30.1 C
Jakarta
Array

Muslim; Lokomotif Kesejukan Umat

Artikel Trending

Muslim; Lokomotif Kesejukan Umat
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Islam Indonesia yang dikenal ramah, tercoreng dengan kelakukan sebagian kelompok yang mendaku diri muslim. Bukan karena ajaran Islamnya yang salah, melainkan cara penyampaian dan pemahaman mereka yang keliru. Bahwa ada kecenderungan untuk mengimpor Islam ala Arab berikut dengan kebudayaan setempatnya. Sehingga hal-hal berkaitan dengan kebudayaan Arab dianggap sebagai satu kesatuan dari ajaran Islam yang sakral. Pada akhirnya, ada kecenderungan purbasangka kepada muslim yang berbeda dengan mereka, misalnya dalam hal berpakaian.

Saya tidak alergi dengan muslim yang mencoba untuk mengikuti sunnah Rasul dengan jalan memahami teks hadits secara tekstual. Ekspresi keberagamaan mereka, misal dengan mengenakan pakaian ala Arab, juga tak jadi soal. Namun, menjadi persoalan jika muslim tersebut mendaku diri sebagai ‘orang yang paling benar’, lalu memaksa muslim di luar mereka untuk mengikuti Islam versi mereka. Karena sebenarnya, selain tekstual, kita juga bisa memahami teks hadits secara kontekstual, memahami hadits dengan tidak melepaskannya dari kondisi yang mengitarinya. Sehingga, bisa mengambil intisari dari ajaran Islam, lalu menerapkannya di era kekinian sesuai kebutuhan zaman.

Sebagai muslim, mestinya kita menyadari betapa nisbinya manusia, yang sampai kapanpun tak bisa menggapai kebenaran secuil kuku pun. Kebenaran mutlak hanyalah milik Allah Swt. Kita, sebagai hamba, tak ada jalan lain untuk mendekatinya selain selalu mencari kebenaran dengan melibatkan seluruh atribut dalam diri kita; akal dan hati, lalu juga diiringi doa mohon petunjuk padaNya.

Pada saat yang sama, kita juga tak perlu repot-repot menyalahkan muslim lainnya yang memiliki cara berbeda dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt. Karena bagaimanapun juga, itu (baca: perbedaan) merupakan sunnatullah yang tak bakal bisa dimusnahkan dari muka bumi. Bukankah sungai yang mengular dari berbagai mata air di gunung, muaranya tak lain adalah samudra yang sama?

Inilah agaknya yang ingin disampaikan Edi Ah Iyubenu dalam bukunya berjudul Islam yang Menyenangkan. Bahwa Islam mestinya tidak dipandang hanya dari kacamata fiqih, yang dalam kelahirannya pun telah membawa perdebatan. Hingga kini kita mengenal berbagai madzhab fiqih, produk ijtihad para ulama tempo dulu yang mendedikasikan jiwa dan raga untuk mempelajari ajaran Islam. Tetapi lebih dari itu, Islam mesti dipahami sebagai ajaran yang rahmatan lil’alamin, memberikan rahmat kepada segenap umat manusia –bukan hanya umat Islam.

Ada tiga faktor yang dipaparkan Edi kaitannya dengan kecenderungan keberagamaan kita yang kurang rahmatan lil’alamin. Pertama, merajalelanya watak thagut di kepala semua kita. Truth claim. Kita merasa pemahaman keislaman kitalah yang terbenar, sehingga dengan mudah kita menyalahkan muslim yang tidak sejalan dengan kita –terlebih kepada pemeluk agama lain.

Watah thagut yang mengakar dalam diri kita, lalu mencari mangsanya dengan dalih berdakwah atas nama agama. Semangat ini lalu disambut dengan tangan terbuka oleh berbagai paltform media sosial. Dari sini, lalu jempol kita dengan lihai membikin status, tweet, maupun caption  yang memuat konten intoleran; tuduh kafir-sesat kanan-kiri. Lebih ironisnya lagi, lanjut Edi, biasanya muslim sejenis ini melegitimasi argumennya dengan mengutip ayat atau perkataan ulama besar tempo dulu –tanpa tahu asbabun nuzul ataupun latar historis perkataan tersebut diucapkan.

Kedua, pudarnya tradisi dialog. Ini merupakan efek lanjutan dari watak thagut, yang dalam beragama begitu anti dengan dialog. Tentu saja, risikonya adalah, mandeknya perkembangan dan pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu keislaman. Ironisnya, sikap ini dengan serampangan dilegitimasi dengan mengutip dalil-dalil yang mengesankan dialog sebagai haram, karena memicu jidal dan pertikaian di antara umat Islam. (halaman 68)

Adapun ketiga, dangkalnya pemahaman hingga membuat nalar bengkok. Inilah dampak terbesar penegasian spirit pembelajar dalam diri kita (termasuk dialog dan debat), yang sanggup menyulap kita jadi penyembah thagut. Ia yang tahunya sedikit, niscaya sangat rentan menjadi thagut (ekstrem). Dampak nyata yang kerap kita temukan di jagat maya adalah, bertebarnya klaim kebenaran bahkan sampai fitnah takfir. (halaman 70)

Mungkinkah kita termasuk golongan muslim sebagaimana dikatakan Edi melalui buku ini? Jika demikian, tentu kita telah tahu upaya apa yang mesti dilakukan, demi menegakkan ajaran Islam yang lebih dekat dengan kebenaran. Dan, berbagai bahan permenungan bisa didapat dengan membaca buku ini.

Buku dibagi dalam dua bagian pembahasan, yaitu tentang wacana-wacana keislaman dan wacana-wacana umum. Selain mengulas mengenai sikap dan laku yang mesti dilakukan sesama muslim, juga kepada umat yang menganut agama lain bahkan yang tidak beragama sekalipun. Sehingga, kita bisa berislam dengan menyenangkan dan juga menjadi “lokomotif kesejukan untuk semuanya”. Selamat membaca!

Judul Buku          : Islam yang Menyenangkan

Penulis                 : Edi Ah Iyubenu

Penerbit              : IRCiSoD, Yogyakarta

Cetakan               : I, Maret 2017

Tebal                     : 224 halaman

ISBN                      : 978-602-391-277-3

Peresensi            : Imron Mustofa, Alumnus UIN Sunan Kalijaga.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru