26.8 C
Jakarta
Array

Muhammad Syahrur dan Angin Segar Pemikiran Hukum Islam

Artikel Trending

Muhammad Syahrur dan Angin Segar Pemikiran Hukum Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Muhammad Syahrur sebagai salah satu tokoh mufassir kontemporer yang lahir di Damaskus pada tahun 1938 berhasil membaca fenomena konflik yang terjadi di Daerah Syiria, yaitu konflik benturan antara realitas keagamaan dengan modernitas barat. 

Realitas keagamaan yang terjadi pada waktu itu adalah fenomena masyarakat islam yang terjebak dalam bingkai kejumudan yang menganggap al-Qur’an hanya sebagai teks dan doktrin keagamaan yang bersifat final. Kemudian dalam penerapan masalah hukum, mereka sangat memegang produk hukum ulama-ulama terdahulu. Padahal di sisi lain dunia barat telah bangkit menawarkan sebuah realitas modern sebagai titik kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. 

Menurut Syahrur, fenomena di atas menjadi salah satu penyebab utama timbulnya kesan bahwa Islam adalah agama yang kaku, statis dan tidak menerima kemajuan ilmu pengetahuan. Masyarakatnya cenderung mengalami fanatisme madzhab sehingga malah menyebabkan konflik internal perpecahan antar umat islam seperti saling menghina, menghujat, bahkan mengkafirkan satu sama lain. Mirisnya, fenomena abad 20 tersebut kembali marak pada awal abad 21 ini.

Melihat realitas tersebut Syahrur tergugah dan tergerak untuk menafsirkan kembali al-Qur’an sebagai kitab yang selalu relevan dengan zaman (salih likulli zaman wa makan) supaya umat islam bisa terbebas dari kejumudan. Syahrur meyakini realitas umat islam tersebut terjadi karena masyarakat cenderung menutup pintu ijtihad dalam menafsirkan al-Qur’an

Selain itu, belum adanya kajian epistemologi Islam dan metode penelitian ilmiah yang objektif, valid dan komprehensif yang bersumber dari wahyu dengan tetap memperhatikan tradisi (tanpa menyakralkan) dan modernitas (dengan produk pemikiran kontemporer) terkait kajian al-Qur’an juga bisa menjadi penyebabnya.

Oleh karena itu, Syahrur beranggapan bahwa umat Islam membutuhkan teori untuk melakukan islamisasi pengetahuan supaya setiap muslim memiliki paradigma ilmiah dan memiliki rasa percaya diri sehingga berani menerima kemajuan dan menjadi subject kemajuan dengan melakukan adu argumentatif  (ijtihad) terhadap nilai atau konsep yang ingin dibangun dan mampu menghadapi realita zaman modern sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. 

Akhirnya, setelah melakukan pengembaraan ilmu pengetahuan dan perenungan terhadap fenomena yang terjadi, sebagai seorang yang memiliki track record pendidikan teknik dan linguistik, Muhammad Syahrur hadir bersama teori batasnya (Nazariyah al-Hudud atau the theory of limit) membawa angin segar bagi pembaharuan pemikiran Islam khususnya dalam menafsirkan ayat-ayat hukum.  

Menurut Wael B. Hallaq, teori tersebut merupakan gagasan inovatif dan revolusioner yang dapat menjawab berbagai persoalan pengkompromian antara teks dan konteks dengan epistemologi yang cukup komprehensif yaitu dengan menetapkan batas minimal dan maximal hukum yang disederhanakan berdasarkan prinsip persamaan fungsi Y: f(x).

Fungsi tersebut dapat diaplikasikan dengan menggunakan kurva terbuka dan tertutup. Syahrur menggunakan kurva terbuka sebagai titik balik minimum dan menggunakan kurva tertutup sebagai titik balik maximum ruang ijtihad. Kemudian nantinya dapat menghasilkan batas maximum dan minimum penafsiran dan penerapan hukum islam dengan garis tengah yang dapat disebut sebagai qardu hasan

Syahrur menggunakan teori batas tersebut dalam menafsirkan ulang ayat-ayat hukum. Misalnya saja dalam memahami ayat puasa, batasan minimalnya adalah Puasa Ramadhan sedangkan batasan maximalnya terdapat keringanan (rukhsoh) bagi yang berhalangan. Kemudian perihal zakat, batas minimalnya 2,5% kemudian batas maximalnya bergerak keatas sehingga bagi yang memiliki presentase batas lebih besar dapat masuk dalam konsep sedekah yang tidak terhingga jumlahnya. 

Gagasan lengkap teori tersebut dapat dilihat dalam buku al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah karya Muhammad Syahrur yang sempat menghebohkan dunia Islam pada tahun 1990 khususnya di kawasan Arab. Hal tersebut cukup mengagetkan karena Syahrur benar-benar menyajikan sesuatu yang baru dalam keluasan ijtihad menentukan hukum di tengah kemandegan berfikir masyarakat muslim yang terpaku pada pemikiran ulama-ulama madzhab terdahulu.

Terlepas dari kekurangan dan kritik teori batas Syahrur, berdasarkan pembacaan dan pemahaman saya terhadap teori tersebut, saya melihat bahwa Syahrur berhasil menawarkan keluasan dan keluwesan terhadap penerapan hukum Islam dengan tetap memperhatikan peran Allah sebagai satu-satunya syari’ dan peran manusia untuk senantiasa melakukan ijtihad sesuai dengan konteks zaman sebagaimana penafsirannya terhadap Q.S. An-Nisa’ (4): 13-14. 

Kemudian salah satu dari kelebihan teori batas Syahrur adalah berhasil menyadarkan masyarakat bahwa tafsir al-Qur’an tidak hanya satu. Hukum islam juga tidak hanya satu melainkan terdapat beberapa opsi yang dapat diterapkan sesuai dengan batasan kriteria yang telah diterangkan dalam kitab pedoman hidup manusia, al-Qur’an. Dengan demikian, teori batas Syahrur berhasil membantu manusia dalam memahami hukum Islam yang lebih kontekstual, rasional, flexible, dan elastis. Wallohu a’lam.

Sumber: 

Burhanuddin, “Artikulasi Teori Batas (Nazariyyah al-Hudud) Muhammad Syahrur dalam Pengembangan Epistimologi Hukum Islam di Indonesia” dalam Sahiron Syamsuddin (ed.), Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Jogja, Yogyakarta: studia Islamika, 2003.

Syahrur, Muhammad, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin Dzikri, Yogyakarta: elSAQ Press, 2004.

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru