31.7 C
Jakarta

Mungkin, Ini Alasan Nabi Berdagang Selain Berdakwah

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanMungkin, Ini Alasan Nabi Berdagang Selain Berdakwah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Saya pernah mendengarkan obrolan santai antara teman saya Habib Husein Ja’far Al-Hadar dan budayawan Sujiwo Tejo. Yang masih saya ingat sampai detik ini adalah jawaban Habib Husein ketika ditanya, apa kesibukannya waktu itu. Habib Husein menjawab dengan datar, selain berdakwah di YouTube ia juga berdagang alias berbisnis. Berdagang, menurutnya, termasuk wasilah untuk membekali dakwahnya tanpa perlu memeras keringat orang lain, tapi hasil dari keringat sendiri.

Satu hal yang penting saya garis bawahi dari jawaban Habib Husein adalah terma dakwah dan berdagang. Kedua terma ini mengingatkan saya pada perjalanan hidup Nabi Muhammad Saw. Beliau, selain jelas-jelas diutus untuk berdakwah atau menyampaikan wahyu Tuhan kepada seluru manusia, meluangkan waktunya untuk berdagang. Beliau berdagang kambing dari saudagar kaya raya Siti Khadijah—hingga kemudian ia menjadi istri beliau.

Pernah terbersit di benak saya: Mengapa Nabi dan cucu-cucunya suka berdagang? Bukankah tidak sebaiknya menfokuskan berdakwah saja? Pertanyaan ini baru terjawab begitu saya merenungkan kinerja dakwah dan berdagang yang keduanya memiliki banyak kesamaan. Pertama, berdagang membutuhkan ilmu. Begitu pula dalam berdakwah. Orang yang berdagang tanpa modal ilmu akan dikhawatirkan penghasilan yang didapatkan tidak halal. Sama juga, orang yang berdakwah tanpa dibekali dengan ilmu akan dapat menyesatkan orang lain.

Kesesatan akibat dakwah tanpa modal ilmu yang mendalam dibuktikan dengan banyaknya pelajar yang salah paham terkait beberapa isu keagamaan. Semisal, terorisme disebut sebagai bagian dari jihad fi sabilillah; mencela orang yang melakukan dosa atau maksiat diyakini sebagai bagian dari amar ma’ruf nahi munkar; orang yang beragama di luar Islam dipersepsikan sebagai orang kafir alias orang yang menutup dirinya beriman kepada Tuhan yang mereka yakini; dan seterusnya. Bentuk kesesatan semacam ini banyak ditemukan di era sekarang, tak terkecuali di media sosial.

Kedua, berdagang harus jujur atau menyampaikan yang sebenarnya, tak menutup-nutupi sesuatu yang semestinya disampaikan. Jujur dalam berdagang akan memberikan kepuasan, bukan hanya kepada si pedagang, melainkan pula kepada si pembeli. Begitu pula, berdakwah harus jujur. Tidak boleh pendakwah menyampaikan sesuatu dengan tidak jujur alias membohongi pendengar. Dakwah tidak jujur terlihat dari objektifitasnya dalam menafsirkan sesuatu. Jika pendakwah menafsirkan sesuatu sebatas kepentingannya sendiri, maka dialah termasuk pendakwah yang tidak jujur. Hati-hati dengan pendakwah semacam ini!

BACA JUGA  Membaca Al-Qur'an dan Momen Hijrah Para Teroris

Pendakwah yang tidak jujur itu banyak ditemukan di era sekarang. Biasanya pendakwah semacam ini menyampaikan ayat dan hadis yang mendukung kepentingannya sendiri. Bahkan, mereka juga menyodorkan ayat dan hadis yang menyalahkan orang yang tidak sepemikiran dan sekeyakinan dengan dirinya. Hal itu bertujuan untuk mencari pembenaran dari orang lain. Dakwah semacam ini jelas berbeda jauh dari cara berdakwah Nabi. Beliau melepas segala kepentingan, baik kepentingan pribadi maupun kelompok, ketika berdakwah. Tidak heran, jika Nabi mendapat sebutan al-Amin atau orang yang amanah dalam menyampaikan risalah Tuhannya.

Ketiga, berdagang hendaknya pintar merayu pembeli. Merayu di sini jelas dilakukan dengan sikap ramah dan santun, sehingga pembeli terketuk hatinya untuk membeli. Terus, berdakwah pun begitu. Berdakwah hendaknya dilakukan sikap ramah dan santun. Pendakwah yang ramah dan santun akan mampu memikat pendengar mengikuti dakwahnya. Lihatlah Nabi ketika berdakwah di hadapan masyarakat Mekkah yang garang dan acuh tak acuh. Nabi menghadapi mereka dengan lemah lembut sehingga sikap beliau ini mempu memikat hati mereka untuk memeluk ajaran Islam yang dibawa beliau. Bayangkah seandainya Nabi membalas sikap kasar umatnya dengan sikap serupa!

Merayu dalam berdakwah berbeda jauh dengan kelompok radikal yang melakukan tindakan kekerasan dalam dakwahnya. Dakwah kelompok ini jelas tidak bakal membekas di hati pendengarnya. Dakwah ini pula tidak dapat menghadirkan keteduhan jiwa, melainkan kegusaran hati. Dakwah keras kelompok radikal dibuktikan dengan sikap merasa paling benar sendiri dan menuduh orang lain salah alias sesat. Tidak hanya itu, mereka juga gemar merendahkan orang lain dengan cemoohan. Lebih dari itu, mereka meng-swipping tempat-tempat yang dianggap melakukan maksiat dan dosa.

Sebagai penutup, pendakwah yang baik hendaknya banyak belajar. Paling tidak, belajar meniru pedagang yang berhasil menawarkan produknya. Sebab, pendakwah dan pedagang memiliki banyak kemiripan. Keduanya membutuhkan ilmu, kejujuran, dan pandai merayu. Lihatlah Nabi yang terus belajar dalam berdakwah melalui aktivitas berdagang yang beliau jalani sebelum menikah dengan Siti Khadijah. Jadilah pendakwah yang baik bagi orang lain.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru