28.9 C
Jakarta

Money is the Life Blood of Crime: Melihat Cara Uang Berjalan dalam Jaringan Terorisme

Artikel Trending

KhazanahTelaahMoney is the Life Blood of Crime: Melihat Cara Uang Berjalan dalam...
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Mengerikan memang, ketika melihat kasus terorisme yang ada di Indonesia. Dari waktu ke waktu, rasanya seperti menjadi tanaman liar yang sudah tidak bisa dibuang. Bahkan meskipun sudah diberantas dengan berbagai cara, sebagaimana layaknya tanaman liar pada umumnya, terus tumbuh dan menyebar. Keresahan itu bisa dilihat berdasarkan laporan Global Terrorism Index (GTI) 2022 menunjukkan, Indonesia menempati peringkat ke-24 dari daftar negara paling terdampak terorisme. Skor indeks terorisme global 2022 Indonesia tercatat memiliki skor 5.5 poin. Tidak hanya itu, sepanjang tahun 2022, berdasarkan laporan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebanyak 247 tersangka sudah diamankan oleh Densus 88 dari berbagai wilayah Indonesia.

Kondisi ini mengisyaratkan bahwa persoalan terorisme yang terjadi di Indonesia, merupakan tantangan kebangsaan yang sangat urgent untuk ditangani bersama dengan berbagai strategi dan cara yang ciamik dalam mempertahankan keutuhan bangsa dan negara. Seruan dan aksi teror akan terus terjadi di berbagai media, baik secara konvensional ataupun online.

Dalam suatu contoh, seruan aksi teror di Indonesia dikirimkan dari Timur-Tengah melalui tabloid-tabloid yang dimiliki oleh jaringan terorisme. Di antara tabloid yang terkenal adalah tabloid al-Fatihin. Tabloid ini merupakan tabloid yang berisi kumpulan tulisan karya warga negara Indonesia yang sudah bergabung dengan ISIS dan menjadi tokoh ISIS di Suriah. Bisa jadi, keberadaan tabloid ini dikonversikan secara online, agar bisa diakses secara mudah untuk merekrut calon teroris. Tidak hanya itu, keberadaan tabloid ini bisa menjadi sumber ideologisasi yang dilakukan oleh para teroris, dan menjadi awal mula mereka tertarik dengan gerakan teroris.

Salah satu contoh yakni Salim Mubarak al-Tamimi, Bahrun Shah, Bahrun Naik, Ghanab Brada Rizal dan Munawar Kholil. Mereka adalah tokoh teroris yang memiliki keahlian dalam menulis bahasa Arab. Secara latar belakang pendidikan, mereka berasal dari Pondok Pesantren Ibnu Mas’ud, pimpinan Oman Abdurrahman di wilayah Bogor.

Keahlian dalam bahasa Arab saja, ternyata tidak cukup untuk menyebarkan ajaran terorisme. Para kombatan mendapatkan tugas menulis buku-buku karya Abu Muhammad al-Maghdisi. Karya tersebut kalau kita akses di internet, bisa di download secara bebas untuk dibaca oleh publik. Buku karangan Abu Muhammad al-Maghdisi digunakan oleh para kombatan untuk melakukan jaringan aksi teror di Indonesia.

Kalau kita membaca gerakan teroris adalah gerakan taklid, maka argumen ini salah besar. Sebab para jihadis, kombatan, adalah orang yang memiliki pengetahuan sangat bagus. Kemampuan menerjemah, menulis dan menyebarkan berbagai bahan bacaan untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas, sehingga menjadi basis pengetahuan orang lain, serta bisa menjadi strategi dalam melakukan rekrutmen secara terbuka untuk bergabung dalam jaringan terorisme.

BACA JUGA  Paradoks Toleransi: Kita Tidak Boleh Toleran Terhadap HTI, Perusak NKRI

Uang seperti Darah yang Memberi Kehidupan untuk Kejahatan

Satu hal yang bisa dipelajari oleh gerakan jaringan terorisme adalah perputaran pendanaan yang dilakukan. Pendanaan terorisme pada umumnya dilakukan bukan hanya menopang dan memadai kegiatan yang dilakukan oleh para teroris seperti persoalan bom rakitan, menyuplai kebutuhan para teroris ataupun sejenisnya. Lebih dari itu perekrutan anggota teroris dengan melakukan pelatihan ke berbagai negara penguatan kapasitas teroris, serta memberikan upah ataupun kegiatan propaganda keluarga pelaku teroris, butuh sokongan pendanaan.

Misalnya dalam persoalan penerjemahan, penulisan buku serta strategi penyebaran konten yang berupa tabloid secara konvensional ataupun online, sudah pasti menjawab kebutuhan pendanaan. Dari sini kita bisa mengetahui secara kasat mata bahwa pendanaan terorisme sangat besar.

Prinsip money is the life blood of crime cukup menggambarkan kejahatan teroris, yang berarti bahwa uang layaknya darah yang memberi kehidupan dalam tubuh suatu makhluk hidup sehingga kejahatan dapat terus berjalan selama dana tersebut ada. Artinya, aliran dana yang terus berjalan, khususnya tindak pidana terorisme akan terus mengalami perkembangan dengan berbagai skema.

Dalam memahami skema ini, ada tiga tahapan siklus pendanaan terorisme, di antaranya: pengumpulan dama (collecting), pemindahan dana (moving), dan tahap penggunaan dana (using).

Pertama, pengumpulan dana (collecting) yang bisa berasal dari sponsor pribadi, pengumpulan donasi dari Ormas ataupun badan usaha bisnis yang sah. Ada pula yang berasal dari menjual aset, memperoleh penghasilan atau kotak sumbangan.

Kedua, memindahkan dana (moving). Pada tahap ini memiliki resiko tinggi dengan melalui jasa keuangan. Biasanya mereka menggunakan jasa penukaran valuta asing dan jasa penyelenggara transfer dana bukan bank untuk pembiayaan terorime serta pembawaan uang melalui lintas batas negara.

Ketiga, penggunaan dana (using). Pada tahap ini, dana yang ada digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari keperluan secara materi atau immateri yang mendukung terhadap mobilitas anggita teroris dalam melakukan perjalanan dalam negeri ataupun Foreign Terrorist Fighters (FTF).

Berdasarkan skema ini, kita mampu memahami bahwa keberadaan uang dalam pendanaan terorisme, menjadi sumber utama keberlangsungan jaringan terorisme di Indonesia. Wallahu a’lam..

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru