Judul Buku: Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama, Penulis: Faqihuddin Abdul Kodir, Penerbit: IRCiSoD, Tahun Terbit: 2022, Tebal: 234 Halaman, ISBN: 978-623-5348-40-7, Peresensi: Ahmad Miftahudin Thohari.
Harakatuna.com – Membaca buku Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama (2022) karya Faqihuddin Abdul Kodir tidak hanya membekali kita dengan cara pandang yang lebih toleran terhadap umat-umat yang berbeda keyakinan. Lebih dari itu, buku ini menginspirasi kita untuk menjadi sosok yang sangat manusiawi: manusia yang penuh welas asih dan lapang dada terhadap perbedaan yang dimiliki orang lain.
Manusia yang merasa berat hati ketika harus menyaksikan penderitaan saudara-saudara kita yang lain. Sebab, sebagaimana dapat dibaca pada sampul buku tersebut, terdapat judul kecil yang bertuliskan: “Inspirasi dari Teladan Nabi Muhammad”. Manusia agung yang penuh dengan teladan kemanusiaan, yang akhlaknya harus kita contoh dan kita internalisasikan dalam kehidupan sehari-hari—baik sebagai anak, orang tua, tokoh masyarakat, pemuka agama, maupun pengambil kebijakan.
Di tengah upaya membangun fondasi kerukunan umat beragama di Tanah Air, yang masih terus berusaha melampaui sentimen-sentimen keagamaan menuju garis akhir kedamaian, saya pikir buku ini sangat penting untuk dibaca dan direnungkan. Secara khusus, buku ini relevan bagi umat Islam di Indonesia, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa umat keagamaan lain juga dapat mengambil manfaat besar darinya.
Tanpa mengurangi penghormatan terhadap sirah-sirah Nabi yang ditulis oleh para penulis terkemuka dengan pendekatan ketat dan ilmiah, buku ini—yang juga diberi pengantar oleh KH. Ahmad Ishomuddin, Rais Syuriah PBNU (2010-2015 dan 2015-2021)—menurut saya adalah semacam “mini sirah” Nabi. Penulis memberikan penekanan pada kisah-kisah Nabi yang merefleksikan relasi mubadalah antara umat Muslim dan umat berbeda agama melalui pembahasan yang cukup ringan.
Dalam buku ini, tersaji berbagai kisah inspiratif tentang Nabi Muhammad, terutama dalam interaksinya dengan mereka yang berbeda agama. Dengan cara ini, penulis mengangkat kisah-kisah Nabi yang menerjemahkan prinsip-prinsip kerahmatan Islam dan keagungan akhlak Nabi—khususnya terkait relasi seorang Muslim dengan umat agama lain.
Kisah-kisah yang disajikan dalam buku ini meliputi rentang kehidupan Nabi selama di Makkah, baik sebelum maupun setelah menerima wahyu. Juga, kisah-kisah selama Nabi berada di Madinah, ketika umat Islam telah membangun suatu komunitas atau boleh disebut mendirikan suatu “negara”. Kisah-kisah yang secara khusus memotret relasi mubadalah yang dilakukan Nabi, menurut penulis, masih jarang diangkat ke permukaan. Hal ini menyebabkan banyak umat Islam hanya mengenal narasi tunggal yang menjadi dasar berpikir mayoritas Muslim, “bahwa non-Muslim adalah kafir dan musuh yang harus dimusnahkan” (h. 19).
Padahal, jika merujuk pada kehidupan Nabi sendiri, cara pikir seperti itu sama sekali tidak dibenarkan. Baik dalam Al-Qur’an, hadits, maupun sirah, tidak ada catatan yang mendukung pandangan tersebut. Kehidupan Nabi, baik sebelum maupun sesudah menerima wahyu, justru banyak dikelilingi oleh orang-orang yang belum, atau bahkan tidak, masuk Islam. Relasi Nabi dengan mereka semua berlangsung dengan baik, mencerminkan karakter al-amin Nabi yang amanah, jujur, dan berbudi mulia. Karakter inilah yang membuat banyak pihak, khususnya non-Muslim, kagum dan terkesima pada Islam beserta ajaran-ajarannya.
Makna Mubadalah dalam Teladan Kehidupan Nabi
Nabi memiliki hubungan yang kuat dan baik dengan banyak non-Muslim. Fakta ini terbukti dan sangat layak kita jadikan teladan. Memang, ada beberapa non-Muslim yang sangat gencar memerangi Nabi. Namun, di sisi lain, ada pula non-Muslim yang memberikan pertolongan, perlindungan, bahkan dukungan kepada Nabi. Dalam relasi tersebut, sesungguhnya Nabi mengajarkan bahwa perbedaan agama bukanlah sesuatu yang perlu dipermasalahkan, apalagi menjadi pemisah dalam hubungan pertemanan, persahabatan, atau bahkan persaudaraan.
Karena itu, kita juga perlu menjalin relasi mubadalah, khususnya dalam cara kita berinteraksi dengan umat-umat yang berbeda keyakinan. Termasuk, terhadap mereka yang memiliki tafsir keagamaan yang berbeda. Relasi mubadalah, dalam maknanya yang terang, serupa dengan prinsip moderasi beragama. Atau, dapat pula dipahami sebagai prinsip yang menekankan perspektif multikultural dalam cara kita memandang sesama manusia yang berbeda dengan kita.
Dalam bahasanya yang lain, mubadalah dapat pula dipahami sebagai sebuah konsep kesalingan. Sebuah konsep “koeksistensi” dalam cara kita berinteraksi dengan sesama, yang saling menghormati, bekerja sama, bergotong-royong, dan saling “membiarkan” (tasamuh/toleran). Semua ini menjadi bagian dari upaya “menuju jalan hidup manusia yang mencintai kehidupan yang tenteram, damai, dan bahagia” (h. 8).
Dalam relasi mubadalah, tentu kita tidak bisa melupakan salah satu monumen bersejarah dalam peradaban manusia tentang relasi sosial yang harmonis antar pemeluk agama. Piagam Madinah, atau Shahifah Madinah—yang juga dikenal sebagai Konstitusi Madinah—merupakan salah satu contoh nyata yang dicetuskan Nabi di Kota Madinah pada tahun ketiga belas kenabian beliau, yakni tahun 623 Masehi.
Konstitusi ini memuat prinsip-prinsip tentang hak dan kewajiban bersama bagi seluruh penduduk Madinah, untuk saling menghormati keyakinan masing-masing, saling tolong-menolong dalam kehidupan sosial, serta bersama-sama membangun pertahanan terhadap serangan musuh dari luar. Terdapat 51 poin dalam konstitusi ini. Dua puluh empat poin pertama mengatur relasi sosial antara penduduk Muslim dengan berbagai suku di Madinah, sementara poin-poin selebihnya mengatur hubungan antara penduduk non-Muslim, serta hubungan antara Muslim dan non-Muslim sebagai warga Madinah yang hidup berdampingan dan bersatu (h. 43).
Nabi tidak pernah mencontohkan sikap maupun perilaku yang menyakiti sesama manusia, apa pun agamanya. Sebaliknya, Nabi justru melarang hal tersebut. Dakwah yang beliau lakukan selalu dilandasi kearifan dan kedamaian, dengan menebarkan nilai kasih sayang untuk siapa pun. Menjaga kehidupan dengan menyambung persaudaraan serta menciptakan suasana damai dan aman adalah nilai yang dicontohkan Nabi sepanjang hidupnya (h. 88).
Maka itu, Nabi sangat mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh hak-hak tetangga non-Muslim, sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin (Juz II, hlm. 329-333). Hal ini dikutip oleh Faqihuddin untuk menjelaskan hak-hak tetangga non-Muslim atas tetangga Muslim. Di antaranya adalah terlindungi dari segala sikap dan perilaku buruk, serta mendapatkan kebaikan-kebaikan sebagaimana mestinya dalam kehidupan bertetangga. Contohnya, mengunjunginya ketika sakit, ikut bergembira dalam kebahagiaannya, mudah memaafkan, tidak mempersulit, dan tidak mencari-cari kesalahan (h. 181-122).
Akhir kata, mengutip ulang dan menegaskan kembali pengantar yang diberikan oleh KH. Ahmad Ishomuddin dalam buku ini: “Saya sangat yakin, cakupan isi buku ini akan mencerahkan dan membawa banyak manfaat dalam kehidupan bersama, dalam pergaulan setiap orang yang berbeda identitas tetapi mendambakan hidup yang lebih damai, tenteram, bermartabat, lebih bermakna, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang universal.” []