30 C
Jakarta

Nadia, Adel, dan Hanum (Bagian XXV)

Artikel Trending

KhazanahOpiniNadia, Adel, dan Hanum (Bagian XXV)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Menjelang siang, perpustakaan menjadi bilik kedua. Berhari-hari terdekam di dalam perpustakaan pesantren. Belum ada kesempatan berkumpul bersama Nadia, Adel, dan Hanum. Ingin rasanya ngopi di kafe pesantren dengan harga murah dan meriah. Maklum, kafe selalu menyediakan produk dengan harga yang bersahabat dengan uang saku santri.

Diva belum beranjak dari perpustakaan, sekalipun menjelang makan siang. Adel dan Hanum mencari sana-sini. Mereka bertiga makan bersama di pesantren karena masaknya bareng. “Diva ada di mana ya?” tanya Adel. Hanum pun bingung.

Biasanya Diva duduk di beranda bilik atau stay di kamar, kendati seharian. Karena, dua tempat ini, kata Diva, menelurkan imajinasi menarik sehingga tulisannya terkesan menarik dibaca orang.

Adel dan Hanum bersabar menunggu di beranda bilik Diva. Masing-masing mengomel, karena Diva belum terlihat batang hidungnya. Inginya langsung menyantap makan yang sudah masak, tapi rasanya kurang sempurna tanpa seorang teman. Perut menjerit. “Makan yuk!” Hanum ajak Adel yang dari tadi bermuka kusut nan kesal.

“Diva?” Adel merasa kasihan makan siang tanpa Diva.

“Mau nunggu sampai kapan? Sebentar lagi bel berbunyi, waktunya shalat jamaah Zuhur. Mau nunggu Diva sampai selesai shalat?” Hanum bersungut-sungut.

“Okey dah. Sisain aja buat Diva.”

“Benar.”

Adel dan Hanum langsung bergegas ke dapur di belakang bilik pesantren. Nasi yang sudah masak mengundang nafsu makan, apalagi lauknya orek, urap, dan telur dadar. Lidah mulai blingsatan merasakan lezatnya makan, padahal belum mencicipi. Hasil masak sendiri rasanya lebih enak, sekalipun menunya sederhana.

Diambillah nampan besar yang memuat hampir lima orang, bahkan lebih. Disendok nasi dan ditakar di atas nampan. Ditaburkan aneka lauk. Lezat!

“Oy,” panggil Diva dari jarak yang tidak begitu jauh. Terdekap buku-buku perpustakaan.

“Div,” desis Adel kemudian diikuti Hanum. Mata mereka melotot.

Diva berjalan dan berlari ke tempat mereka berdua yang kelihatan sibuk menyiapkan makan siang.

BACA JUGA  Apakah Dakwah Harus Mengislamkan non-Muslim?

“Maaf ya!” Diva merasa bersalah tidak mengabari sahabatnya karena keasyikan di perpustakaan.

Suasana jadi berubah. Tak ada kata-kata yang terucap. “Div, ke mana aja sih?” Adel mengungkapkan rasa kesalnya.

“Kita berdua menunggu kamu dari tadi.” Hanum juga menuangkan rasa muak yang naik ke ujung kepala.

“Maaf, temen-temen!” Diva minta maaf yang kedua kalinya.

Sendok yang dipegang Adel diambilnya kemudian Diva ikut membantu. Suasana jadi sunyi. Tak ada kata yang terucap.

“Hore, kenak prank.” Hanum dan Adel ketawa. Sekarang Diva merasa kesal.

“Memang kita kesel tadi, Div, karena nunggu kamu nggak datang. Tapi, aku mau nge-prank kamu.”

Adel dan Hanum memang teman yang suka usil, tapi nyenengin. Tingkah mereka sulit ditebak.

“Awas ya! Tunggu prank-ku.” Diva membela diri.

“Makan dulu yuk. Kita kan sahabat. Tidak boleh ada pertengkaran. Kita harus happy bersama.”

“Kalo lapar?” canda Adel.

“Makan bersama.”

“Halah, tadi aja udah menggerutu.”

“Udah-udah, ayuk doa dulu sebelum makan.” Diva memotong keseruan mereka yang suka beradu mulut kayak Tom dan Jerry.

Pesantren mengajarkan santrinya untuk hidup mandiri. Apa pun aktivitasnya harus dilakukan sendiri, termasuk masak nasi dan lauk sendiri. Selain itu, pesantren tidak menyediakan laundry. Semua santri harus mencuci sendiri. Banyak pakaian terkatung-karung di tempat penjemuran. Pesantren mengharapkan setelah pulang ke masyarakat lulusan pesantren tidak merepotkan orang lain, termasuk orangtuanya sendiri. Kafe pesantren memang menyediakan makanan dan minuman. Santri biasanya mengonsumsi menu kafe saat baru “kiriman”, karena uang saku lagi tebal. Tapi, rata-rata santri masak sendiri, karena lebih menghemat keuangan. Setiap uang saku yang dikirim orangtua setiap setengah bulan atau satu bulan sebagian disimpan untuk masa depan yang masih panjang dan separuhnya untuk kebutuhan beli buku atau snack.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru