31.8 C
Jakarta

Motivasi Diva untuk Menulis (Bagian XLVIII)

Artikel Trending

KhazanahOpiniMotivasi Diva untuk Menulis (Bagian XLVIII)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ruang diskusi dipenuhi dengan audiens. Seorang moderator baru memanggil beberapa pemateri yang diundangnya, termasuk Diva, penulis muda yang banyak menginspirasi banyak pembaca menulis. Diva melangkah mendekat ke atas kursi yang tersedia di depan audiens.

Ratusan peserta yang padat bukti semangat literasi di kota Jakarta ini masih dapat diharapkan. Kalimat itu membisikkan semangat Diva sharing soal kepenulisan malam itu.

Diva menyapa peserta dengan semangat. Peserta terlihat antusias mendengarkan penyampaian Diva yang sudah ditunggu-tunggu dari tadi sore di hotel.

“Siapa yang mau jadi penulis hebat?” Diva memulai dengan sebuah pertanyaan yang membangkitkan semangat.

Suasana ruang diskusi jadi ramai. Semua peserta mengacungkan tangan, sementara sebagian ada yang berkata: Aku.

“Semua yang hadir di sini adalah calon penulis hebat.”

Suasana senyap seketika. Semua mata tertuju pada Diva seakan tidak mau melepas pandangan itu.

“Menulis itu bukan bakat. Menulis itu kebiasaan. Siapa saja bisa jadi penulis jika dia mau membiasakan menulis.”

Jeda sejenak sembari memandangi muka audiens. Mereka tetap berada dalam suasana yang fokus.

“Setiap hari saya menulis. Bagaimana cara menulis mudah setiap hari? Apakah harus buka laptop? Bawa kertas dan bolpoin? Tidak harus. Di sini ada yang tidak punya ponsel?”

Peserta senyum-senyum.

“Pasti semuanya pegang ponsel. Ponsel sekarang serba android. Apalagi sekarang orang terbiasa buka WhatsApp. Kita bisa menulis pakai WhatsApp di ponsel kita masing-masing.”

“Emang bisa?!” bisik sebagian peserta penasaran.

“Sekarang saya terbiasa menulis pakai WhatsApp. Setelah finish saya edit dan dikirimkan ke media. Bahkan, dapat dibilang saya jarang sekarang nulis pakai laptop, karena laptop ribet di bawa ke mana-mana. Sedang, ponsel mudah dibawa ke manapun. Kerja, bawa ponsel. Kencan, bawa ponsel. Kita bisa sempatkan nulis di sela-sela ngantor. Kita bisa sempatkan nulis di sela-sela nunggu si doi.”

Seorang peserta berswit. Mendengar sebutan “si doi” dia merasa pede bisa dekat dengan Diva yang berparas cantik dan berprestasi, apalagi jadi pacarnya.

“Masih merasa sulit menulis? Tentu, tidak. Yang sulit itu hanya membiasakan menulis. Jangan jadikan menulis itu sebagai kewajiban, tapi jadikan menulis itu sebagai kebutuhan. Jika menulis sudah menjadi kebutuhan, tentu tidak akan merasakan keterpaksaan menulis. Bahkan, kesenangan menulis dapat menjadi terapi.”

BACA JUGA  Rekonsiliasi Pasca-Pemilu: Jalan Menjaga Solidaritas Kebangsaan

“Terapi patah hati bisa, Kak?” celetuk moderator yang duduk tak jauh dari tempat duduk Diva.

“Terapi cinta? Pasti bisa. Aku saja kadang menjadikan menulis sebagai bentuk menghibur diri saat hati lagi patah dan perasaan dibalut rindu. Eh, jadi curhat.”

Peserta jadi kepo mendengar secuil curhatan itu. Siapa sebenarnya pacar Diva? Mereka berkata ketus: Lanjutkan, Kak.

“Bicara soal cinta selalu membangkitkan semangat. Sepertinya lebih semangat dari bicara tulis-menulis. Okay, no problem. Saya pernah dekat dengan seorang lelaki di pesantren dahulu, tapi sekarang sudah lama tidak saling komunikasi. Setiap aku rindu, menulis menjadi satu-satunya tempat aku curhat, sehingga lahir tulisan yang rencananya nanti dibukukan. Doakan.”

Perjalanan cinta Diva dengan Fairuz selalu menjadi cerita indah dalam tulisannya. Seakan Fairuz datang saat hati Diva mulai lupa. Di tengah-tengah pasang surut cinta ini karena putusnya komunikasi ditambah cinta jarak jauh dan beragam problem orangtua, Diva mulai melupakan sosok Fairuz yang sempat menjadi motivasi dia menulis di pesantren dulu.

Sikap melupakan lelaki yang pernah dekat dulu ditunjukkan dengan mengagumi sosok lelaki lain. Dialah Fachri yang selalu menyulut api cemburu Diva karena dekat dengan sahabatnya sendiri, Shaila.

Saat Shaila tanya, Diva selalu bilang dirinya jomblo. Sekalipun hubungannya dengan Fairuz belum resmi ada kesepakatan putus. Sikap berani ini adalah cara Diva mengobati rindu yang melukai hatinya saat teringat dengan masa lalunya begitu cinta dan harapan sudah kuat, sayang belum mendapat restu orangtua.

Sudah berjam-jam Diva sharing di depan peserta. Moderator mengakhiri seminar. Diva kembali ke tempat duduk semula. Peserta maju ke depan sambil menyodorkan buku karya Diva untuk ditandatangani dan disisipkan bait-bait kata motivasi. Tiada kebahagiaan bagi seorang penulis selain tulisannya dibaca banyak orang, apalagi sampai menginspirasi mereka.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Senja Berbalut Rindu” (Dwilogi Novel “Mengintip Senja Berdua”) yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru