26.7 C
Jakarta

Mudik dan Hijrah yang Dirindukan

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanMudik dan Hijrah yang Dirindukan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sudah menjadi aktivitas rutin setiap mendekati Hari Lebaran Idul Fitri para perautau mudik. Aroma rindu pulang semakin tercium. Kebahagiaan berkumpul dengan keluarga seakan tak tergantikan dengan romantika bertahun-tahun di tanah rantau. Benar. “Harta yang paling berharga adalah keluarga,” lantun Bunga Citra Lestari.

Berbicara soal mudik mengingatkan saya soal hijrah. Hijrah secara literal seringkali dipahami dengan pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Sejatinya merantau itu adalah hijrah (hajara). Orangnya disebut dengan perantau (muhajir). Hijrah dan mudik adalah dua kata yang saling kait-berkait. Keduanya seakan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.

Keterkaitan hijrah dan mudik dibangun oleh motivasi yang kuat. Sederhananya, apa yang memotivasi Anda hijrah? Apa yang mendorong Anda mudik? Ada sebuah hadis yang populer untuk menjawab pertanyaan ambigu ini: Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat; dan sesungguhnya tiap-tiap orang tidak lain (akan memperoleh balasan dari) apa yang diniatkannya. Barang siapa hijrahnya menuju (keridhaan) Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu ke arah (keridhaan) Allah dan rasul-Nya. Barang siapa hijrahnya karena (harta atau kemegahan) dunia yang dia harapkan, atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu ke arah yang ditujunya.

Benar. Esensi hijrah dan juga mudik adalah niat atau motivasi. Siapa yang hijrah untuk belajar Islam yang benar, dia akan mudik menjadi muslim yang mampu menyelamatkan, menyejahterakan, dan menyejukkan orang lain. Sebaliknya, siapa yang hijrah hanya untuk berbuat makar, niscaya dia akan mudik menjadi provokator, koruptor, dan nepotis di negeri pluralis. Niat yang benar akan memberi feedback positif bagi pelakunya dan orang lain. Sebaliknya, niat yang keliru akan menjerumuskan pelakunya dan orang lain pada muara yang menyedihkan.

Ada banyak ayat yang berbicara tentang hijrah. Disebutkan dalam Qs. an-Nisa’/4: 100, yang artinya: Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ayat tersebut menguraikan bahwa hijrah karena Allah memberikan dampak positif bagi pelakunya. Pelakunya mendapatkan kelapangan hidup. Pelakunya akan diluaskan rezekinya. Ibnu Asyur menyebutkan dalam tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, bahwa hijrah karena Allah adalah merantau menuju ke suatu tempat yang diridhai oleh Allah.

BACA JUGA  Membaca Al-Qur'an dan Momen Hijrah Para Teroris

Standar ridha itu adalah kerelaan hati sehingga tidak ada rasa kecewa. Bila Tuhan yang ridha, berarti Dia tidak murka. Mendapatkan ridha Tuhan berarti meraih sesuatu yang Dia restui. Bila itu pasangan hidup, keridhaan Tuhan adalah jodohnya. Siapa yang dipisahkan dengan pasangannya, jangan berkecil hati dan bergembiralah bahwa yang pergi bukan ridha-Nya dan yang terikat adalah anugerah-Nya. Tuhan Maha Tahu sehingga seorang hamba hendaknya selalu berpikir positif. Suatu saat Tuhan akan menghadiahkan ridha-Nyakepada siapa yang mau.

Bila soal jihad, seperti apa jihad yang diridhai Allah? Jihad merupakan suatu ibadah mulia. Jihad tidak melulu soal perang. Sekali lagi tidak. Seperti artinya “bersungguh-sungguh” jihad adalah keinginan kuat meraih sesuatu dengan cara yang baik. Meraih sesuatu membutuhkan strategi. Strategi itu disebut dengan “ilmu”. Artinya, siapa yang bertekad bulat berjihad, maka belajarlah etika berjihad, sehingga jihadnya membuahkan hasil. Secara sederhana, jihad memiliki cakupan atau objek yang luas, sehingga jihad hendaknya dibarengi dengan potensi. Orang yang berpotensi menulis, jihadnya berbentuk tulisan (bi al-kitabah). Orang yang mampu ceramah, maka jihadnya berupa verbal (bi al-lisan). Orang yang kaya raya, tentu jihadnya berupa donasi (bi ash-shadakah). Dan seterusnya. Tidak benar orang yang tidak punya potensi menulis berjihad bi al-kitabah. Kalau dipaksakan, maka akan melahirkan jihad yang keliru. Buktinya kekeliruan besar terlihat dengan mata telanjang jihad terorisme, people power, dan jihad ekstremis yang lain. Mereka belum mengerti esensi jihad, sehingga jihad sebatas kekerasan.

Orang yang hijrah hendaknya tidak terkontaminasi hidupnya dengan sesuatu yang keliru. Sebab, hijrah itu mencari bekal, sehingga bekal yang dikumpulkan dapat dibawa pulang saat mudik. Dengan bekal yang banyak, masyarakat di tempat kelahirannya akan merasakan manfaatnya. Hijrah yang salah akan membuat pelakunya krisis dan tidak produktif. Hijrah yang keliru akan selalu membawa pada keresahan, terutama orang lain. Banyak yang dirugikan, termasuk agama Islam sendiri. Islam adalah agama damai yang mengajarkan pemeluknya menjadi muhajir yang menginspirasi, progresif, dan produktif. Selamat mudik dan selamat Hari Lebaran![] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru