemah. Cara ini menjadi kewajiban setiap individu masyarakat.

Tafsir seperti di atas tidaklah sepenuhnya salah atau keliru. Secara harfiah, kata tangan adalah bagian anggota tubuh manusia. Ketika ada anak atau murid melakukan kesalahan atau pelanggaran, tangan orangtua atau guru dapat digunakan untuk mencubit, menjewer, atau bahkan memukulnya. Ini konon cara yang mendidik. Kata lisan (lidah) dipahami sebagai ucapan, omongan, omelan, dan sejenisnya. Omongan bisa berisi teguran, peringatan, atau ancaman, tetapi bisa juga pidato, ceramah, dan nasihat. Sementara itu, kata hati berarti apa yang dirasakan di dalam tubuh dan yang tidak diucapkan. Maka, itu adalah sikap dalam situasi dan ekspresi diam atau membatin.

Tafsir tersebut masih cukup dominan. Ketika situasi sosial kita sedang mengalami kekacauan, norma-norma sosial terdistorsi, kekerasan merebak, korupsi menyebar, dekadensi moral, dan seterusnya, sebagian masyarakat sering mengambil tafsir hadis di atas sebagai senjata yang dianggap ampuh untuk mengatasi semua itu. Hal ini disebut sebagai nahi ‘an al-munkar.

Ketika kekuasaan negara tak berdaya, supremasi hukum lemah, presiden tak bisa tegas mengambil tindakan, pemimpin rakyat mengambil alih peran negara, akibatnya masyarakat merasa mendapat legitimasi untuk dengan bebas merusak, mengubrak-abrik tempat-tempat maksiat atau tempat-tempat lain yang dianggap menyimpang, menghakimi sendiri siapa saja yang dianggap merusak moral, dan pada tahap tertentu merencanakan pengambilalihan kekuasaan. Semua tindakan itu diklaim sebagai kebenaran atas nama Tuhan atau agama.

Situasi seperti ini tentu saja mencemaskan. Konflik dan perang antarbangsa seakan-akan sudah di depan mata. Membayangkan ini tentu saja mengerikan.

Kontekstualisasi Nahi ‘an al-Munkar

Cara-cara mengatasi sirkuit kemelut kerusakan sosial di atas, mengingatkan kembali pada masyarakat abad pertengahan ketika kekuasaan politik ada di tangan personal, seorang raja atau kaisar, dan ketika kekuasaan yang kuat menindas kekuasaan yang lemah, apalagi ketika kekuasaan-kekuasaan itu berkolaborasi dengan otoritas agama.

Saya kira dalam konteks sosial-budaya hari ini di mana demokrasi menjadi sebuah mekanisme yang terbaik dalam menyelesaikan masalah, hadis di atas memerlukan tafsir ulang. Maka, saya kira frasa dengan tangan tidak lagi harus dimaknai sebagai bagian anggota tubuh manusia, tetapi bisa tetap dimaknai kekuasaan. Meski demikian, kekuasaan di sini bukan kekuasaan otoriter, melainkan kekuasaan konstitusional. Dengan kata lain, instrumen hukum ini harus dijadikan landasan bagi tindakan pemerintah mengatasi sirkuit kemelut kerusakan sosial tersebut.

Konstitusi adalah hasil konsensus seluruh warga bangsa yang harus menjadi pijakan dari seluruh kebijakan, tindakan pemerintah, dan otoritas yang lain. Konstitusi adalah common platfrom bangsa. Pemegang mandat kuasa atas rakyat wajib menjalankannya dengan tidak bisa dan tidak boleh mengabaikan konstitusi ini. Semua kebijakan lain harus menerjemahkannya tanpa boleh bertentangan dengannya.

Frasa dengan lisan bisa bermakna ucapan, nasihat, dan ceramah, tetapi tidak boleh dipahami sebagai celoteh, caci maki, dan kata-kata lain yang merendahkan martabat manusia. Maka, tafsir baru atas kata tersebut adalah “bicara dengan cara yang lebih baik, dialog, saling mendengarkan, saling memahami, dan saling menghargai tanpa yang satu lebih dari yang lain’ . jika harus berdebat juga harus dilakukan dengan cara bicara yang lebih baik (bi aIIati hiya ahsan). Al-Quran sudah menyarankan kepada Nabi:

Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (ilmu pengetahuan atau kebijaksanaan) dan pelajaran yang baik dan bantahlah (kritik) mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

(QS An-Nahl [16]: 125)

Frasa dengan hati bisa berarti diam atau mendiamkan, tetapi diam yang aktif, bukan diam yang pasif dan menyerah. Diam yang aktif adalah melakukan sesuatu dengan tenang dan disiplin, serta kukuh dalam prinsip kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain, kita tidak boleh membiarkan saja sirkuit kemelut kerusakan itu terus berlangsung, apalagi kemudian tenggelam atau terseret arusnya. Jangan ikuti hasrat-hasrat rendah yang mencelakakan masa depan kemanusiaan. Nabi mengatakan:

“janganlah kalian menjadi orang yang ikut-ikutan. Jika orang lain berbuat baik kamu berbuat baik, jika mereka berbuat zalim kamu juga berbuat zalim. Berkomitmenlah pada sikap: jika mereka berbuat baik kamu berbuat baik jika mereka berbuat jahat, kamu tetap berbuat baik dan, tida/menzalimi.” (Al-Mundziri, Al Targhib wa al-Tarhib, III/308)

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru